(Arrahmah.com) – Dakwah Rasulullah – Komunikasi merupakan bagian inheren dalam kehidupan manusia. Bahkan, mempunyai urgensi yang besar dalam menjalani kehidupan itu sendiri, di mana dengan berkomunikasi manusia dapat mengutarakan maksud dan keinginannya serta mentransfer nilai-nilai tertentu yang diinginkan.
Islam sebagai agama yang kaafah dan syumul juga sangat memperhatikan konsep dan nilai dalam berkomunikasi. Sebab, dakwah Islam sendiri berpadu padan dengan komunikasi atau boleh dibilang dakwah itu salah satu bentuk komunikasi.
Sementara itu, komunikasi memiliki seni tersendiri agar suatu informasi dapat diterima dengan baik, benar, dan tepat kepada komunikan. Sehingga, tidak keliru dalam memahami informasi yang dimaksud serta tidak salah memahami keinginan sang pemberi informasi tersebut.
Dalam sejarah dakwah Islam, Rasulullah SAW juga sangat memperhatikan metode dakwah agar pesan dakwah dapat diterima dengan baik bagi mad’u (yang didakwahi).
Hal itu dapat dilihat ketika Rasulullah saw melaksanakan wahyu Allah Ta’ala untuk mentauhidkan akidah umat yang keliru dengan menuhankan banyak Illah dan membersihkan peribadahan dari segala bentuk kesyirikan.
Beliau secara khusus memiliki sebuah tugas mulia dengan jalan mendakwahkan dien Islam ini kepada umat melalui metode yang haq yaitu berupa cara-cara yang sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala.
Di antara metode dakwah beliau saw adalah:
1. Bil hikmah wal mau’izhah
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl, 16:125)
Hikmah ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Oleh sebab itulah Allah Ta’ala meletakkan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai asas pedoman dakwah bagi Rasulullah dan juga bagi tiap umat yang bertugas meneruskan dakwah beliau hingga akhir zaman.
Pada ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa cara berdakwah yang diperintah Allah Ta’ala adalah sebagai berikut,
- Dakwah bil hikmah, yaitu metode dakwah dengan memberi perhatian yang teliti terhadap keadaan dan suasana yang melingkungi para mad’u (orang-orang yang didakwahi), juga memperhatikan materi dakwah yang sesuai dengan kadar kemampuan mereka dengan tidak memberatkan mereka sebelum mereka bersedia untuk menerimanya. Metode ini juga membutuhkan cara berbicara dan berbahasa yang santun dan lugas. Sikap ghiroh yang berlebihan serta terburu-buru dalam meraih tujuan dakwah sehingga melampaui dari hikmah itu sendiri, lebih baik dihindari oleh seorang pendakwah.
- Dakwah dengan cara mau’izhah al-hasanah, yaitu metode dakwah dengan pengajaran yang meresap hingga ke hati para mad’u. Pengajaran yang disampaikan dengan penuh kelembutan akan dapat melunakkan kerasnya jiwa serta mencerahkan hati yang kelam dari petunjuk dien. Pada beberapa da’i, ada yang masih saja menggunakan metode dakwah yang berseberangan dengan hal ini, yaitu dengan cara memaksa, sikap yang kasar, serta kecaman-kecaman yang melampaui batas syar’i.
- Dakwah dengan perdebatan yang baik, yaitu metode dakwah dengan menggunakan dialog yang baik, tanpa tekanan yang zalim terhadap pihak yang didakwahi, tanpa menghina dan tanpa memburuk-burukkan mereka. Hal ini menjadi penting karena tujuan dakwah adalah sampai atau diterimanya materi dakwah tersebut dengan kesadaran yang penuh terhadap kebenaran yang haq dari objek dakwah. Metode ini menghindari dari semata karena ingin memenangkan perdebatan dengan para mad’u.
2. Benar dan tegas tanpa kompromi
Sesungguhnya dakwah Rasulullah merupakan dakwah yang tegas tanpa kompromi. Perkara yang beliau saw sentuh dalam dakwahnya adalah perkara yang paling pokok dan paling mendasar, laa ilaaha illallah, Muhammadur rasulullah. Beliau saw menyeru bahwa tidak ada yang wajib diagungkan, diibadahi, ditaati dan dicintai kecuali Allah Ta’ala. Begitu juga terhadap perkara hukum, tidak ada hukum yang wajib diterapkan dan dilaksanakan, kecuali hukum-Nya. Oleh karenanya perkara ini menjadi sangat penting dan oleh karena sifat pembangkangan umat kafir serta muslim yang munafik, maka dakwah ini juga akan menimbulkan kecaman, kemarahan, dan permusuhan.
Namun perkara yang tidak menyenangkan hati ini tidak menurunkan semangat beliau saw untuk tetap berjuang menyampaikan yang haq. Dengan penuh kesabaran dan sifat welas-asihnya, beliau saw beristiqomah membimbing umatnya yang keliru kepada jalan yang lurus. Disamping itu, ketegasan pun beliau saw tampakkan sehingga kebenaran yang hakiki tidak bercampur dengan kebatilan. Beliau saw juga tidak melazimkan hal-hal diluar syari’at yang akan menimbulkan ‘kecintaan’ dari umat yang dengan itu beliau saw akan memperoleh dukungan yang besar.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. al-Hijr, 15:94)
Tujuan dakwah Rasulullah adalah mengembalikan sifat penghambaan manusia kepada Rabb-nya semata dan menerapkan hukum yang berlaku di bumi kepada Sang Pembuat hukum Yang sebenarnya, yaitu Allah azza wa jalla. Perkara ini merupakan perkara yang amat berat yang akan menimbulkan ujian dan rintangan berupa penderitaan dan kesakitan, baik jiwa dan fisik.
Melihat kenyataan ini, lalu beranikah kita menuduh Rasulullah tidak mengenal metode dakwah? Ataukah kita menyatakan bahwa dakwah beliau saw menyalahi taktik strategi bagi keamanan dan keselamatannya? Atau bagaimana pula dengan anggapan bahwa dakwah semacam ini seperti membenturkan kepala ke tembok?
Yang patut selalu dipahami adalah bahwa Rasulullah adalah sosok tauladan yang sempurna di segala aspek kehidupan, termasuk dalam metode dakwah. Hal inilah yang patut dijadikan contoh oleh para du’at.
Oleh sebab itu, perkataan sebagian umat Islam dewasa ini bahwa situasi umat telah berubah, dahulu umat baru sedikit jumlahnya, sedangkan kini umat Islam merupakan mayoritas sehingga cara yang harus diambil adalah dengan bersaing bahkan dengan bergabung dengan penguasa melalui parlemen.
Dalil pun diangkat sebagai pemulus hajat, yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Rasulullah pernah bersabda tentang para nabi keturunan bani Israil yang diutus sebagai para pemimpin politik (siyasah).
Pertanyaan mengenai perkara ini adalah pernahkah Rasulullah dan para sahabatnya duduk berdampingan dalam parlemen Daarun Nadwah, lalu berbincang masalah kenegaraan dengan orang kafir dan musyrik?
Adakah Rasulullah dan para sahabatnya masuk ke dalam pemerintahan Abu Jahal dan konco-konconya lalu membentuk partai Islam sebagai partai oposisi menentang pemerintahan yang sedang berkuasa? Secara historis kita bisa mempelajari hal ini.
Dahulu, tatkala kaum musyrikin sudah tidak lagi berdaya menghentikan dakwah Rasulullah melalui cara-cara kekerasan, penekanan, ancaman, serta percobaan pembunuhan—mereka lalu menempuh cara berkompromi dengan berbagai bentuk diplomasi agar Rasulullah bersikap lembut dan toleran kepada mereka.
Banyak para ahli diplomasi diutus kepada beliau saw untuk melunakkan prinsip dan pendirian beliau saw. Allah Ta’ala lalu mewahyukan ayat berikut kepada Rasulullah,
Artinya, “Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah), maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. al-Qolam, 68:8-9)
Lalu ketika negosiasi telah gencar-gencarnya ditujukan kepada Rasulullah oleh pihak musyrikin melalui tekanan fisik dan juga mental, dan ketika Rasulullah hampir cenderung kepada konsep dan ajakan mereka, Allah Ta’ala kembali mengingatkan,
Artinya, “Dan sesungguhnya mereka hampir-hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara dusta terhadap Kami, dan kalau sudah demikian tentulah mereka mengambil kamu sebagai sahabat setia. Dan sekiranya Kami tidak memperkuat kamu, niscaya kamu condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan timpakan kepadamu (siksaan) berlipat-ganda di dunia, dan (begitu pula berlipat-ganda) sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolongpun terhadap Kami.” (QS. al-Isra’, 17:73-75)
Allah Ta’ala mengingatkan bahwa masalah tauhid dan syari’at tidak bisa disamakan dengan masalah perdagangan yang diperbolehkan terjadinya tawar-menawar guna menemukan titik-pertemuan yang sama-sama menyenangkan bagi kedua-belah pihak.
Masalah akidah merupakan masalah tersendiri yang tidak memerlukan campuran-campuran baru dari makhluk. Akidah juga merupakan satu hakekat yang mempunyai bagian-bagian yang terpadu yang tidak dapat ditinggalkan sedikitpun oleh pejuang-pejuangnya.
Jurang yang memisahkan antara kebenaran yang hakiki dengan kebatilan adalah tidak mungkin dibuatkan perlintasan padanya. Ia merupakan pertarungan yang mutlak dan tidak mungkin dicari perdamaian atasnya.
3. Tidak menambah dan mengurangi satu huruf pun dari materi dakwah
Orang-orang kafir semasa Rasulullah senantiasa mencari jalan untuk menyelewengkan Rasulullah dari sifat dan karakter dakwahnya yang benar dan tegas. Mereka menginginkan agar Rasulullah mengikuti kehendak hawa-nafsu mereka dengan mengemukakan segala janji dan tipu-muslihat agar beliau saw meninggalkan prinsip dan bergeser dari jalan yang telah ditetapkan-Nya. Dalam al-Qur’an, sifat keengganan mereka mengikuti al-Qur’an dan sikap mereka yang berupaya agar Rasulullah mengganti petunjuk yang haq dengan yang mereka kehendaki yaitu pada firman-Nya,
Artinya, “Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia.” Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari sisiku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” (QS. Yunus, 10:15)
Inilah dalil Rabbani, memperingatkan nabi-Nya agar tidak merekayasa sistem dakwah dan perjuangan mengikuti konsep orang kafir yaitu memperjuangkan Islam melalui cara kompromi atau sistem demokrasi.
Sekiranya Rasulullah cenderung dan setuju untuk berkompromi sebagaimana yang ditawarkan musyrikin Mekkah kala itu, yaitu sesekali mengikuti peribadahan mereka, sehingga mereka pun akan bergantian mengikuti peribadahan Rasulullah, atau dengan menyetujui usulan mereka dalam mencampur-adukkan antara sistem Rabbani dengan sistem jahiliyah, niscaya Allah Ta’ala akan memvonis beliau saw sebagai orang yang berdusta lagi berkhianat terhadap wahyu-Nya. Berikut firman-Nya,
Artinya, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak kerjakan (apa yang diperintah itu) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah, 5:67)
Allah Ta’ala amat pengasih lagi penyayang kepada para nabi dan rasul-Nya sehingga Dia membimbing dan senantiasa memperkuat hati para hamba pilihan-Nya tersebut dari kecenderungan untuk berkompromi kepada jalannya orang-orang yang sesat.
Sejak hijrah ke Madinah hingga di akhir kehidupan beliau saw, tidak ada waktu yang terlewatkan melainkan untuk berdakwah menebarkan yang haq dan berjihad qital dalam rangka membela dien Islam dari serangan kaum yang memusuhi dien-Nya. Tidak ditemui pada diri beliau saw, meskipun dalam keadaan lemah, untuk bekerja-sama dengan kafir musyrik dalam memperjuangkan dienullah.
Allah Ta’ala telah memperingatkan,
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi teman kepercayaanmu, orang-orang yang diluar kalanganmu karena mereka tak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu, telah nyata kebencian di mulut mereka dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh Kami telah menerangkan ayat-ayat (Kami) jika kamu memahaminya. Beginilah kamu, kamu menyukai mereka padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata, “Kami beriman.” Dan apabila mereka menyendiri mereka menggigit ujung jari lantaran marah dan bercampur benci kepadamu. Katakanlah, “Matilah kamu dengan kemarahanmu itu, sesungguhnya Allah Maha memahami segala isi hati.” (QS. Ali ‘Imron, 3:118-119)
Apabila manusia sekarang ini dan juga yang akan datang tidak mau memahami dan mengambil pelajaran dari perkara penting ini, maka saksikanlah apa yang sudah dan yang akan terjadi akibat mendurhakai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Dan manakala umat Islam belum bersedia merubah sistem perjuangan parlementer kepada sistem yang yang telah digariskan al-Qur’an, yaitu metode iman, hijrah, i’dad, jihad, dan qital, maka yakinlah perjuangan itu tidak akan pernah sampai kepada cita-cita yang dituju.
Pengalaman di Indonesia misalnya, di zaman rezim Soekarno berkuasa pada pemilu tahun 1955, partai Islam Masyumi berhasil mengungguli perolehan suara partai nasionalis. Oleh karena itu tokoh-tokohnya berhak menduduki jabatan sebagai perdana menteri dan jabatan penting lainnya di pemerintahan, seperti M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Dr. Soekiman, dan Burhanuddin Harahap.
Akan tetapi kejayaan itu tidak berlangsung lama dan sejarah menjadi saksi bahwa bukan saja partai Masyumi dibubarkan oleh diktator Soekarno, bahkan mereka ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili.
Sementara harapan mereka untuk membangun masyarakat Islam dengan berlakunya syari’at Islam, belum terwujud di Indonesia, baik di kala mereka masih memerintah apatah lagi setelah mereka dipenjarakan.
Di Mesir tahun 1945, Imam Hasan al-Bana tampil sebagai calon tunggal melawan Dr. Sulaiman Ed di daerah Ismailiyah kawasan Terusan Suez. Menurut prediksi politik, perolehan suara akan dimenangkan oleh Imam Hasan al-Bana, Mursyidul ‘Am Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi setelah pengumuman hasil pemilu ternyata kemenangan berada di pihak Dr. Sulaiman Ed.
Tatkala jama’ah ikhwan mengadakan protes terhadap pemalsuan kartu suara, tiba-tiba mobil-mobil tank angkatan bersenjata milik Inggris keluar menerjang perhimpunan tersebut dengan melepaskan tembakan-tembakan ke arah jama’ah Ikhwanul Muslimin.
Dua hal tersebut adalah sedikit contoh bentuk kehinaan yang diterima umat Islam akibat meninggalkan sunnah, kecenderungan bekerja-sama dengan cara-cara yang tidak diridhai-Nya, serta keengganan mempersiapkan kekuatan fisik untuk berjihad secara qital melawan musuh yang memerangi dien-Nya.
Camkanlah seruan Allah Ta’ala,
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari-Nya padahal kamu mendengar (perintah-perintah-Nya) dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang (yang munafik) yang berkata, “Kami mendengarkan,” padahal mereka tidak mendengarkan (karena hati mereka mengingkarinya).” (QS. al-Anfal, 8:20-21)
Semoga bermanfa’at wallahu ‘alam bishowwab.
(Disadur dengan sedikit perubahan dari kitab Rojulun Sholih (Karakteristik Lelaki Shalih) karya Ust. Abu Muhammad Jibriel AR)
Sumber: http://abujibriel.com