KAIRO (Arrahmah.id) — Mesir menolak usulan apa pun untuk mengambil alih kendali Jalur Gaza, setelah seruan pemimpin oposisi Israel Yair Lapid agar Kairo mengelola wilayah Palestina untuk sementara.
Dilansir Anadolu Agency (26/2/2025), seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Mesir menyebut usulan tersebut sebagai “solusi setengah-setengah” yang akan melanggengkan siklus konflik alih-alih menyelesaikannya secara permanen.
“Usulan apa pun yang mengabaikan posisi Mesir dan Arab yang konstan, dan landasan yang kuat untuk menangani inti konflik, yang berkaitan dengan penarikan Israel dari wilayah Palestina yang diduduki dan pembentukan negara Palestina yang merdeka tidak dapat diterima,” tegas juru bicara Kemlu Mesir Tamim Khallaf.
“Usulan ini adalah solusi setengah-setengah yang hanya akan memicu kembali konflik alih-alih menyelesaikannya secara tuntas,” ujar dia.
Juru bicara tersebut menegaskan kembali hubungan mendasar antara Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, sebagai bagian dari wilayah Palestina yang merupakan negara Palestina masa depan.
Dia menekankan wilayah ini harus berada di bawah kedaulatan dan administrasi penuh Palestina. Pada hari Selasa, Lapid mengusulkan agar Mesir mengambil alih kendali Gaza hingga 15 tahun dengan imbalan pembatalan utang luar negerinya yang bernilai lebih dari USD150 miliar.
Lapid menyampaikan usulan tersebut dalam pidatonya di Foundation for Defence of Democracies (FDD) di Washington dan kemudian mengunggahnya di X, menurut harian Israel Maariv.
Lapid mengklaim selama 15 tahun, “Gaza akan dibangun kembali dan kondisi untuk pemerintahan sendiri akan tercipta. Mesir akan menjadi pemain utama dan akan mengawasi rekonstruksi, yang selanjutnya akan memperkuat ekonominya.”
Mesir menguasai Jalur Gaza selama hampir dua dekade setelah pembentukan Israel pada tahun 1948, ketika milisi Yahudi merebut tanah Palestina dan melakukan pembantaian yang menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi.
Kelompok perlawanan Palestina Hamas menolak rencana apa pun untuk melucuti senjata atau diusir dari Gaza, menekankan masa depan daerah kantong itu harus ditentukan melalui konsensus nasional Palestina.
Israel terus menduduki wilayah Palestina, Suriah, dan Lebanon dan menolak menarik diri atau mengakui negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya dalam batas wilayah sebelum tahun 1967.
Perjanjian gencatan senjata dan pertukaran tahanan telah diberlakukan di Gaza sejak bulan lalu, yang menghentikan perang Israel, yang telah menewaskan hampir 48.350 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan membuat daerah kantong itu hancur.
November lalu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi kasus genosida di Pengadilan Internasional atas perangnya di daerah kantong itu. (hanoum/arrahmah.id)