Oleh: Irfan S. Awwas
(Arrahmah.com) – Keinginan adanya cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di lembaga negara disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca-kemerdekaan. Kini, keinginan untuk merehabilitasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan landasan Islam semakin menguat.
Namun, keinginan untuk membangun pola hidup Islami, hidup dalam bimbingan syariat Islam dihadang oleh berbagai kecurigaan dan kekhawatiran. Sikap apriori kepada Islam akan membuat seseorang kehilangan akal sehat. Seakan-akan, jika syariat Islam berlaku, dengan serta-merta warga negara non-Islam akan terancam hidupnya, hak-hak kewarganegaraannya menjadi hilang, kemudian hidup sebagai ahlu zimmi, yang sering disalahkaprahkan dengan warga negara kelas dua.
Segala mimpi buruk yang dikhawatirkan kalangan non-Muslim dan kaum sekuler itu lahir dari kebodohan atau mungkin juga kebencian terhadap Islam. Kekhawatiran terhadap nasib minoritas non-Muslim, apabila syariat Islam dilaksanakan secara kâffah, sering kali menyebabkan mereka lupa dan mengabaikan hak warga negara yang mayoritas: umat Islam.
Sejarah telah membuktikan bahwa NKRI bersatu karena Islam. Bagi orang Islam sudah kewajiban untuk mencintai negeri dimana ia dilahirkan. Kewajiban mereka juga untuk mempertahankannya. Jadi, jangan takut NKRI akan bubar.
Tidak akan terjadi Pengadilan Inkuisisi seperti yang dilakukan oleh kaum Nashrani terhadap umat Islam di Spanyol. Tidak akan ada kasus genosida yang dilakukan orang Serbia terhadap kaum Muslimin di Bosnia. Tidak akan ada pembantaian terhadap non Muslim seperti yang menimpa kaum Muslimin yang dilakukan Pasukan Salibis ketika mereka menaklukkan Palestina.
Bagi mereka yang masih menolak di berlakukan syariah Islam, bukalah mata dan fikiran. Dan saksikan betapa telah nyata kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem selain Islam.
Kekhawatiran minoritas non-Muslim, tidak perlu terjadi bila mereka tidak Islamophobia. Terkait ketakutan yang tanpa dasar ini, seorang cendekiawan Kristen bernama Th. Sumartana, pernah menulis dalam suatu makalah, pernah disosialisasikan di hadapan para pendeta Gereja Kristen Jawa di Gedung Sinode GKJ Salatiga pada 4 Juni 2001, dan kemudian disampaikan dalam sebuah dialog di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
“Bagi umat non-Muslim, kesangsian dan ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam adalah manakala status kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekadar ‘para penumpang’ atau ‘para tamu’, bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai ‘orang asing’ di negeri sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam pendirian republik ini.”
Namun, Th. Sumartana sendiri tidak mengkhawatirkan nasib minoritas non-Muslim. Dia sendiri menyarankan dengan mengatakan bahwa, “Kesangsian dan ketakutan itu bisa hilang jikalau negara tetap difungsikan selaku sarana untuk mewujudkan agenda bersama untuk mencapai kemakmuran, demokrasi, keadilan, dan hak-hak asasi manusia benar-benar bisa ditegakkan.” Sepanjang hal ini dilakukan, kata Sumartana, “golongan non-Muslim tidak perlu nervous dan khawatir, tapi harus tetap bersikap rasional dan terbuka.”
Apakah adil, jika kaum minoritas menuntut haknya sementara kaum mayoritas diminta berkorban dengan mengganti syariat Islam dengan segala jenis hukum dan aturan hidup yang tidak Islami? Apakah demokratis, jika di dalam negara yang multiagama dan multiras, golongan mayoritas dituntut untuk keluar dari prinsip-prinsip agamanya, sementara golongan minoritas ingin dipenuhi segala hak perlindungan dalam segala bentuknya? Adalah tidak masuk akal, jika di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dilarang untuk memberlakukan syariat Islam.”
Namun, tragisnya, konspirasi menolak syariat Islam justru mendapat pembenaran dari mereka yang diposisikan sebagai tokoh Islam. Lalu, mengapa ada sejumlah tokoh Muslim, bahkan dari kalangan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pembela Islam, justru menolak formalisasi syari’at Islam? Mengapa terdapat hamba Allah yang membangkang (fasik) kepada Allah Swt? Apa sesungguhnya dasar berfikir yang melatarbelakangi mereka menolak syari’at Islam?
Profesor kok Syariat phobia
Prof. Dr. M. Amin Rais, misalnya, saat berbicara dalam forum ekonomi dunia, World Economic Forum Asia Timur pada 12-14 Oktober 2003 di Hotel Fullerton, Singapura, menyatakan bahwa Indonesia seharusnya bisa bertindak lebih banyak untuk mengekang sekolah-sekolah Islam yang menjadi dasar pelatihan bagi ekstremis yang melakukan sebagian serangan mematikan sejak 11 September 2001. Pada saat yang sama, Amin juga mengusulkan soal penguatan dinas intelijen dan pemutusan aliran dana gelap bagi kelompok yang ingin melakukan teror. “Hal tersebut sangat penting untuk mencegah Islam muncul dalam sorotan yang tidak menyenangkan,” katanya.
Selain Amin, Prof. Dr. Nurchalis Madjid secara terus terang menyatakan penolakannya atas masuknya syariat Islam ke dalam KUHP. “Masuknya syariat Islam ke dalam KUHP merupakan suatu persoalan, karena masalah syariat sebetulnya masih kontroversi. Paling tidak, di bagian mana dan pendapat siapa yang akan diikuti.”
Sebuah acara “Nurcholis Madjid Memorial Lecture III” yang digelar di Universitas Paramadina, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (21/10/09), mengundang Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, untuk menyampaikan orasi ilmiah bertajuk : “Politik Identitas dan Masa Depan Plularisme di Indonesia.”
Dalam orasinya, Syafi’i Ma’arif yang dikenal sebagai kontributor liberalme menyinggung soal gerakan-gerakan Islam seperti Majelis Mujahidin (MM), Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang kerap mengampanyekan penegakan syari’at Islam dan khilafah Islamiyah.
Syafii menyatakan, “Sikap MM yang menyatakan bahwa penolakan syari’at Islam secara konsititusional termasuk kategori kafir, fasik, dan zalim, adalah pernyataan yang berbahaya bagi pluralisme. Kalau beragama secara hitam putih, mungkin lebih baik jadi atheis saja,” tegasnya.
Dengan menggunakan retorika agitatif, Maarif menganggap bahwa tuntutan formalisasi syari’at Islam sebagai beragama hitam putih. Lalu menuduh Majelis Mujahidin (MM) sebagai kelompok tafkir (mengafirkan mereka yang menolak formalisasi syari’at Islam). Sekalipun Syafii Maarif tidak akan dapat membuktikan tuduhannya terhadap MM -karena itu bukan sikap MM- tetapi lontaran keji itu sudah menyebar bagai virus yang melahirkan trauma ukhuwah Islamiyah.
Majelis Mujahidin tidak pernah merasa paling benar, apalagi mengafirkan Muslim lainnya. Tetapi tidak membenarkan yang benar adalah kesalahan. Dan tidak mengatakan kafir terhadap mereka yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah kekafiran juga. Maka sikap MM dalam hal ini sesuai dengan sikap Islam, sebagaimana firman Allah: “Siapa saja yang tidak berhukum pada hukum Allah adalah kafir, fasik, dan zalim.” (Qs. Al-Maidah [5]: 44, 45, 47).
Dalam beberapa tahun terakhir ini, Syafii Maarif yang tercatat sebagai anggota dari “Trilateral Commission” sebuah lembaga yang berada di bawah kendali Zionis, memang dikenal sebagai orang yang berada di dalam gerbong para penolak formalisasi syariat Islam. Dalam diskusi yang banyak dihadiri para aktivis liberal itu, Syafii dengan kalimat nyinyir mengatakan, “Kalau kita ingin melaksanakan syariat Islam secara utuh itu akan sulit hidup dimana saja. Harusnya kita pakai saja ayat fattaqullah mastatha’tum, bertakwalah kepada Allah semampumu,” ucapnya.
Dengan bangga, Syafii bernostalgia, dulu pada tahun 70-an sebelum dirinya berangkat ke Chicago, Amerika Serikat, dirinya adalah orang yang sangat anti-terhadap Pancasila. “Tetapi setelah dicuci otak oleh Fazlul Rahman (Profesor di Chicago) saya berubah,” ujarnya sambil terkekeh. Syafii mengaku dirinya sedih melihat kondisi bangsa ini, dimana pemerintah tidak serius dalam mengelola negara. Ia juga sedih melihat kelakuan umat Islam yang anti terhadap pluralisme dan berupaya memaksakan kehendak terhadap minoritas. “Kalau tidak sedikit paham Al-Qur’an, mungkin saya malas jadi orang Islam,” tandas Syafii.
Dalam pandangan Syafii, formalisasi syari’ah Islam menunjukkan prilaku beragama hitam putih. Untuk melemahkan tuntutan penegakan syariat Islam, Syafii melakukan manipulasi sejarah, dan menggiring pemahaman Islam ke arah paham sesat.
Fenomena Syari’ah phobia dari kalangan orang Islam sendiri, kian bertambah jumlahnya. Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof. Dr. Mahfud MD, menyingkap organisasi yang memiliki misi menggeser ideologi pancasila.
“Gerakan Islam syariah yang ingin mengganti negara pancasila dengan negara agama itu ada tiga,” ungkapnya pada sebuah acara diskusi Indonesia Lawyers Club, Selasa (06/06/2018).
Mahfud menekankan bahwa informasi itu berasal dari disertasi seseorang. Hasil penelitian Haidar Nasir dalam disertasinya di UGM. Saya ikut menguji waktu itu. Azul Madriarsah promotornya. Pak Yahya Muhaimin dan sebagainya,” terangnya.
Dari tiga organisasi yang disebut Mahfud, muncul nama Majelis Mujahidin Indonesia.
“Tiga organisasi itu, satu Hizbut Tahrir Indonesia. Disertasinya bisa dibaca nanti. apa Hizbut Tahrir Indonesia? Ingin mengganti negara pancasila dengan negara khilafah. Kedua, Majelis Mujahidin Indonesia. (MMI) Ingin memberlakukan semua hukum di Indonesia adalah hukum Islam meski pun negaranya negara pancasila,” sambungnya.
Organisasi yang terakhir, menurut Mahfud, ingin mendorong Peraturan Daerah (Perda) syariah di beberapa wilayah.
“Yang ketiga KPPSI. Komite Persiapan Pemberlakukan Syariat Islam di Sulawesi Selatan. Targetnya adalah, karena tidak mungkin mengganti negara dengan khilafah dalam waktu pendek, karena tidak mungkin memberlakukan hukum islam secara nasional, maka KPPSI menyatakan semua daerah yang umat islamnya menang di DPRD supaya membuat Perda syariah,” pungkasnya.
Pada awal kesempatan, Mahfud juga memaparkan sebuah hasil survei yang isinya sebanyak 24 juta orang ingin mengganti Pancasila. “Survei Saiful Murani mengatakan 87 persen penduduk indonesia tuh menghendaki pancasila dasar negara. 9 persen itu ingin diganti Negara Islam. 4 persen menyatakan tidak tahu. 9 persen itu berapa, bang Karni? 24 juta. Dan ini kalo berteriak semua, repot kita,” tegasnya.
Mengikuti alur berpikir Mahfud, jelas menyesatkan. Menghakimi pihak atau kelompok tertentu berdasarkan hasil penelitian seseorang, mengingkari konstitusi dan tidak memiliki nalar ilmiah. Bagaimana mungkin seorang mantan hakim konstitusi, begitu gegabah menggunakan hasil penelitian untuk menghakimi pihak lain. Sementara hasil penelitian terkait Majelis Mujahidin, mengandung kesalahan fatal dan harus dikoreksi.
Pertama, salah menulis nama ormas yang diteliti. Bukan Majelis Mujahidin Indonesia, yang benar Majelis Mujahidin. Kedua, tujuan Majelis Mujahidin, bukan mendirikan Negara Islam, melainkan memberlakukan syariat Islam di lembaga negara. Tunjukkan, pada lembar mana dalam dokumentasi resmi MM ada yang menyebut tujuan seperti itu.
Mahfud bilang, “Majelis Mujahidin Indonesia. (MMI) ingin memberlakukan semua hukum di Indonesia adalah hukum Islam meski pun negaranya negara pancasila,” sambungnya.
Majelis Mujahidin berjuang menegakkan syariat Islam secara legal, formal dan konstitusional. Dimana salahnya, dan sisi mana yang bertentangan dengan Pancasila? Justru kita bertanya, sebagai anggota BPIP, yang dimaksud ideology Pancasila yang mana, sementara Presiden Jokowi telah menandatangani hari lahir Pancasila 1 Juni 1945.
Apakah BPIP akan membina masyarakat berdasarkan Pancasila 1 Juni versi Bung Karno yang berbeda dengan Pancasila yang dikenal sekarang, yaitu : “1. Kebangsaan
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan, 3. Demokrasi 4. Keadilan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Presiden Jokowi sebagaimana dirilis dalam laman setkab.go.id di Jakarta, Senin, menandatangani Keppres tentang Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2016.
Keppres tersebut menetapkan 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan 1 Juni merupakan hari libur nasional. Sedangkan diktum ketiga Keppres ini menyatakan, Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap 1 Juni. Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yakni pada 1 Juni 2016.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, bependapat bahwa hari lahir Pancasila sebagai dasar negara adalah tanggal 18 Agustus 1945, bukan 1 Juni 1945 seperti yang ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila saat ini.
“Kalau kita melihat Pancasila sebagai dasar negara, maka ia resmi lahir ketika PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengesahkan konstitusi negara, yakni UUD 1945 pada 18 Agustus 1945. Dan didalam Pembukaan-nya, tercantum Pancasila,” ujar Refly saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 2 Mei 2018.
Historis istilah Pancasila, ujar Refly, memang pertama kali dilontarkan Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI. Namun, menurut dia, Pancasila secara utuh sebagai dasar negara baru lahir pada 18 Agustus 1945. Pancasila lahir melalui berbagai dinamika dan hasil pemikiran tokoh-tokoh bangsa lainnya.
Sebagai bukti, kata dia, sebelum pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, sudah dirumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang isinya hampir sama dengan Pancasila yang ada saat ini. Hanya saja, sila pertama berbunyi Ketuhanan, dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
“Karena ada keberatan dari saudara kita di bagian timur, maka Moh. Hatta mengusulkan agar sila itu diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini bukti bahwa ada dinamika, dan Pancasila adalah hasil rembuk pemikiran tokoh-tokoh bangsa. Bukan hanya satu orang saja,” ujar Refly.
Dengan penetapan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, menurut dia, hal ini mendiskreditkan peran tokoh-tokoh bangsa lainnya yang juga bersumbangsih melahirkan Pancasila. “Kita tidak bisa menafikkan jika peran Soekarno sangat besar, namun Pancasila adalah hasil gotong-royong bersama tokoh bangsa lainnya. Istilah saya, Pancasila itu sinkretisme pikiran para pendiri bangsa,” ujar dia.
Menjawab tudingan Mahfud, Amir Majelis Mujahidin Al-Ustadz Muhammad Thalib mengatakan : “Sejak dahulu, yang menolak syari’at Islam di lembaga negara datang dari kaum komunis alias PKI, “ terangnya.
“Jika Mahfud tidak bisa menunjukkan bukti tentang bahayanya melaksanakan syariat Islam secara kaffah, maka dia memfitnah dan melakukan penistaan terhadap Syari’at Islam,” lanjutnya.
Upaya penerapan syariat Islam melalui hukum negara telah dilakukan di Indonesia dengan cara mengadopsi hukum Islam ke dalam hukum negara. Seperti UU (1) perkawinan, (2) Kewarisan, (3) wakaf, (4) hibah, (5) shadaqah, (6) zakat, dan (7) ekonomi syariah. Dimana letak bahayanya pelaksanaan syariat Islam?
Jika yang dikhawatirkan Mahfud pemberlakuan hukuman rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri dan hukuman lainnya yang diatur dalam Al-Qur’an. Apa yang harus ditakutkan, jika negeri ini bebas pezina dan maling?
Sebagai cendekiawan muslim, seharusnya taat konstitusi dan mendukung berlakunya syariat Islam. Bukan malah memfitnah Majelis Mujahidin yang menginginkan berlakunya syariat Islam di lembaga negara. Secara legal, formal, dan konstitusional.
Pengamalan syariat Islam sesungguhnya merupakan implementasi dari Pasal 29 UUD 1945 Tentang Kebebasan Beragama. (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Sesuai dengan penjelasan Mahkamah Konstitusi RI tentang Sejarah dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia yang menyatakan bahwa UUD 1945 yang berlaku sejak 5 Juli 1959 sampai sekarang adalah berdasarkan penetapan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Keppres No. 150 tahun 1959, LN Nomor 75 tahun 1959).
Penetapan ini perlu mendapatkan penguatan dan akselerasi implementasi konstitusional, yaitu kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi umat Islam bangsa Indonesia. Kewajiban ini tidak akan bisa dilaksanakan kecuali pemerintah yang memiliki otoritas terhadap pengelolaan negara melindungi dan memberikan fasilitas kepada kaum muslimin untuk mengamalkan Syariat Islam di dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara.
(*/arrahmah.com)