TEL AVIV (Arrahmah.com) – Miri Regev, Menteri Kebudayaan dan Olahraga “Israel”, mendukung RUU penyiksaan terhadap tahanan Palestina. Dia tidak sendirian. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan hampir semua menteri dan anggota Knesset di koalisinya juga mengikuti jejak Regev.
Meskipun hampir setengah dari anggota Knesset menentang RUU tersebut, pemerintah “Israel” tetap mendukung pengesahan RUU itu, dan dengan demikian, ini tidak ada bedanya dengan pemerintah Mesir, Suriah dan negara-negara tetangganya di Timur Tengah.
RUU penyiksaan yang baru saja disahkan meliputi pemaksaan pemberian makan terhadap tahanan, yang menurut Asosiasi Medis Dunia, Palang Merah, dan PBB, dianggap sebagai bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan, dan merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional, sebagaimana dilansir oleh Al Jazeera, Sabtu (15/8/2015).
Tentu saja, undang-undang Knesset tentang masalah ini bukanlah hal yang aneh, bahkan di negara-negara Barat yang menganut demokrasi liberal sekalipun.
Di antara negara-negara yang menggunakan pemaksaan pemberian makan terhadap pemogok makan dengan cara yang tidak manusiawi juga dilakukan oleh sekutu kuat “Israel”, Amerika Serikat.
AS telah memaksa memberi makan narapidana di Guantanamo selama bertahun-tahun hingga sekarang, praktik ini sebenarnya memiliki akar yang dalam di imajinasi orang Amerika.
Pada awal abad ke-20, seorang aktivis perempuan Alice Paul, yang dipenjara karena menuntut hak perempuan untuk memilih, melakukan mogok makan di penjara, dan kemudian dipaksa makan oleh pejabat pemerintah AS.
Undang-undang baru “Israel’ tidak ditujukan terhadap warga negaranya sendiri, , setidaknya untuk saat ini, melainkan terhadap lebih dari 5.750 tahanan politik Palestina dari wilayah Palestina yang diduduki.
Sekitar 400 tahanan ini telah ditahan tanpa pengadilan. Beberapa diantara mereka ditahan hingga delapan, sepuluh dan sebelas tahun.
Praduga tak bersalah, yang mendasari semua sistem peradilan progresif dan demokratis, seharusnya diterapkan kepada mereka. Tetapi “Israel” tidak menerapkannya.
Selama beberapa tahun terakhir, banyak tahanan politik Palestina yang melakukan mogok makan sebagai bentuk protes non-kekerasan terhadap otoritas “Israel”, dan saat itu diperkirakan lebih dari 180 tahanan yang melakukan mogok makan.
Namun, pembenaran Netanyahu untuk meloloskan RUU yang melegalkan pemaksaan makan terhadap para tahanan mengungkapkan kontradiksi dalam logikanya.
Para tahanan administratif yang ditahan di penjara bertentangan dengan hukum internasional dan bertentangan dengan prinsip proses pengadilan.
Orang-orang ini tidak diberikan hak dasar untuk mendapatkan pengadilan yang adil, seperti halnya tahanan Muhammad Allaan, yang telah melakukan mogok makan selama 60 hari, dan tidak dianggap oleh pemerintah “Israel” sebagai manusia sepenuhnya, yaitu, manusia yang menanggung hak.
Namun, ada satu aspek dari langkah legislatif ini yang konsisten: yaitu keinginan untuk menyakiti korban Palestina yang vokal.
Hal ini penting untuk disoroti, bahwa dalam perjuangan mereka melawan pelanggaran “Israel” atas hak dasar mereka untuk proses hukum, para tahanan meluncurkan aksi mogok makan, yang merupakan bentuk protes non-kekerasan yang diakui oleh hukum internasional.
Ironisnya, cara pemerintah “Israel” dalam menangani protes non-kekerasan ini adalah dengan melakukan pelanggaran lain yang lebih serius: yaitu dengan melakukan penyiksaan yang sangat tidak berperikemanusiaan.
(ameera/arrahmah.com)