DAMASKUS (Arrahmah.com) – Aneh, meskipun dibenci oleh rakyatnya dan perang masih berkecamuk hampir di seluruh negeri, presiden rezim Nushairiyah dan jajarannya secara diam-diam mempersiapkan penyelenggaraan pemilihan umum pada awal musim panas ini untuk memenangkan masa jabatan 7 tahun lagi.
Di tengah kehancuran, yang telah menewaskan lebih dari 140.000 orang menurut laporan PBB, pemilihan presiden mungkin nampak mustahil. Namun para pejabat rezim Suriah bersikeras menggelarnya tepat waktu.
Pemilihan ini diklaim sebagai pusat penggambaran pemerintahan Suriah terhadap konflik di panggung internasional. Rezim Suiah menyajikan pemilihan umum yang dijadwalkan pada akhir massa Assad sebagai “solusi” untuk krisis : Jika rakyat memilih Assad dalam pemilu, pertempuran harus berakhir dan jika Assad kalah, dia akan pergi.
Para pengamat mengatakan akan masuk akal untuk berpikir pemungutan suara bisa mencerminkan pilihan yang nyata, dan bahwa Assad sudah pasti menang. Ini akan menjadi mustahil untuk mengadakan pemilihan di wilayah yang dikuasai Mujahidin. Di daerah di bawah kendali rezim, banyak yang tidak berani bersuara untuk siapa pun kecuali Assad karena takut dengan polisi rahasia.
“Ada kesenjangan antara apa yang dipikirkan presiden Suriah dan realitas. Ia memiliki fiksasi dalam presidensial dan ia tidak melihat di luar itu,” ujar Hial Khashan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Amerika di Beirut seperti dilansir Washington Times (29/3/2014).
“Dia bisa menyelenggarakan pemilihan umum dan jika masyarakat internasional menganggap pemilihan ini secara serius maka ada sesuatu yang sangat salah dalam masyarakat internasional,” lanjutnya.
Di daerah yang dikuasai rezim, demonstran pro-Assad baru-baru ini menggelar aksi unjuk rasa untuk mendukung angkatan bersenjata, membawa poster Assad, bendera Suriah dan spanduk memuji rezim atas “kemenangan” melawan “teroris” istilah yang digunakan oleh rezim untuk merujuk kepada pejuang Suriah.
Assad dan istrinya yang merupakan kelahiran Inggris, Asma, telah muncul setelah pegasingan yang panjang, mengunjungi siswa sekolah, ibu-ibu dan siswa pengungsi dalam kampanye yang bertujuan untuk menanamkan rasa percaya diri dan optimisme untuk kembali memilih Assad.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di musim panas mendatang dalam perang Suriah.
Namun pada pekan lalu Mujahidin Suriah melancurkan serangan besar di tanah air leluhur Assad di provinsi Latakia, merebut wilayah perbatasan, titik persimpangan dengan Turki. Sepupu Assad, Hilal Assad, tewas dalam pertempura itu.
“Ini telah menjadi tahun yang besar untuk Assad,” ujar Fawaz Gerges A, diektur Pusat Timur Tengah di Sekolah Ekonomi London.
Belum ditetapkan kapan pemilihan akan dilaksanakan, namun biasanya diadakan 60 sampai 90 hari sebelum masa 7 tahun Assad berakhir pada 17 Juli mendatang. Bulan ini, “parlemen” Suriah menyetujui UU Pemilu-setidaknya dalam teori-untuk membuka pintu bagi pesaing potensial selain Assad. Dikatakan bahwa setiap calon harus tinggal di Suriah selama 10 tahun terakhir dan tidak memiliki kewarganegaraan lain.
“Kami melihat persiapan untuk pemilu tetapi bagi kami hasilnya telah diketahui,” ujar seorang aktivis Suriah di kota Homs, Mohammed Saleh. “Tentu saja akan ada calon lain untuk dekorasi saja.”
“Ini adalah rezim yang tidak sah yang seharusnya tidak mengadakan pemilihan,” ujar aktivis lainnya. “Assad bagi saya adalah sejarah dan ia tidak memiliki tempat di Suriah yang baru.” (haninmazaya/arrahmah.com)