Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H
(Arrahmah.id) – Illuminati-Zionis dari semenjak dahulu hingga kini terus berlangsung dengan berbagai strategi yang bervariasi. Pada saat ini, jaringan internasional (Freemasonry) telah menjadikannya sebagai actor nonstate.
Sejalan dengan itu, era globalisasi telah menjadikan propaganda Zionis sebagai suatu kebenaran. Perlu diketahui bahwa dalam ideologi Illuminisme terdapat doktrin, “penganut kita adalah kekuatan dan membuat yakin. Membuat yakin dengan menggunakan muslihat sebagai magis”.
Hal itu terekam dalam Protocols of the Elders of Zion. Tidak dapat dipungkiri bahwa ekspansi ideologi transnasional Zionis Irael yang demikian sistemik, masif dan ofensif telah mampu merubah keyakinan individual seseorang, utamanya kalangan elite.
Kemudian berlanjut menjadi keyakinan komunal suatu bangsa. Pada ujungnya diarahkan menjadi kebijakan negara.
Salah satu agenda Zionisme adalah pemisahan ekstrim antara Negara dan Agama (sekularisme). Dalam kaitan ini, berbagai kalangan dimanfaatkan guna kepentingan strategis mereka.
Strategi utama Zionis di Indonesia adalah menjauhkan ummat dari Syariat Islam, utamanya dalam dimensi politik, hukum dan ekonomi.
Kondisi demikian telah menjadi model pada masa kolonial Hindia Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh kaum Komunis. Pada masa kini dijalankan melalui kolaborasi dengan kelompok Liberalis-Sekularis.
Para Mason yang direkrut dan sekutunya mengembangkan pemikiran bahwa syariat (hukum) Islam hanya sebatas inspirasi, namun tidak boleh diaktualisasikan dalam praktik ketatanegaraan.
Kebenaran yang diusung oleh mereka adalah dengan akal semata. Dengan demikian baik, Al-Qur’an maupun Hadits harus sesuai dengan logika manusia. Sepanjang dianggap tidak sesuai dengan logika, maka hukum Islam harus ditolak.
Jika Snouck Hurgronje dengan teori receptie mengamputasi hukum Islam dengan mensuperiorkan hukum Adat, maka kondisi saat ini relatif sama. Syariat Islam menjadi inferior di mata eksponen Liberal-Sekular.
Menurut mereka, syariat Islam dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan akal manusia. Jadi, akal manusia semata yang menentukan diterima atau tidaknya syariat Islam. Pada saat yang bersamaan paham demikian mendapatkan tempat dan perlindungan.
Gerakan memisahkan dan menjauhkan syariat Islam tidak berhenti pada teori receptie, maupun pemikiran kaum liberal-sekular. Kini gerakan lebih spektakuler melalui tindakan mendekonstruksi silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW.
Tidak lagi mengkritisi atau meragukan tapi langsung dengan berani secara sepihak “membatalkan” nasab Ba’alawi sebagai keturunan Rasulullah SAW. Dekonstruksi tentunya mengacu kepada teori yang dibangun oleh Jacques Derrida yang terhubung dengan Critical Legal Studies sebagaimana disampaikan oleh Roberto M. Unger.
Dalam ranah akademik pendekatan tersebut lazim digunakan. Namun penerapannya sebagai dalil pembenar klaim membatalkan nasab Ba’alawi tidak dapat dibenarkan. Di sini juga dipertanyakan legal standing pembatalan tersebut.
Tanpa kita sadari, penolakan tersebut akan berimplikasi serius terhadap legitimasi ajaran Islam yang masuk ke Indonesia. Baik secara secara kepastian maupun kemungkinan, demikian itu akan menegasikan sanad ajaran Islam yang dibawa oleh kalangan Ba’alawi.
Dalam perspektif hukum pidana, penegasian sanad ajaran agama tersebut merupakan delik penodaan agama sebagaimana diatur dalam KUHP.
Dekonstruksi yang berujung klaim bahwa Ba’alawi berasal dari rumpun Yahudi semakin menunjukkan polarisasi antara Ulama Nusantara dan Ulama Non Nusantara (Ba’alawi). Polarisasi tersebut akan semakin menunjukkan Islam Nusantara berbeda dengan Islam Arab.
Salah satu tokoh Ormas Islam mengatakan bahwa, bangsa Arab adalah “penjajah”. Frasa yang berkembang di dunia maya juga banyak menyebut kaum Ba’alawi Yaman memperbudak pribumi. Ditambah lagi, Rhoma Irama dalam podcast “Ternyata Bukan Cuma Pangeran Diponegoro Yang Ingin Di Ba’alwikan??!, mengatakan bahwa “ada gerakan yang sistematis menjajah Indonesia dengan jalan agama.”
Kita semakin lama semakin dihadapkan pada pilihan mempercayai kebohongan. Kebohongan demi kebohongan terus dilakukan secara meluas di masyarakat.
Dalilnya, “kebohongan yang dikalikan seribu akan menjadi kebenaran”. Pada akhirnya diharapkan menjadi kebenaran kolektif. Praktik demikian memang menjadi ciri khas Zionisme.
Kemudian, dekonstruksi yang menegasikan Alim Ulama Ba’alawi akan mendukung target pemisahan syariat Islam dari Negara. Ketika upaya mereka telah mencapai eskalasi yang diinginkan, maka gerakan selanjutnya adalah “penyatuan agama-agama”.
Gerakan ini dikenal dengan “New Age”. Keyakinannya adalah “faith without religion”, yang bermakna keimanan tidak terikat dengan suatu agama tertentu. Sejatinya, demikian itu menjadikan penganutnya tidak yakin akan kebenaran tunggal ajaran agama. Penganut agnostik dan ateis (komunisme) mendapat tempat dalam forum ini.
Penyatuan agama-agama tersebut akan menghancurkan ajaran agama dan kelak para penganutnya akan menuhankan Dajjal. Kesemua itu terkait erat dengan “Tatanan Dunia Baru” (Novus Ordo Seclarum).
Slogan tersebut dapat dilihat dalam mata uang Amerika Serikat “One Dollar”. Apabila diperhatikan dan dibaca terbalik, maka terbaca “Our Dojjal”, Dajjal tuhan mereka. Masih banyak lagi simbol-simbol Zionis dalam mata uang tersebut.
Ideologi Transnasional Zionis yang diekspansikan merupakan ancaman yang harus diwaspadai. Keberadaan actor nonstate seperti The America Jewish Committee (AJC) yang terhubung dengan Israel sebagai penerima manfaat dapat dikategorikan sebagai ancaman nirmiliter.
Perpanjangan tangan Zionis tampil dalam banyak wajah. Mereka ada dalam Ormas Islam, Yayasan, LSM, dunia pendidikan dan lain sebagainya.
Paham (ajaran) Illuminisme-Zionisme bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Fungsi kewaspadaan nasional (deteksi dini) harus diberdayakan. Sinergitas antara pemuka lintas agama dengan aparat pemerintah harus dioptimalkan. Bekerjanya penegakan hukum harus mampu menangkal dan menanggulangi ekspansi ideologi transnasional Zionis yang membahayakan Ketahanan Nasional Indonesia.
Tajur Kota Bogor, Ahad 21 Juli 2024.
(ameera/arrahmah.id)