(Arrahmah.id) – Dalam bukunya, The Jewish Paradox, Nahum Goldman, mantan presiden Organisasi Zionis Dunia, menceritakan detail pertemuannya dengan David Ben-Gurion, perdana menteri pertama ‘Israel’, pada musim panas 1956. Perdana menteri ‘Israel’ tersebut mengatakan kepadanya: “Saya mendekati usia tujuh puluh tahun. Jika Anda bertanya kepada saya apakah saya akan dimakamkan di Negara ‘Israel’, saya akan menjawab ya. Dalam sepuluh atau dua puluh tahun lagi negara Yahudi akan tetap ada. Namun, jika Anda bertanya kepada saya apakah putra saya Amos akan beruntung dimakamkan di negara Yahudi setelah kematiannya, saya akan menjawab mungkin 50%.” Goldman menyela pembicaraannya dan berkata: “Bagaimana Anda bisa tidur dengan harapan seperti ini?” “Siapa yang bilang saya bisa tidur, Nahum?” jawabnya.
Kisah ini menyoroti krisis yang mengakar di kalangan orang ‘Israel’: hilangnya kepercayaan terhadap keamanan negara mereka, dan bahkan terhadap kelangsungan hidup mereka dalam jangka panjang. Krisis ini melanda masyarakat ‘Israel’ dari para pemimpin tertinggi hingga jajaran terendah.
Perasaan tidak aman ini diperburuk saat ‘Israel’ menghadapi pukulan dari lawan-lawannya, meskipun secara praktis ‘Israel’ telah menimbulkan lebih banyak kerugian daripada yang lawan-lawannya timbulkan kepada ‘Israel’, persis seperti yang terjadi pada situasi setelah Banjir Al-Aqsa.
Selama setahun penuh perang di Gaza, ‘Israel’ melakukan hampir 5.000 pembantaian terhadap warga sipil, yang mengakibatkan lebih dari 42.000 orang syahid, lebih dari 98.000 orang terluka, dan 10.000 orang hilang sejauh ini. ‘Israel’ juga melancarkan kampanye pengungsian yang memaksa dua juta warga Palestina, hampir 90% dari total populasi Jalur Gaza, untuk meninggalkan rumah mereka.
Namun, jajak pendapat berturut-turut menunjukkan bahwa sebagian besar warga ‘Israel’ merasa bahwa mereka kalah dalam perang, atau setidaknya gagal meraih kemenangan selama perang.
Hal ini terbukti, misalnya, dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Kan Channel ‘Israel bekerja sama dengan Kanter Institute dan dipublikasikan pada malam peringatan pertama Banjir Al-Aqsa pada 6 Oktober 2024, di mana 38% warga negara ‘Israel’ yang berpartisipasi menegaskan bahwa mereka yakin negara mereka kalah perang, sementara hanya 27% yang mengatakan mereka yakin bahwa ‘Israel menang, dan sisanya mengatakan mereka tidak tahu secara spesifik siapa yang menang.
Dalam jajak pendapat yang sama, 41% peserta mengatakan bahwa kepercayaan mereka terhadap tentara mereka telah menurun, dan mayoritas yang sangat besar, 86%, dengan suara bulat menolak gagasan untuk kembali tinggal di permukiman “Selimut Gaza”.
Namun, hasil yang lebih suram ditunjukkan oleh jajak pendapat lain yang dilakukan oleh Institut Demokrasi ‘Israel’ pada September 2024 dan dipublikasikan pada 1 Oktober 2024, di mana dua pertiga peserta menyatakan adanya penurunan rasa aman pribadi mereka sejak 7 Oktober 2023 hingga saat jajak pendapat.
Jajak pendapat bukanlah satu-satunya yang melakukan hal ini, tetapi analis dan peneliti terkemuka di ‘Israel’ telah mengadopsi kesimpulan yang sama, termasuk analis militer Amos Harel, dalam sebuah artikel di Haaretz, yang menyatakan: “Kegagalan dahsyat yang terjadi pada 7 Oktober akan terus membayangi ‘Israel’, seperti halnya perang, yang mungkin berlanjut selama bertahun-tahun.”
Dalam sebuah makalah berjudul “On the Dream of the New Middle East and Its Collapse,” yang disiapkan oleh Michael Milstein, kepala Forum Studi Palestina di Pusat Dayan di Universitas Tel Aviv, pada kesempatan peringatan pertama perang, ia mengatakan bahwa “7 Oktober adalah hari paling berdarah dalam sejarah konflik, kejutan yang mengejutkan di garis depan yang tidak dilihat sebagai ancaman langsung; yang merusak rasa superioritas strategis, dan itu adalah kejutan yang akan tetap ada dalam ingatan kolektif Yahudi.”
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar Ibrani “Zo Haderich”, penulis terkemuka Avishai Erlich mengatakan bahwa “tahun lalu adalah tahun terburuk dalam sejarah Negara ‘Israel’, mengingat masa depan negara itu tampak samar-samar di tengah kabut perang panjang tanpa tujuan yang jelas, tanpa tenggat waktu, dan tanpa biaya tertentu.”
Dalam sebuah artikel di surat kabar Haaretz karya penulis Haim Levinson dengan judul: “Saying the unsayable… Israel has been completely defeated”, penulis tersebut berkomentar dengan mengatakan: “Tidak ada satu pun menteri dalam pemerintahan yang akan mampu memulihkan rasa aman kita.”
Paradoks antara tingkat kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh agresi ‘Israel’ di Gaza dan rasa kekalahan serta hilangnya rasa aman ‘Israel’ sendiri, membuka pintu bagi pertanyaan penting tentang alasan di balik perasaan yang mengakar dalam ini, yang terbagi menjadi alasan struktural yang mendalam yang menghuni hati nurani ‘Israel’ dan membuatnya terus-menerus merasa cemas dan terancam, dan meningkatkan kepekaannya terhadap perasaan bahaya lebih dari yang lain, dan alasan lain yang lebih modern yang diakibatkan oleh Operasi Banjir Al-Aqsa yang telah mengotori entitas ‘Israel’, negara dan masyarakat, dengan cara yang mungkin tidak akan pernah pulih.
Dilema Geografi dan Kompleksitas Sejarah
“Kami akan menerima batas-batas negara sebagaimana yang ditetapkan sekarang, tetapi batas-batas harapan Zionis merupakan urusan orang-orang Yahudi saja, dan tidak ada faktor eksternal yang dapat membatasinya.”
Demikianlah yang dideklarasikan David Ben-Gurion tak lama setelah deklarasi berdirinya Negara ‘Israel’ pada 1948, yang tidak hanya mengungkapkan harapan ideologis mengenai batas-batas negara Yahudi historis sebagaimana yang dibayangkan oleh para pengikut gerakan Zionis, tetapi juga kebutuhan geopolitik untuk mengamankan negara ‘Israel’ yang baru lahir yang dipaksakan di tanah tempat penduduknya telah diusir, dan di tengah-tengah lingkungan yang secara radikal memusuhi keberadaannya.
‘Israel’ memiliki banyak dilema, tetapi geografi adalah yang paling penting dan rumit dari semuanya. Pertama-tama, geografi ‘Israel’ menderita akibat jarak metrik yang pendek antara batas-batas wilayah yang dikuasainya dan ibu kotanya di Yerusalem, yang jelas-jelas terancam oleh para penentangnya, dan juga menderita akibat rapuhnya jalur komunikasi laut dan daratnya, di tengah-tengah negara-negara tetangga yang tidak membuatnya merasa cukup aman meskipun telah terjadi netralisasi resmi di wilayah Mesir dan Yordania setelah perjanjian damai di Camp David pada 1979 dan Wadi Araba pada 1994.
Dilema ini, karena mengancam geografi, maka jiwa warga‘Israel’juga merasa terancam sehingga meningkatkan tuntutan mereka untuk merasa aman dibandingkan dengan warga negara di negara “normal” lainnya.
Oleh karena itu, banyak orang ‘Israel’ percaya bahwa batas-batas negara mereka saat ini tidak memadai, dan bahwa keamanan orang-orang Yahudi hanya akan tercapai melalui rencana negara yang luas yang ditetapkan oleh “para pendiri negara”, yang memberikan negara ‘Israel’ keamanan topografi alami dan menyediakan sabuk pengaman di hati masyarakat ‘Israel’.
Situasi ‘Israel’ saat ini dan kurangnya kedalaman pertahanan membuatnya tidak siap menghadapi invasi dan serangan atau mengelola operasi darat di wilayahnya; oleh karena itu, strategi pertahanannya terutama bergantung pada prinsip “peringatan dini”, yang memberinya keuntungan tempur dan kemampuan untuk menghadapinya secara preemptif.
Oleh karena itu, keyakinan ‘Israel’ terhadap kemampuan negara untuk merasakan agresi jauh sebelumnya, dan kepastian intelijen dan keunggulan teknis, bukanlah hal yang mudah, dan jika mereka diserang sekali – seperti yang terjadi pada Banjir Al-Aqsa – ‘Israel’ tidak akan pulih dengan mudah, dan mungkin tidak akan pernah pulih.
Layaknya geografi, sejarah juga tidak berpihak pada kesadaran ‘Israel’, yang menderita warisan kompleks yang terkait dengan rasa takut untuk kembali ke diaspora, dan menyimpan memori penganiayaan Eropa yang digunakan mesin propaganda ‘Israel’ untuk menekan kesadaran ‘Israel’ sendiri seperti halnya yang dilakukannya terhadap Barat, yang terbukti dalam bisikan dan pernyataan para pemimpin ‘Israel’, dari Ben-Gurion hingga Netanyahu.
Pada 2017, enam tahun sebelum Banjir Al-Aqsa, Perdana Menteri saat ini Benjamin Netanyahu menyatakan: “Saya akan berusaha agar ‘Israel’ mencapai ulang tahunnya yang ke-100, karena pertanyaan tentang keberadaan kita tidak terbukti dengan sendirinya, dan kita harus buktikan. Sejarah mengajarkan kita bahwa tidak ada negara bagi orang-orang Yahudi yang bertahan lebih dari 80 tahun.” Masyarakat yang cemas, bermasalah, dan hancur ini tidak dapat menanggung ancaman eksistensial seperti yang disebabkan oleh banjir Al-Aqsa, juga tidak dapat dengan cepat pulih dari konsekuensinya.
Lebih khusus lagi, mantan Perdana Menteri Ehud Barak mengatakan dalam sebuah artikel di Yedioth Ahronoth pada Mei 2022: “Sejarah Yahudi menunjukkan bahwa tidak ada negara bagi orang-orang Yahudi yang bertahan lebih dari 80 tahun, kecuali dalam dua periode luar biasa, periode Raja David dan periode Hasmonean, dan kedua periode tersebut mulai hancur pada dekade kedelapan, saat ini negara ‘Israel’ akan memasuki dekade kedelapan, dan saya khawatir kutukan akan menimpanya.” (zarahamala/arrahmah.id)
Bersambung
*Penulis adalah Jurnalis Al Jazeera Arab