AZAZ (Arrahmah.id) — Milisi sosialis Kurdi PKK/YPG, yang didanai Amerika Serikat (AS) di Suriah, melanjutkan operasinya dengan menculik anak-anak untuk dijadikan kombatan. Mereka kemudian diisolasi dari keluarganya dan dicuci otak agar mau menjadi pejuang anak-anak.
Meski perwakilan khusus PBB telah bertemu dengan pemimpin PKK Ferhat Abdi Sahin, dengan nama sandi Mazlum Abdi, salah satu pemimpin kelompok PKK/YPG yang menandatangani “rencana aksi” pada Juni 2019 di Kantor PBB di Jenewa untuk membebaskan pejuang anak-anak dalam organisasi tersebut, namun mereka masih melanjutkan praktik kriminal ini dengan merebut anak-anak dari keluarga mereka.
Milisi sosialis ini, dilansir Anadolu Agency (20/9/203), biasanya menculik anak-anak sekolah di wilayah yang mereka duduki di Suriah, dan kemudian secara paksa merekrut mereka ke dalam barisan militer ilegal mereka.
PKK/YPG menahan anak-anak tersebut di kamp-kamp untuk memberikan pelatihan militer dan juga melarang mereka berkomunikasi lagi dengan keluarga mereka.
Anak-anak yang dipaksa mengikuti pelatihan bersenjata digunakan dalam kegiatan organisasi tersebut.
Gambar dan berita tentang “petarung anak-anak” juga muncul di beberapa situs media sosial propagandanya.
Menurut kelompok oposisi Kurdi, Orde Kurdi Independen, para milisi sosialis PKK/YPG menculik anak-anak yang berusia antara 14 dan 17 tahun. Mereka digunakan untuk berperang melawan kelompok militan Islamic State (ISIS) dan pemerintah Turki.
Sabah Anter, yang putrinya diculik oleh anggota milisi dua tahun lalu di distrik Qamishli yang dikuasai PKK/YPG di timur laut Suriah, mengatakan kepada Anadolu pada 3 Agustus, “Dia adalah seorang gadis muda yang masih bersekolah ketika dia diculik.”
“Saya pergi ke pasukan keamanan dan kantor-kantor PBB di wilayah tersebut untuk memprotes penculikannya. Tidak ada lagi pintu yang belum saya ketuk untuk mendapatkan keadilan,” kata Anter, sambil menambahkan, “tetapi saya belum dapat menemukan keberadaan anak perempuan saya.”
“Putri saya masih sangat kecil. Dia diculik oleh organisasi teroris ketika dia baru berusia 16 tahun. Dia ingin menjadi guru,” ucap dia. (hanoum/arrahmah.id)