(Arrahmah.com) – Hoax. Belakangan, satu kata ini seringkali mondar mandir di beranda laman media sosial, memunculkan polemik yang pemerintah sendiri tengah gencar untuk memberantasnya. Bahkan, salah satu surat kabar kini menampilkan separuh laman yang membahas benar tidaknya suatu berita. Dan tanpa sadar, hal tersebut justru mendesak pikiran ini untuk bertanya :
‘merdeka, hoax atau fakta?’
Di perjalanan menuju abad 21 ini, manusia seluruhnya sudah pasti tau bahwa penjajahan di atas muka bumi ini sudah berhasil dihapuskan. Suatu pencapaian yang sungguh luar biasa dan patut disyukuri. Namun, jika merunut pada permasalahan terkait ‘merdeka, hoax atau fakta’ tentu tidak semudah itu untuk menjawabnya. Akan ada ragam argumen dari individu masyarakat yang berujung pada mustahilnya satu jawaban konkrit.
Kita semua tahu bahwasanya de facto dan de jure adalah dua aspek penting terealisasinya kemerdekaan suatu bangsa. Dimana selain berhasil memplokamirkan eksistensi diri, pengakuan dari bangsa lain menurut hukum internasional pun harus diperoleh demi terpenuhinya hak serta kewajiban skala dunia.
Dari sini, maka selesailah perkara bagi mereka yang menyatakan kemerdekaan ini adalah sesuatu yang fakta. Nyata di depan mata dan dirasakan efeknya (red: tidak ada penjajahan).
Namun benarkah yang demikian itu benar benar merdeka? Merdeka yang memiliki kuasa penuh untuk mengolah tanah lahan dan sumber daya nya sendiri? Merdeka yang kebijakannya bersifat independen tanpa mendapat intervensi dari asing? Merdeka yang kehidupan rakyatnya berada di atas garis kemiskinan?
Poin pertanyaan semacam inilah yang mungkin menjadi ganjalan bagi sekelompok orang yang bersebrang pendapat dengan kelompok pertama. Mereka belum merasa merdeka, masih terjajah di negerinya sendiri tatkala dipertemukan dengan jutaan problematika yang belum menemukan titik solusi. Kesehatan mahal, pendidikan yang memprihatinkan, harga kebutuhan yang melonjak serta tidak leluasanya melakukan aktivitas agama adalah protet kecil semu nya makna merdeka. Belum lagi permainan kaum atas yang berani berkelit dengan uang rakyat sementara ada kalangan bawah yang terpaksa mengakhiri hidup karena TDL naik. Dan jangan lupakan fakta bahwa Palestina yang katanya sudah merdeka, masih saja terjajah secara militer oleh bangsa lain -Israel.
Sebenarnya, merdeka itu sendiri bermakna terbebasnya manusia dari penghambaan kepada sesama menuju penghambaan kepada Pencipta, yang nantinya akan mengubah standar kehidupan secara otomatis. Dari halal-haram manusia menjadi halal-haram syara’. Kemerdekaan yang seperti ini sudah jelas tidak sebatas perkara lisan yang menyatakan negerinya berdaulat, namun juga terealisasi dalam tindakan nyata berupa ketundukan terhadap hukum dari Al Khaliq. Kalau sudah begini, bisa dipastikan bahwa ketentraman dan keamanan serta hak hidup individu dapat terjamin mengingat tidak ada lagi pihak yang berani melakukan tekanan karena rasa takut mereka akan adzab. Dan jangan lupakan bahwa sejarah telah mencatat bagaimana merdeka dan gemilangnya ketika Islam diterapkan selama hampir 13 abad.
Jadi, mari berhenti meyakini bahwa kemerdekaan hakiki itu ilusi, sesuatu yang utopis. Hoax atau fakta itu bergantung pada upaya manusia bagaimana mewujudkan kemerdekaan itu sendiri. Lagipula, bukankah pada pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat ‘Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa….’ yang secara tersurat tidak sama sekali menafikkan keberadaan Al Khaliq?
Maya A Kedamean, Gresik
(*/arrahmah.com)