(Arrahmah.com) – Berbuka puasa memang ajang yang dinantikan bagi orang-orang yang menjalani ibadah puasa maupun tidak. Ada sebagian orang memanfaatkan moment berbuka puasa bersama keluarga atau teman-temannya atau relasi bisnisnya.
Tidak hanya itu, bahkan sekarang sudah mulai digagas acara buka bersama yang melibatkan penganut agama lain atas nama kerukunan dan toleransi beragama.
sebagaimana yang dilansir republika.co.id, Malang (11/6/2016), buka bersama diadakan di lahan parkir Vihara Yayasan Sukhavati Lawang Kabupaten Malang.
Panitianya adalah paguyuban metta lawang yang terdiri dari penganut budha, nasrani dan islam. Buka bersama dilakukan atas nama toleransi dan keberagaman.
Masih dari situs yang sama, buka bersama juga dilakukan di Bandung dan mendapat apresiasi dari DPR karena dianggap menjunjung tinggi nilai toleransi umat beragama. okezone.com (16/6/16)
Namun benarkah agenda semacam buka bersama ini adalah bentuk dari toleransi? atau sebenarnya ada agenda lain yang berusaha disusupkan oleh pihak tertentu?
Kita bisa mengamati, selain buka bersama yang digagas bersama antara muslim dan non muslim, kita di Indonesia juga berusaha diajak berpikir bahkan bersikap untuk tidak “mensakralkan” setiap perayaan agama yang ada.
Misalnya, adanya pengarusan opini bahwa misa bersama adalah mubah, bahwa setiap bentuk budaya yang ada di Indonesia adalah tidak bertentangan dengan islam. Selama hati kita tetap mengakui Allah sebagai Tuhan, tidaklah sikap-sikap seperti ini merusak agama.
Dan kalaulah tujuan dari pelaksanaan buka bersama non muslim yang sekarang sedang ramai digalakan, hanyalah wujud jamuan untuk hubungan sosial, nama makan bersama mungkin lebih cocok digunakan. Tanpa mengikutkan nama berbuka, yang identik dengan pelaksanaan ibadah agama tertentu (Islam, red).
Kampanye ini sepertinya semakin gencar dilakukan, untuk memastikan bahwa kita, khususnya kaum muslimin semakin memahaminya. Kampanye tentang paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain inilah yang kemudian kita kenal dengan ide pluralisme.
Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama.
Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.
Inilah hakikat ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di Dunia Islam melalui berbagai cara dan media. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan Pemerintah yang harus mengacu pada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru.
Diharapkan, dengan suksesnya ide pluralisme di kalangan kaum muslimin, mereka tidak akan memegang teguh agamanya, karena nilai keberaran itu relatif. Kondisi ini tentu sangat menguntungkan musuh – musuh islam. Karena dengan demikian, militansi di kalangan umat islam bisa dikikis bahkan dihilangkan.
Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.”
Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Sehingga kita perlu merenungkan kembali, apakah tepat jika seorang Muslim mengambil ide pluralisme ini atas nama toleransi? karena sebenarnya dia telah berada dalam permainan agenda barat.
Dan kondisi ini yang sesungguhnya telah dan sedang mengancam kaum Muslim saat ini, ketika kaum Muslim kehilangan Khilafah Islamiyah sejak hampir satu abad lalu. Padahal Khilafahlah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim yang menerapkan Islam, melindungi akidah Islam serta menjaga kemuliaan Islam dari berbagai penodaan, termasuk oleh pluralisme.
Ririn umi hanif, Driyorejo, Gresik
(*/arrahmah.com)