(Arrahmah.com) – Kasus Mesir : Baru-baru ini enam jutaan rakyat Mesir turun ke jalan untuk mendukung apa yang mereka namakan Konstitusi Baru –untuk membedakan konstitusi lama warisan Husni (La) Mubarak–yang digadang-gadang oleh koalisi pemerintahan Ikhwanul Muslimin dan Salafi Jihadi yang memegang 70% kursi Parlemen pimpinan Mohammad Mursi. Bahkan pekan-pekan ini rakyat Mesir akan mengadakan referendum untuk menguji persetujuan mereka terhadap konstitusi baru tersebut. Tulisan ini dibuat untuk memperingatkan rakyat Mesir agar tidak tertipu oleh kepentingan politik segelintir penguasa Mesir demi menyelamatkan kedudukan mereka sebagaimana tertipunya para tokoh Islam Indonesia yang mencoret ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta demi memenuhi ambisi persatuan nasional.
Kalau memperhatikan ‘mukadimah’ RUU dari konstitusi baru tersebut, maka saya khawatir rakyat Mesir yang sangat menghendaki diterapkannya hukum Islam akan gigit jari karena tidak sadar tertipu oleh para penguasa yang menjadikan demokrasi sebagai system hidup bernegara. Hal ini tampak dalam pasal 2 RUU Mesir yang menyatakan: Islam adalah agama negara (al Islamu dinu ad daulah) , bahasa Arab merupakan bahasa resmi negara, dan prinsip-prinsip syariah Islam (mabadi`u asysyari’ah al Islamiyah) menjadi sumber utama pembuatan hukum (al mashdar arro`iisiy littasyrii’) . (arrahmah.com)
Yang perlu dipahami adalah, bahwa ‘prinsip-prinsip syariah islam’ itu bukanlah materi syariat Islam itu sendiri. Umpamanya prinsip syariah dalam penetapan hukuman adalah keadilan, maka untuk mencapai keadilan tidak harus menerapkan hukum potong tangan bagi pencuri (almaidah 38) atau rajam bagi pezina muhshon (annisa 15) atau cambuk bagi pezina ghoiru muhshon, dll. Apalagi syariah Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum, artinya selain Islam ada juga sumber hukum adat, aspirasi rakyat, peninggalan penjajah, dioplos dengan hawa nafsu anggota parlemen. Padahal, jika Mesir menjadi Negara Islam, maka sumber hukum satu-satunya adalah Alquran dan Assunnah, tidak boleh ada UU yang bertentangan dengan keduanya.
Penegasan Mesir bukanlah negara Islam tampak dalam pasal 1 draft RUU ini yang mengokohkan Mesir sebagai negara republik dengan sistem demokrasi: Republik Arab Mesir adalah negara berdaulat yang independen, bersatu dan tidak bisa dipecahbelah, dan merupakan negara dengan sistem demokrasi (wa nidhomuha dimuqrothiy). Inti ajaran demokrasi adalah hak pembuat hokum (UU) ada di tangan rakyat yang diwakili oleh parlemen. Berbeda secara diametric dengan inti ajaran Islam (Tauhid) bahwa hak mencipta dan mengatur hanya di Tangan Alloh swt (al-A’rof 54). Karena hanya Alloh swt pencipta alam semesta ini maka hanya Dia yang berhak mengatur seluruh system kehidupan tata surya dan Dia tidak membutuhkan sekutu dalam penetapan hukumNya (Alkahfi 26). Maka hanya Dialah yang berhak menetapkan hukum (musyarri’) mana yang halal, mana yang haram, mana yang boleh dan tidak boleh (yusuf 40), sedangkan manusia hanya berhak menjalankan (tanfidz) hukum-hukumNya di bumiNya ini (annisa 61). Maka resiko penolakan penerapan hukum-hukumNya di dunia ini adalah kafir fasiq zalim (almaidah 44, 45, 47).
Orang-orang liberal Mesir paham apa itu hakikat dari system demokrasi, sehingga mereka menolak penerapan hukum Islam, padahal mereka juga mengaku beragama Islam, juga shalat, zakat, puasa, dan haji. Namun ketika mereka hendak memutuskan perkara, mereka berpaling dari kitab suci lalu beralih kepada hokum yang mereka buat sendiri sesuai dengan ‘aspirasi rakyat’. Inilah yang dimaksud dengan berhukum kepada thoghut sebagaimana firmanNya dalam surat annisa 60. Keadaannya mirip dengan demokrasi di Indonesia. Bedanya, di Mesir masih menjadikan Islam sebagai sumber hukum Negara dan menempatkan Universitas Islam Al Azhar untuk memutuskan apakah pasal dalam rancangan konstitusi itu sejalan dengan hukum Islam atau tidak. Sedangkan di Indonesia, kekuasaan tertinggi berada di tangan Mahkamah Konstitusi yang sembilan orang itu. Merekalah yang berhak menentukan sah tidaknya UU bila dikonfrontir dengan UUD 45 sebagai UU tertinggi. Jika ada partai yang mengaku Islam membuat UU rajam atau potong tangan, pasti ditolak dan dibatalkan oleh MK karena bertentangan dengan UUD 45. Jadi jangan pernah ada para anggota parlemen dari partai-partai tersebut bermimpi atau bercita-cita untuk menggolkan satu saja hokum Islam, karena tidak akan tercapai sampai kiamat jika melalui system demokrasi.
Kasus Indonesia
Membiaknya tindak kejahatan (termasuk korupsi) di Indonesia dan seringnya masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) terhadap para tersangka pelaku tindak kejahatan seperti dengan menganiaya, membunuh, bahkan membakar hidup-hidup, merupakan fenomena hukum yang sangat memprihatinkan. Karena hal ini menunjukkan tersumbatnya mekanisme hukum yang ada, tidak ada lagi kepastian hukum dan wibawa para penegaknya di mata masyarakat. Bahkan fenomena ini juga memperlihatkan kian krisisnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum positif yang berlaku dan upaya penegakannya.
Selama ini, pendekatan analisis terhadap kasus di atas selalu diarahkan kepada lemahnya penegakan supremasi hukum bahkan soal renumerasi, tapi sama sekali tidak menyentuh aspek yang lebih asasi dan substansial, yaitu pengujian dan analisis terhadap kelayakan materi atau ketentuan hukum yang berlaku, seperti sejauh mana sistem hukum tersebut memenuhi kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengayomi, melindungi dan memelihara ketenangan hidup bermasyarakat. Mereka mencampakkan hokum yang bersumber dari kitab suci yang diturunkan oleh Allah swt pencipta mereka, lalu berpaling kepada hokum warisan colonial Belanda (wetboek van strafrecht yang berganti nama jadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana).
Ketika penulis aktif di Majelis Mujahidin (2000-2007) bersama Ustadz Abu bakar Ba’asyir, kami membentu satu Komisi yang bertugas menyusun naskah legal drafting Hudud dalam bentuk mirip KUHP. Tujuannya dalam rangka mengubah materi-materi hukum pidana yang bertentangan dengan syariat. Kebetulan waktu itu menterinya dari Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengklaim sebagai partai Islam pengganti Masyumi tempo doeloe. Naskah ini pernah disampaikan kepada pemerintahan Megawati cq Menteri Kehakiman dan HAM Prof. Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu sedang menyusun Rancangan KUHP untuk menggantikan KUHP, namun hingga detik ini tidak ada tanggapan sama sekali sampai berganti rezim.
Kala itu kami memahami bahwa demokrasi akan mengadopsi semua aspirasi rakyat, sehingga kami menuntut dimasukkannya materi hukum Hudud dan Qishash ke dalam materi Rancangan KUHP tersebut demi terbentuknya hukum yang adil dan manusiawi guna mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila hal tersebut tidak terpenuhi, maka kami juga menuntut kepada pemerintah untuk mengesahkan KUHP Syariah sejajar (Dual Law System) dengan KUHP, sehingga siapa pun yang menghendaki berlakunya hukum tersebut dapat difasilitasi oleh pemerintah. Mengingat sudah ada sejumlah pelaku kejahatan yang telah meminta eksekusi kepada kami. Namun karena kami belum mempunyai otoritas dan wilayah, maka permintaan tersebut belum dapat dilaksanakan.
Ternyata demokrasi tidaklah seperti yang kita pahami. Demokrasi memberi kebebasan rakyat untuk mengekspresikan keyakinannya, tetapi tidak untuk keyakinan menerapkan hukum Islam. Demokrasi menempatkan segelintir orang (parlemen) yang mereka klaim sebagai wakil rakyat, padahal aspirasi rakyat tidak bisa diakomodir semuanya, walaupun mereka berkata bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei), nyatanya aspirasi yang datang dari umat Islam untuk menerapkan hokum Allah swt ditolak. Dalam demokrasi, orang bebas beragama maupun tidak beragama. Demokrasi memberikan hak yang sama kepada semua orang, baik penjahat maupun orang baik-baik. Demokrasi menyamakan hak wanita dan laki-laki tanpa diskriminasi. Demokrasi mengakui semua agama itu baik dan benar, cuma beda jalan saja menuju Allah swt dan seterusnya yang mana semua prinsip-prinsip demokrasi bertentangan dengan Islam.
Ternyata kami benar-benar tertipu oleh demokrasi. Kami sudah sosialisasikan ke seluruh elemen bangsa. Bahkan materi ‘KUHP Syariah’ ini juga telah disempurnakan melalui Seminar Nasional yang diadakan di Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial Depsos di Jogjakarta pada tanggal 27-28 Juli 2002. Seminar tersebut dihadiri oleh sejumlah ormas Islam dan wakil Menteri Kehakiman dan HAM Nazarudin Bunas, SH, MH, Direktur Ditjen Administrasi Hukum Umum Dep. Kehakiman dan HAM. Selanjutnya penyelarasan akhir bahasa hukum dan bentuk batang tubuhnya sesuai perundang-undangan di Indonesia diantaranya diedit oleh Nasruddin, SH, salah seorang anggota Tim Advokasi MMI. Semuanya kandas tanpa sisa.
Kasus Aceh
Apakah rakyat Aceh yang menghendaki penerapan hokum Islam juga tertipu? Jelas ya. Setidaknya qonun jinayat untuk pelaku zina muhshon yakni rajam juga kandas karena dinilai bertentangan dengan UUD 45. Bahkan sekelompok orang yang menjalankan syariat I’dad di Aceh justru ditangkap oleh Densus 88 karena dituduh melakukan teror (UU no. 15 Th 2003). Lalu apa yang dilaksanakan sekarang di Aceh? Yang diterapkan sekarang adalah Perda Demokrasi, bukan Perda Syariat atau Hukum Islam. Cambuk memang salah satu bentuk hukuman dalam Islam, tetapi menerapkan hukum cambuk tidak otomatis menjalankan hukum Islam. Singapura juga menerapkan hokum cambuk untuk pelaku vandalisme, bahkan Cina menerapkan hukuman mati untuk koruptor dan para penikmat harta korupsi, tetapi Cina dan Singapura adalah musuh-musuh Islam.
Jika polisi syariat (hisbah) di Aceh menangkap pelaku miras, judi, atau khalwat tidak dituduh melanggar dalil-dalil alquran dan assunnah, melainkan didakwa melanggar Perda nomor sekian, lalu dihukum berdasarkan isi Perda tersebut yang kebetulan menggunakan cambuk sebagai salah satu sanksinya. Berarti ketundukannya bukan kepada syariat tetapi kepada UU buatan parlemen yang kebetulan materinya mirip syariat. Inilah tipuan demokrasi yang lebih halus daripada aliran darah di urat nadi, sehingga kebanyakan manusia tidak paham (yusuf 40).
Maka dengan ditolaknya hukum rajam di Aceh walaupun sudah diproses secara demokratis dan ditangkapnya Ustad Abu Bakar Ba’asyir dkk yang dituduh terlibat I’dad (pelatihan militer) yang disyariatkan (Al-anfal 60) di gunung Jalin Jantho Aceh dengan asumsi di Aceh sudah berlaku syariat, menunjukkan penipuan demokrasi di siang bolong. Anehnya banyak orang merasa nyaman dengan penipuan ini karena menikmati sedikit fasilitas dunia. Maka: “nikmatilah kekafiranmu sebentar saja, sungguh kamu adalah penghuni neraka!” (azzumar 8).
Ya Allah, jadikanlah kami termasuk kelompok yang sedikit, yakni orang-orang yang memahami tauhid dan syiriknya demokrasi, jauhkanlah kami dari kebanyakan orang yang menjadikan demokrasi sebagai jalan hidupnya, cukup sekali kami tertipu demokrasi dan janganlah Engkau tipukan demokrasi ke dalam jiwa kami, karena hanya kambing congek yang terjatuh dalam lobang yang sama. Amin ya mujiibassaailiin.
Oleh: Fauzan Al-Anshari, Direktur Lembaga Kajian Politik dan Syariat Islam/LKPSI