KURDISTAN (Arrahmah.id) — Keputusan Administrasi Otonomi Suriah Utara dan Timur pimpinan milisi Kurdi yang didanai Amerika Serikat (AS) untuk melarang cadar di sekolah-sekolah menimbulkan pertentangan dari masyarakat.
Dilansir Al Monitor (31/10/2022), Administrasi Otonom mengumumkan dalam surat edaran resmi pada 23 Oktober bahwa semua pelajar yang bersekolah di wilayahnya harus mematuhi aturan seragam di sekolah masing dan menahan diri dari mengenakan cadar di kampus, juga melarang penggunaan ponsel di ruang kelas.
Keputusan itu memicu protes di provinsi Deir ez-Zor dan daerah sekitarnya.
Sumber media di timur laut Suriah yang berbicara dengan Al Monitor mengatakan bahwa banyak bagian Deir ez-Zor, yang berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi, menyaksikan demonstrasi besar-besaran menentang korupsi dan larangan cadar di sekolah.
Menurut sumber, sekitar belasan demonstrasi digelar di Deir ez-Zosr dan pedesaan Hasakah. SDF menangkap delapan pengunjuk rasa di kota Muhaimidah di provinsi Deir ez-Zor, yang menyaksikan meningkatnya kemarahan publik terhadap kebijakan dan praktik Administrasi Otonomi dan pasukan SDF, kata sumber tersebut.
Ibrahim al-Hussein, seorang jurnalis yang berbasis di Deir Ez-Zor, mengatakan kepada Al-Monitor, “Keputusan [untuk melarang cadar di sekolah] ini provokatif bagi penduduk setempat, yang sebagian besar berasal dari Islam. Menurut mereka, keputusan ini bertentangan dengan adat Islam dan Arab mereka. Mereka juga percaya bahwa keputusan itu dikeluarkan setelah mereka keberatan dengan kurikulum sekolah Administrasi Otonomi, yang mengagungkan tokoh-tokoh partai Kurdi sementara mengabaikan tokoh-tokoh Arab historis, sambil mengabadikan rasisme terhadap orang Arab,”
Masoud Saleh, pejabat dari departemen pendidikan pemerintahan Kurdi, mengatakan kepada Al Monitor, ”Keputusan ini dikeluarkan berdasarkan masalah keamanan dan tidak bertentangan dengan kebiasaan masyarakat setempat atau hukum Islam. Setiap pembom bunuh diri yang berafiliasi dengan Islamic State (ISIS) dapat mengenakan cadar dan kemudian melakukan operasi bunuh diri. Kami tidak menentang pilihan pakaian siswa dan guru. Tetapi ISIS dapat dengan mudah mengeksploitasi pertemuan sekolah untuk melakukan operasi bunuh diri.”
Dia mencatat, “Administrasi Otonomi menghormati semua komponen di daerah tersebut – kebanyakan dari mereka adalah Arab, Muslim dan religius – dan kami tidak menentang ritual agama Islam atau adat istiadat suku. Keputusan tersebut melarang penggunaan telepon di ruang kelas, mencegah segala macam kekerasan di sekolah dan mewajibkan siswa untuk menghormati seragam sekolah.”
Namun, seorang guru yang mengajar di salah satu sekolah di Deir ez-Zor punya pendapat lain. Guru itu, Jaber al-Khalaf, mengatakan kepada Al-Monitor, “Keputusan untuk melarang cadar ini bertentangan dengan kebebasan berekspresi yang harus dinikmati orang ketika memilih pakaian mereka. Banyak orang tua akan mencegah anak perempuan mereka pergi ke sekolah [karena larangan], dan banyak guru yang mengenakan niqab tidak punya pilihan selain mengajukan pengunduran diri mereka sebagai protes terhadap keputusan ini.”
Dia berkata, “Selain itu, ISIS akan mengeksploitasi larangan cadar untuk memobilisasi penduduk melawan SDF. Ini membantu ISIS memframing kelompok [SDF] sebagai salah satu yang menentang agama Islam dan menyebarkan perzinahan. Ini mendukung propaganda ISIS, di mana pasukan Kurdi adalah ‘ateis’ yang memerangi Islam dan Muslim, karena mereka mendiskriminasi orang Arab dan menargetkan adat dan tradisi suku mereka. [Keputusan] adalah hadiah terbesar bagi ISIS, yang sudah menganggap semua orang yang belajar di sekolah-sekolah Administrasi Otonom sebagai kafir, tetapi akan terus menyebarkan propagandanya di antara masyarakat.”
Khalaf menyimpulkan, “Proses pendidikan Administrasi Otonom membutuhkan reformasi pada tingkat kurikulum, metode pengajaran dan upah guru, yang sangat rendah. Banyak guru telah meninggalkan pekerjaan mereka untuk beremigrasi ke Eropa atau meninggalkan profesi guru sama sekali.” (hanoum/arrahmah.id)