JAKARTA (Arrahmah.com) – Ada atau tanpa tanda tangan presiden Joko Widodo, Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbaru tetap berlaku hari ini sesuai ketentuan.
Menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi, sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat 5, undang-undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan pemerintah tetap akan berlaku meski tak ada tanda tangan presiden.
Mengutip ayat yang dimaksud, rincinya adalah berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.”
Ada dua pertanyaan besar terhadap undang-undang KPK ini sebenarnya. Pertama adalah kenapa kabar soal penandatanganan saja simpang siur sampai sekarang? Kedua adalah, apakah peluang menerbitkan Perppu yang pernah disinggung Jokowi hilang begitu saja?
Seperti diketahui, revisi undang-undang KPK disahkan dan disepakati dalam sidang paripurna 17 September bulan lalu. Namun, sampai saat ini belum ada kabar apakah Presiden Joko Widodo sudah meneken revisi tersebut. Mengingat pernyataan akhir dari istana masih terdapat salah ketik atau typo di aturan yang membuat harus dikembalikan ke DPR sebelum ditandantangani Presiden Jokowi.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan permintaan untuk merevisi salah ketik sudah diselesaikan dan sudah dikirim kembali naskahnya ke Sekretariat Negara (Sekneg).
“Soal typo sudah ditandatangani. Harusnya sudah terkirim ya ke Setneg,” ujar Ketua Baleg DPR periode 2014-2019, Supratman Andi Agtas saat dimintai konfirmasi, Rabu (15/10/2019), dikutip dari Detikcom.
Masalah tanda tangan ini memang masih jadi misteri, mantan Anggota Panja Revisi UU KPK Arsul Sani bahkan juga mengaku tidak tahu apakah Jokowi sudah meneken UU KPK atau belum.
“Ya kita lihat, kan baru ketahuannya besok,” ujar Arsul Sani kepada wartawan, Rabu (16/10/2019).
UU KPK hasil revisi ini sendiri ramai-ramai ditolak aktivis antikorupsi lantaran dinilai disusun terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK. Isi UU KPK yang baru ini juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.
Dalam analisis internal, KPK sendiri telah menemukan setidaknya 26 persoalan dalam RUU tentang Perubahan Kedua UU KPK yang berisiko memperlemah kerja lembaga antirasuah tersebut.
Di antaranya ialah pelemahan independensi KPK dengan diletakkannya KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; pembentukan Dewan pengawas yang memiliki kewenangan melebihi Pimpinan; hingga Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan.
(ameera/arrahmah.com)