BAMAKO (Arrahmah.id) — Serangan terhadap pangkalan militer dan sebuah kapal penumpang di Sungai Niger di Mali utara pada hari Kamis (8/9/2023) oleh kelompok militan Jama’at Nasr al-Islam wal Muslimin (JNIM) menewaskan 64 orang, kata seorang pejabat Mali.
Dua serangan terpisah tersebut menargetkan kapal Timbuktu di sungai Niger dan posisi tentara di Bamba, di wilayah Gao utara dengan jumlah korban sementara 49 warga sipil dan 15 tentara tewas.
Pernyataan tersebut tidak merinci berapa banyak yang tewas dalam setiap serangan, namun serangan-serangan tersebut diklaim oleh JNIM yang berafiliasi dengan Al Qaeda.
Sebelumnya, tentara Mali mengatakan di media sosial bahwa kapal tersebut diserang sekitar pukul 1100 GMT oleh kelompok teroris bersenjata.
Dilansir dari AFP (9/9), kapal tersebut, yang melayani rute antara kota-kota di sepanjang sungai, menjadi sasaran setidaknya tiga roket yang diarahkan ke mesinnya, kata operator Comanav secara terpisah.
Kapal tersebut tidak dapat bergerak di sungai dan tentara sedang mengevakuasi para penumpang, kata seorang pejabat Comanav, yang berbicara tanpa menyebut nama.
Gambar-gambar di media sosial menunjukkan kepulan asap hitam membumbung tinggi di atas sungai.
Insiden tersebut terjadi di daerah terpencil dan gambar-gambar tersebut tidak dapat diverifikasi secara independen.
Niger merupakan jalur transportasi vital di wilayah yang infrastruktur jalannya buruk dan tidak memiliki rel kereta api.
Serangan ini terjadi setelah aliansi yang terkait dengan al Qaeda, mengumumkan bulan lalu bahwa mereka memblokade Timbuktu, kota persimpangan bersejarah di Mali utara.
Negara miskin ini telah berjuang melawan ketidakamanan sejak tahun 2012, ketika pemberontakan yang dipimpin oleh etnis Tuareg meletus di wilayah utara yang bermasalah.
Pemberontakan ini dikobarkan oleh para militan, yang tiga tahun kemudian melancarkan serangan ke Mali tengah, Niger dan Burkina Faso, yang mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Sahel.
Di Mali utara, pemberontakan regional secara resmi diakhiri dengan perjanjian damai yang ditandatangani antara pemberontak dan pemerintah Mali pada tahun 2015. Namun, kesepakatan yang rapuh itu berada di bawah tekanan setelah pemerintah sipil digulingkan pada tahun 2020 dan digantikan oleh junta. (hanoum/arrahmah.id)