KAIRO (Arrahmah.com) – Jendral Abdel Fattah al-Sisi membuktikan dirinya sebagai presiden Mesir yang sebenarnya, sekaligus menegaskan bahwa lembaga militer merupakan satu-satunya unsur yang solid dan mampu untuk menjungkalkan hasil pemilihan umum kapan saja ia menghendakinya, dengan judul “memenuhi keinginan rakyat dan menjaga kepentingan nasional”.
Ini merupakan kudeta militer, dalam wajah sipil, dengan topeng agama. Inilah yang menginterpretasikan penyertaan Syaikh Al-Azhar dan Paus Kristen Koptik dalam proses pengambilan keputusan pemecatan Presiden Mursi dan gerakan Ikhwanul Muslimin, serta melemparkan mereka ke dalam ketidak jelasan, yang barangkali juga berujung pada penjeblosan ke dalam penjara-penjara, berdampingan dengan sel mantan Presiden Husni Mubarak dan kroni-kroninya.
Ketika kita mengatakan ini adalah kudeta militer dalam wajah sipil, maka yang kami maksudkan adalah lembaga militer memilih presiden sipil sebagai pejabat sementara, yaitu ketua Mahkamah Konstitusi, lalu lembaga militer menyerukan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada waktu enam bulan mendatang, serta membentuk panitia ahli untuk menyusun konstitusi baru.
Jendral Abdel Fattah al-Sisi tidak mengikuti langkah pendahulunya, Jendral (purnawirawan) Husain Tanthawi yang memimpin Dewan Militer. Jendral Al-Sisi lebih memilih sebagai “pembuat raja” dan duduk di kursi kepemimpinan tanpa menjadi pemimpin langsung. Persis seperti posisi Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin atau Mursyid A’la (Pemimpin Tertinggi) dalam Revolusi Iran.
***
Sudah jelas sekali, lembaga militer Mesir memilih berpihak kepada kelompok yang lebih mampu mengerahkan jutaan massa di lapangan-lapangan dan jalan-jalan Mesir, sesuai pernyataan sikap militer yang dirilis kemarin sore. Namun juga jelas sekali bahwa Ikhwanul Muslimin yang harus menunggu 90 tahun untuk mencapai kursi kekuasaan, kini merasa menjadi korban dan kursi kepresidenan dicuri dari mereka, baik kita sepakat dengan pemikiran itu maupun tidak sepakat dengannya.
Pendukung gerakan pembangkangan yang mengerahkan jutaan massa ke Tahrir Square dan Istana Kepresidenan merayakan kemenangan mereka dengan perayaan yang lebih meriah disbanding perayaan saat rakyat menjatuhkan mantan Presiden Husni Mubarak. Itu hak mereka, karena cita-cita mereka telah teraih dan tuntutan mereka untuk menyingkirkan “Kepemimpinan Mursyid ‘Aam” telah dipenuhi, seperti slogan yang selalu mereka kumandangkan selama beberapa hari dan beberapa pekan yang lalu.
Tentara Mesir telah merencanakan peristiwa hari ini dengan sangat baik. Nampaknya Tentara Mesir telah mengambil pelajaran dari pengalaman Tentara Turki yang memainkan dirinya sebagai “Pelindung Negara Sipil” dan menghalangi “kaum fundamentalis Islam” dari memegang kursi kekuasaan, meskipun melalui jalur Pemilihan Umum, seperti yang diraih oleh Partai Refah wa Sa’adah pimpinan Najmuddin Erbakan.
Ketika kita menyatakan Tentara Mesir telah merencanakan peristiwa hari ini dengan sangat baik, maka yang kita maksudkan adalah dengan dukungan dan loyalitas dari lembaga Al-Azhar, Gereja Koptik Mesir, Oposisi Front Penyelamatan (Jabhah Inqadz) dan Gerakan Pembangkangan (Harakah Tamarrud) yang merektrut generasi muda. Tentara Mesir telah memberdayakan semua unsure tersebut dan massa anggotanya untuk mendukung intervensi militer yang menentukan nasib.
Pertanyaannya saat ini adalah bagaimana cara Jendral Al-Sisi menjajakan peta jalan yang ia lontarkan tersebut kepada pihak yang dirugikan, yaitu Ikhwanul Muslimin, dan kemudian apa respon Ikhwanul Muslim terhadap peta jalan tersebut?
Sudah pasti sebuah gerakan yang memiliki dukungan rakyat yang kuat (Ikhwanul Muslimin, edt) tidak bisa diremehkan, khususnya di wilayah pesisir Mesir. Sebelumnya telah dikatakan oleh Presiden Muhammad Mursi, Dr. Muhammad Baltaji dan Dr. Isham al-Uryan, bahwa Ikhwanul Muslimin tidak akan diam dan akan berjuang demi membela legalitas kepemimpinan sampai tetes darah penghabisan.
Ada dua sayap dalam kelompok Ikhwanul Muslimin. Sayap rajawali yang direpresentasikan oleh Muhammad Mursi dan Muhammad Baltaji, dan sayap merpati yang direpresentasikan oleh sejumlah tokoh seperti Khairat Shatir dan Sa’ad al-Katatani pemimpin Partai Kebebasan dan Keadilan.
Meskipun sebagian pihak mengatakan tidak ada perbedaan di antara kedua sayap tersebut dan persoalannya sebatas masalah pergantian peranan saja dan bahwa masih terlalu dini untuk menyatakan sayap mana yang akan mengalahkan sayap lainnya. Namun ketika Muhammad Mursi berbicara dengan berdiri dan menyelempangkan kain kafan di atas bahunya, dan ketika Muhammad Baltaji menegaskan akan terus “berperang” demi mempertahankan kepemimpinan legal sampai titik darah penghabisan, dan ia menyerukan kepada para pendukungnya untuk berjuang sampai meraih kesyahidan, maka kita bisa memperkirakan peristiwa paling buruk.
***
Mesir telah terbagi-bagi sebelum adanya pernyataan resmi lembaga militer. Kini Mesir semakin terpecah-belah. Kita tidak merasa aneh atau tidak merasa mustahil jika nanti terjadi pergantian peranan, di mana kelompok oposisi meninggalkan lapangan-lapangan dan jalanan, digantikan oleh massa yang dirugikan, dalam jumlah yang lebih besar.
Peristiwa kudeta militer di Aljazair kini terulang di Mesir, dengan sedikit perbedaan, yaitu militer Aljazair membatalkan hasil Pemilu yang dimenangkan oleh kelompok Islam, sebelum kemenangan pemilu itu resmi diumumkan. Sementara militer Mesir membatalkan hasil pemilu setelah pemilu itu nampak jelas hasilnya.
Syaikh (Rektor Universitas) Al-Azhar kemarin mengatakan: “Mesir sekarang dihadapkan pada salah satu dari dua pilihan. Pilihan yang paling buruk adalah mengalirnya darah rakyat di atas tanah Mesir, oleh karena itu kita wajib mengamalkan kaedah syariat yang menyatakan menempuh pilihan yang paling ringan dari dua pilihan bahaya.”
Kita sepakat dengan Syaikh Al-Azhar Ahmad at-Thayib dalam menjelaskan kaedah ini. Namun kita tidak meyakini optimismenya tersebut. Sebab, pilihan bahaya yang paling ringan dari dua pilihan bahaya yang ada tersebut, mungkin akan menjadi pilihan bahaya paling besar atau sebab terjadinya peperangan saudara di Mesir.
Kami menentang penumpahan darah, kami juga menentang penggunaan senjata sebagai kata pemutus konflik apapun alasannya. Oleh karenanya kami mengharapkan lebih kuatnya penggunaan akal sehat, hendaknya Ikhwanul Muslimin menerima perkara tersebut dan rela menelan racun tersebut, lalu mempersiapkan diri untuk menghadapi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yang akan datang.
Dengan demikian, Ikhwanul Muslimin bisa menegaskan kepada bangsa Mesir sikap damai Ikhwanul Muslimin, keseriusan mereka untuk kepentingan Mesir dan menjaga nyawa rakyat Mesir, dan hendaknya mereka melakukan hal yang tidak dilakukan oleh lawan mereka, maksudnya hendaklah mereka menyelesaikan perkara mereka lewat pemilu mendatang.
Kami terlalu berlebihan dalam menyampaikan optimisme kami, ya memang, kami menawarkan pikiran yang terlalu “lugu” dalam pandangan sebagian pihak. Memang, namun kami menyampaikan ini karena sangat cintanya kami kepada Mesir dan keinginan besar kami untuk menjaga nyawa rakyat Mesir, di saat kita bisa melihat kondisi yang terjadi di negara-negara tetangga, khususnya Suriah, Irak dan Libya.
Penulis: Abdul Bari Athwan
Koran Al-Quds al-Arabi
London, 3 Juli 2013 M
Catatan redaksi Arrahmah.com:
-
Kita meyakini demokrasi adalah sistem kufur dan thaghut kufur. Kita meyakini perjuangan Islam melalui jalur pemilihan umum dalam system demokrasi sekuler adalah perjuangan yang tidak Islami.
-
Kudeta militer di Mesir sekali lagi membuktikan perjuangan Islam melalui jalan yang “tidak Islami” tidak akan mengantarkan umat Islam kepada Daulah Islamiyah dan Khilafah Islamiyah yang menegakkan syariat Islam secara kaafah.
-
Perjuangan Islam melalui jalur demokrasi sekuler yaitu pemilihan legislatif dan pemilihan presiden merupakan perjuangan yang rapuh secara realita lapangan dan menyelisihi syariat Islam. Perjuangan Islam memerlukan gerakan jihad bersenjata untuk sampai kepada kekuasaan Daulah Islamiyah yang menegakkan syariat Islam secara kaafah. Wallahu a’lam bish-shawab.
-
Tidak selayaknya para aktivis Islam dan umat Islam terperangkap dalam lubang yang sama berulang kali. Cukuplah kudeta militer di Aljazair, Turki dan Mesir sebagai pelajaran bagi perjuangan lewat jalur demokrasi dan pemilu.
(muhibalmajdi/arrahmah.com)