(Arrahmah.com) – Syariahphobia sama saja dengan Islamophobia yang tidak bisa dilepaskan dari kesalahan logika berpikir dan generalisasi yang kebablasan. Ironisnya hal ini terus dipelihara oleh elit-elit politik dan media massa liberal. Maraknya Islamophobia merupakan upaya penyesatan politik. Tujuannya adalah untuk menutup-nutupi kejahatan negara-negara Barat dan kemudian mengalihkan pelakunya seolah-oleh adalah umat Islam atau kelompok Islam.
Syariahphobia sudah sering kita dengar yang intinya adalah ketakutan dan kebencian terhadap Islam dan Umatnya. Dan masyarakat sudah sadar akan propaganda Islamophobia. Masyarakat telah melihat sendiri bagaiamana Islam mengajarkan kedamaian dan umatnya yang tidak seperti di gambarkan oleh media yang begitu bengis. Jelas propaganda yang menemukan kegagalan.
Namun bukan musuh Islam namanya jika satu jalan buntu mereka menyerah. Islamophobia tak mempan mereka meggunakan istilah yang lebih menakutkan lagi yaitu Syariahphobia. Mereka menggiring umat islam khususnya dan masyarakat umumnya untuk melihat wajah Islam dengan pandangan picik. Umat Islam dibuat gerah bila mendengar syariah Islam apalagi jika Syariah Islam diterapkan. Umat di jadikan garda terdepan untuk menghadang penerapan syariah dalam tatanan kehidupan. Umat di hipnotis untuk pelan-pelan berjalan sesuai arahan mereka. Umat di takut-takuti dengan bayang-bayang mereka sendiri. Menengok perjuangan bangsa ini yang sebenarnya di landasi oleh perjuangan syariah. Dan parahnya sejak perjuangan kemerdekaan juga umat di jadikan bulan-bulanan. Contoh Syariahpobia adalah di rubahnya Piagam Jakarta, jaman reformasi adalah penolakan terhadap RUU Minuman Berakohol dan RUU anti pornografi, dan pornoaksi dengan menghilangkan kata anti dan pornoaksi. Semua itu dilandasi atas dasar toleransi. Isu toleransi hanyalah alat untuk menjegal penerapan syariah Islam dengan cara yang elegan.
Ironisnya lagi, meski berasas Islam, tak satu pun parpol atau caleg yang melirik syariah Islam kâffah sebagai platform politiknya. Tidak ada satu parpol pun yang gencar “menjual” syariah Islam kepada masyarakat selama kampanye. Tidak ada yang menawarkan Islam sebagai solusi. Hal ini tentu bukan karena ideologi Islam tak layak, tetapi memang tak ada yang berani ‘menjualnya’. Takut tidak laku. Alasannya, masyarakat belum siap.
Kalau diteliti, hampir semua parpol berasas Islam terjebak dalam penjara sekularisme. Sekalipun tampak “islami”, hal itu cuma sebatas di atas kertas; sebatas tertuang dalam misi dan visi, AD/ART atau platform parpol. Ada parpol yang memperjuangkan masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., berakhlak mulia, sejahtera lahir dan batin, adil dan makmur yang merata serta maju; berkhidmat dan bertanggung jawab bagi kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya dengan penuh ampunan dan ridha Allah SWT.
Asas Islam kerap pula muncul sebatas simbol, seperti gambar lima bintang yang menunjukkan rukun Islam yang lima; gambar Ka’bah sebagai kiblat umat Islam; gambar bulan-bintang yang identik dengan masjid; dan seterusnya. Sejatinya hal itu tidak masalah, asal parpol Islam tetap mengusung syariah Islam sebagai ideologi parpol. Sayangnya itu tidak mencuat.
Ada pula yang hanya istilah-istilahnya saja yang diganti dengan bahasa Arab. Islam masih dianggap kompatibel dengan demokrasi sehingga itulah yang diperjuangkan. Misalnya, DPR dianggap sebagai majelis umat karena ada aspek musyawarah. Presiden tak ubahnya khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat hingga keluar fatwa bahwa memilih presiden wajib hukumnya, haram bagi yang golput. Menteri dianggap identik dengan muawin (pembantu) khalifah. Demikian seterusnya.
Ramadhan tahun ini pula, umat Islam malah diminta untuk bersikap toleran terhadap pihak lain yang tidak puasa. Dengan logika yang sama, mereka akan meminta umat Islam untuk menghormati orang yang berzina atau mabuk. Sungguh menyesakkan dada. Padahal logika seperti itu sungguh sangat berbahaya. Bagaimana mungkin orang taat justru disuruh menghormati orang yang tidak taat; orang yang patuh justru diminta menghormati orang yang melanggar. Itu sama saja dengan mendorong orang untuk melanggar syariah dan bermaksiat.
Perda-perda yang dikatakan sebagai perda syariah pun digugat. Hal-hal yang jelas-jelas baik seperti keharusan bisa membaca al-Quran, kewajiban menutup aurat, larangan miras dan larangan membuka warung pada bulan Ramadhan justru dicabut. Perda-perda itu pun dibatalkan dengan alasan menghambat investasi, mengarah ke diskriminatif atau menyalahi peraturan yang lebih tinggi. Padahal semua itu akan membuat generasi-generasi muda, keluarga dan masyarakat akan semakin baik. Jelas, ini menunjukkan makin pudarnya kepekaan Pemerintah terhadap persoalan yang dihadapi oleh umat. Itu artinya, politik tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Sebab, seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, politik adalah mengatur urusan agar menjadi lebih baik atau paling baik.
Islamophobia, ketakutan terhadap syariah Islam, juga tampak menonjol. Apapun yang mereka anggap terkait dengan syariah Islam, mereka gugat. Rezim liberal sekular sekarang pun menampakkan ketidakjelasannya. Katanya Pemerintah prihatin dengan maraknya pemerkosaan, sementara pemerkosaan banyak dipicu oleh minum-minuman miras. Anehnya, perda larangan miras dan kewajiban menutup aurat malah dipersoalkan. Tampaknya semua itu memperlihatkan bahwa ketakutan terhadap Islam atau Islamophobia makin menjangkiti rezim sekular saat ini.
Islam dan umatnya akan tetap mengalami penistaan dan penghinaan oleh negara-negara Barat selama Islam dan umatnya tidak memiliki benteng sebagai pelindung mereka. Benteng tersebut tidak lain adalah sebuah institusi negara yang mempersatukan mereka di seluruh dunia, yakni Khilafah Islamiyah. Institusi tersebut akan menjadi pemersatu dan pelindung umat dari segala ancaman dan penistaan.
Munfadhiroh (MHTI Kediri)
(*/arrahmah.com)