KAIRO (Arrahmah.com) – Menteri luar negeri Mesir, Ahmed Abul Gheit, memperingatkan pada Minggu (16/1/2011) pada Barat untuk menjauh dari urusan bangsa-bangsa Arab. Peringatan ini dikeluarkan beberapa hari setelah menlu AS, Hillary Clinton, mendesak para penguasa Arab untuk bekerja keras bersama rakyatnya untuk mewujudkan reformasi.
Dalam pidato terpisah, pejabat tinggi Kairo ini meremehkan kekhawatiran bahwa gaya pemberontakan populer Tunisia bisa menyebar ke negara-negara Arab lainnya. Abul Gheit menyebutnya “omong kosong”.
Abul Gheit membuat komentar ini di resort Laut Merah, Sharm el-Sheikh, tempat para menteri luar negeri Arab sedang mempersiapkan pertemuan puncak ekonomi yang akan diadakan pada hari Rabu mendatang.
Mesir, katanya, mengusulkan agar kepala Liga Arab, Amr Mussa, menjadikan isu mengenai “upaya beberapa negara Barat dan Eropa untuk campur tangan dalam urusan Mesir dan Arab” sebagai isu utama dalam konferensi tingkat tingginya.
“Kami berharap bahwa KTT akan mengadopsi usulan Mesir mengenai pesan dari Arab untuk dunia Barat dan Eropa dan dengan tegas mengatakan pada mereka: Jangan pernah berani mencampuri urusan kami,” ungkapnya seperti dikutip oleh kantor berita resmi MENA.
Pada hari Kamis lalu (13/1), Clinton mendesak para pemimpin Arab untuk bekerja dengan rakyat mereka dalam melaksanakan reformasi serta mengancam bahwa wilayah Arab berpeluang untuk terbenam jika membiarkan ‘ekstrimis’ mengambil alih kekosongan kekuasaan.
Rakyat Arab sudah bosan dengan institusi yang korup, lanjut Clinton pada para penguasa Arab di Qatar yang menghadiri orum Masa Depan, sebuah inisiatif AS yang bertujuan untuk mempromosikan kemitraan yang sudah disepakati pada tahun 2004.
Clinton mendorong dan menguatkan para pemimpin di kawasan Arab melalui kemitraan ini bahwa mereka memiliki kapasitas untuk membangun masa depan baru yang lebih berani yang berbasis pada pengembangan usaha serta mendorong kebebasan politik.
“Ini saatnya untuk melihat masyarakat sipil bukan sebagai ancaman tapi sebagai mitra,” katanya.
Abul Gheit juga menepis anggapan bahwa orang-orang di dunia Arab bisa terinspirasi oleh Tunisia, di mana protes kekerasan memaksa Presiden Zine El Abidine Ben Ali untuk meninggalkan jabatannya.
“Pembicaraan tentang penyebaran apa yang terjadi di Tunisia ke negara lain adalah omong kosong. Masing-masing memiliki kekhasan masyarakat sendiri,” kata Abul Gheit pada wartawan di Sharm el-Sheikh.
“Jika orang-orang Tunisia memutuskan untuk mengambil pendekatan itu, itu urusan mereka.”
Komentar Abul Gheit ini juga muncul saat Mesir menghadapi kecaman internasional setelah jajak pendapat legislatif pada bulan November dan Desember dihadapkan pada tuduhan penipuan, serta penanganan pemerintah Mesir terhadap minoritas Kristen Koptik setelah pemboman pada perayaan Tahun Baru di salah satu gereja mereka. (althaf/arrahmah.com)