Oleh: Tia Damayanti, M.Pd.
(Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)
(Arrahmah.com) – Hukum sebagai panglima, meski sudah menjadi sebuah adagium, namun nampaknya hanya sebatas jargon belaka. Berderet kasus korupsi yang melibatkan pengusaha kelas kakap atau bahkan penguasa atau aparat negara banyak yang menguap tanpa ada kejelasan hukum. Kasus yang santer akhir-akhir ini adalah kasus Djoko Tjandra. Kasus ini telah nyata-nyata mempermainkan hukum dan aparatnya.
Kasus Djoko Tjandra bermula ketika Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat. Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara. Sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini. Dan menjadi buron selama 11 tahun. (nasional.kompas.com, 01/08/2020)
Sosok Djoko Tjandra sendiri, oleh para pengamat dan praktisi hukum, dijuluki sebagai tokoh yang licin bagai belut. Kelihaiannya membuat geger ranah hukum di tanah air. Politisi, oknum polisi, dokter, jaksa, pejabat imigrasi bahkan advokat, tak kuasa menghadapinya. Tak heran jika banyak pengamat hukum yang mensatirekan kasus Jokcan ini sebagai sebuah drama yang harus dilacak sutradaranya. (ILC Juli 2020). Bahkan menganalogikan kasus Jokcan ini seperti sebuah orkestra besar yang mesti dilacak siapa dirigennya, siapa saja pemainnya dan kemana musik alur kasusnya akan berakhir. (ILC 4 Agustus)
Ketika buron selama 11 tahun, dia (baca : Djoko Tjandra) begitu leluasa membuat e-ktp, sehingga bisa menyalahgunakannya untuk kepentingannya dan tak terendus keberadaannya. Pada tahun 1999 saat dimulainya kasus hak tagih (cessie) Bank Bali diusut hingga kabur ke luar negeri pada tahun 2009, kabar mengenai pemilik julukan Joker itu tak terdengar. Lantas pada tahun 2020 ini tiba-tiba namanya kembali menjadi tajuk. Hal ini menegaskan betapa bobroknya birokrasi negeri ini. Kuasa korporasi telah mengendalikan pejabat di semua lini dan Lembaga Peradilan pun mandul memberi sanksi.
Pertanyaan yang kemudian mendasar adalah, mengapa tiba-tiba seorang Jokcan yang sudah tinggal nyaman di Papua Nugini dan Malaysia, tiba-tiba balik ke tanah air? Ada apa? Apa kepentingannya? Terlalu sederhana, jika dikatakan ia kembali demi peninjauan kembali kasusnya di Pengadilan Tinggi.
Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang menjadi tajuk menggemparkan adalah fakta, dimana diberitakan Komisi III DPR menerima ‘surat jalan’ Djoko Tjandra dari MAKI. Ketua Komisi III DPR, Herman Herry menganggap kasus ini super urgen atau penting untuk dituntaskan. Komisi III pun akan menggelar rapat gabungan meski di tengah masa reses DPR. (detik.com, 15 Juli)
Itulah awal terkuaknya sebuah rongrongan serius. Saat seorang pemilik modal (pengusaha) mampu mengolok-olok pemerintah dan menginjak-injak hukum serta membuat hukum menjadi mandul dan tak lagi sebagai panglima. Surat jalan yang dipakai Jokcan, ditandatangani oleh Jendral Polisi aktif. Dari sini terkuaklah semua jaringan keterlibatan pada kasusnya.
Saat ini memang Jokcan sudah menjadi terpidana. Polri berhasil menangkap dan mengekstradisi Jokcan. Dan ini dianggap sebagai prestasi besar, padahal ini memang sudah menjadi kewajiban aparat untuk memberi sangsi kepada pelanggar aturan. Apalagi ditengarai, upaya Polri ini berlangsung setelah ramai desakan dan tuntutan publik.
Sebenarnya ada masalah krusial dari hanya sekedar tertangkapnya jokcan yaitu kegagalan sistemik dari kekuasaan. Kegagalan untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Dan kegagalan ini bermuara pada hukum yang diterapkan di negara ini yang bersumber pada sistem kapitalisme. Kapitalisme sangat memberi peluang bagi para kapital (pemilik modal) untuk nyaris dapat melakukan apapun.
Memang, Kapitalisme beresiko menggerus dan mengkeremus hukum serta kewibawaan pemerintah juga menyuburkan tindak korupsi, sehingga sudah saatnya kita mewacanakan Islam sebagai solusi alternatif.
Hukum dalam Islam bersifat mengikat bagi setiap warga negara. Bahkan Rasulullah saw. pernah bersabda :
“Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Demikian suri teladan kita, Rasulullah Saw. mengajarkan tentang ketegasan seorang penguasa. Sanksi (‘iqab) diberikan tanpa tebang pilih. Sanksi disyari’atkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah Swt. berfirman:
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٧٩
Artinya: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (TQS. Al Baqarah (2): 179)
Maksud ayat tersebut bahwa di dalam pensyari’atan qishash, yakni membunuh bagi si pembunuh, terdapat hikmah yang sangat besar, yaitu menjaga jiwa (manusia). Sebab, jika pembunuh mengetahui akan dibunuh lagi, maka ia akan merasa takut untuk melakukan pembunuhan.
Itu sebabnya, di dalam qishash ada jaminan hidup bagi jiwa. Pada ghalibnya, jika orang berakal mengetahui bahwa bila ia membunuh akan dibunuh lagi, maka ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut. Dengan demikian, ‘uqubat (sanksi-sanksi) berfungsi sebagai zawajir (pencegahan). Keberadaannya disebut sebagai zawajir, sebab dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Adapun korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.
Tindakan khaa’in ini tidak termasuk definisi (sariqah) dalam Syariah Islam, karena definisi (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa` wal istitar).
Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu.
Karena itu, sanksi (uqubat) untuk khaa’in (pelaku khianat) yaitu kesalahan hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) yang diamanatkan dalam QS Al Ma`idah: 38, melainkan perintah ta’zir, perintah yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW bersabda: “Laysa ‘ala khaa’in wa laa’ ala muntahib wa laa ‘ala mukhtalis qath’un”. (Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret). ” (HR Abu Dawud).
Lalu kepada koruptor diterapkan sanksi apa? Sanskinya disebut ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sansinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini tak terkalahkan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan.
Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam, sebagai berikut:
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda, “Jika diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (H.R. Bukhari). Umar bin Khaththab pernah berkata, “Barang siapa bebas seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari, ”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak melakukan pekerjaan ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk…. ”
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi saw., ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, baiklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya isteri, lalulah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, maulah ia mengambil pembantu atau kendaraan. ” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah para aparat negara. Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (H.R. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (H.R. Ahmad).
Kelima, Islam memerintahkan perhitungan-perhitungan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Kelima, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan jika seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya, jika memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Keenam, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu mengatakan, “Engkau tak berhak menentukan itu, hai Umar.”
Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor termasuk kategori ta’zir, yaitu larangan yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu non-mati. Berat ringannya tak terkalahkan dengan berat ringannya kejahatan.
(ameera/arrahmah.com)