XINJIANG (Arrahmah.id) — Meskipun memiliki agama yang sama, namun posisi suku Uighur dan Hui dalam masyarakat Cina sangat berbeda.
Dilansir The Diplomat, suku Uighur berbicara dalam bahasa Turki yang ditulis dalam tulisan Arab, penampilan mereka juga berbeda dari penduduk lokal. Populasi mereka sekitar 8 juta, yang sebagian besar tinggal di Xinjiang. Daerah itu merupakan provinsi luas yang terletak di barat laut Cina yang berbatasan dengan berapa negara di Asia Tengah.
Untuk muslim Hui jumlahnya diperkirakan sekitar 11 juta, yang tidak memiliki lokasi khusus seperti muslim Uighur karena dapat ditemukan di seluruh wilayah Cina. Namun sebagian besar terpusat di Ningxia Hui. Kelompok ini tergolong unik, karena mereka mewakili satu satunya dari 56 kelompok kebangsaan yang ditunjuk secara resmi di Cina yang agamanya adalah salah satu pemersatu identitas.
Bagi sebagian besar muslim Hui, bahasa Mandarin adalah bahasa Ibu sehingga banyak dari mereka yang menggunakannya. Seperti umat Islam pada umumnya, mereka juga menghindari daging babi dan alkohol.
Perbedaan mencolok antara dua kelompok ini adalah posisi masing masing dalam kaitannya dengan pemerintah Cina.
Berbeda dari Hui, Uighur banyak mendapat diskriminasi. Dengan kedok upaya kontraterorisme dan antiseparatisme, pemerintah mempertahankan sistem diskriminasi etnis yang meluas terhadap orang Uighur dan dengan tegas membatasi ekspresi agama dan budaya.
Salah satu alasan kenapa muslim Uighur diperlakukan seperti itu karena budaya yang dianut.
Muslim Uighur sangat menjunjung tinggi budaya milik sendiri. Mereka juga tidak mau berasimilasi ke dalam masyarakat lokal. Karena itulah, mereka mendapat banyak reaksi negatif mulai dari chauvinisme hingga klaim tidak tahu berterima kasih oleh elite suku Han (mayoritas suku di china).
Sebaliknya, suku Han yang berperilaku tersebut dianggap sebagai “orang barbar” di masa dinasti oleh kelompok Uighur.
Muslim Hui, di sisi lain, adalah minoritas agama yang ideal bagi pemerintah Cina. Mereka sebagian besar telah berasimilasi dengan suku Han setelah mengadaptasi praktik Islam mereka agar sesuai dengan kultur yang dipengaruhi Konghucu.
Masjid-masjid mereka, perpaduan harmonis antara arsitektur dinasti Cina tradisional dengan motif Islam, adalah manifestasi sempurna dari asimilasi muslim Hui.
Aspek lain dari dimensi budaya yang memengaruhi posisi masyarakat Uighur adalah ras.
Diskriminasi rasial sering terjadi antara Uighur dengan suku Han.
Banyak dari suku Han merasa tidak nyaman terhadap Uighur, karena mereka mempercayai bahwa kelompok ini adalah pencuri dan pemarah dan merupakan fanatik agama.
Hal ini dikarenakan suku Han yang kurang pengetahuan tentang perbedaan antara kelompok minoritas Turki. Sehingga ketika terjadi kejahatan yang dilakukan oleh orang Tajik, Kazakh, Kirgistan, Uzbek, atau Tatar, suku Han kemungkinan besar akan menggambarkan pelaku kesalahan kepada pihak berwenang sebagai orang Uighur.
Efek dari stereotip ini terbukti di Urumqi, di mana jumlah suku Han dan Uighur hampir sama.
Ibu kota provinsi Xinjiang tersebut merupakan kota yang terbagi. Sementara orang Cina tinggal di utara yang lebih kaya, sebagian besar orang Uighur tinggal di selatan yang kurang berkembang.
Muslim Hui, bagaimanapun, berbaur dengan bebas di dalam kedua komunitas. Penguasaan bahasa Mandarin mereka memberi mereka legitimasi dengan suku Han, sementara keyakinan Islam mereka membuat mereka baik-baik saja dengan Uighur (meskipun ini tidak berarti bahwa tidak ada bentrokan).
Liang Zheng, seorang peneliti media Cina di Universitas Xinjiang di Urumqi, yang menganalisis beberapa surat kabar pemerintah dalam penelitiannya, menemukan bahwa penggambaran Uighur dalam media pemerintah Cina adalah sebagai teroris dan ancaman bagi China sangat meningkat setelah 9/11 (Serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat).
Hui tidak mengalami masalah seperti ini yang terkait dengan pers yang buruk. Tetapi bagi sebagian besar orang Uighur yang damai dan moderat, pelabelan publik ini telah menjadi beban besar.
Alasan berikutnya adalah tentang teritorial wilayah Uighur yang mengklaim bahwa Xinjiang telah diduduki secara tidak adil oleh warga Cina.
Mereka percaya bahwa daerah tersebut adalah Turkistan Timur dan bukan Xinjiang, yang harus menjadi negara berdaulat yang diperintah oleh etnis Uighur.
Sementara itu Hui hampir tidak pernah menantang otoritas teritorial partai. Mereka secara historis menunjukkan sedikit minat dalam politik. Mereka juga tidak memiliki banyak pengalaman dalam pemerintahan.
Sebaliknya, mereka telah ada dalam pemerintahan Cina yang berbeda selama berabad-abad sebagian besar sebagai kelompok minoritas dalam mayoritas suku Han.
Mereka percaya bahwa mereka dapat menjalankan agama mereka dengan bebas. Meskipun mereka telah mengalami diskriminasi dan kesulitan yang signifikan selama berabad-abad di bawah kelas penguasa dan sempat melawan balik di bawah kepemimpinan berbagai tokoh, pengalaman ini tidak menimbulkan keinginan yang serius untuk melakukan pemberontakan.
Itulah beberapa perbedaan dan bagaimana muslim Hui dan Uighur dalam masyarakat China dan bagaimana berjalannya hubungan sosial antar mereka sebagai minoritas di negeri China. (hanoum/arrahmah.id)