JAKARTA (Arrahmah.com) – Pakar komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga mengaku tidak rela atas rencana Universitas Pertahanan (Unhan) memberikan gelar profesor kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada jumat (11/6).
Jamiluddin mengungkapkan, untuk memperoleh jabatan akademik tertinggi di perguruan tinggi memerlukan proses panjang dan berliku. Pendidikannya juga harus lulusan S3 (doktor).
“Profesor madya saja, akademisi harus memiliki kumulatif angka kredit (KUM) 850. Sementara untuk profesor penuh diperlukan KUM 1000,” kata Jamiluddin, lansir JPNN.com, Kamis (10/6).
Mantan dekan Fakultas Ilmu Komunikasi IISIP itu menjelaskan, KUM tersebut dikumpulkan akademisi dari unsur pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur pendukung seperti mengikuti seminar ilmiah.
Tak hanya itu, lanjutnya, untuk memperoleh gelar tersebut para akademisi harus menulis artikel yang dimuat di Scopus.
“Saat ini banyak akademisi belum memperoleh jabatan profesor karena terganjal pada pemuatan artikel di Scopus,” ujar Jamiluddin.
Atas dasar itu, kata Jamiluddin, para akademisi merasa terluka ketika ada orang yang mendapat gelar profesor tanpa melalui proses tersebut.
Jamaluddin menilai, moral akademisi bisa-bisa melorot melihat realitas tersebut.
Di sisi lain, ujar Jamaluddin, pemberian gelar tertinggi kepada Megawati terkesan politis.
“Para akademisi semakin kecewa karena melihat secara vulgar aspek akademis sudah berbaur dengan sisi politis,” ucap Jamiluddin.
Oleh karena itu, dia meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim seyogyanya menertibkan pemberian jabatan profesor.
“Sudah saatnya aspek politis dipisahkan secara tegas dengan aspek akademis dalam pemberian profesor,” tandas Jamiluddin.
Bahkan, menurutnya, sudah saatnya Mendikbudristek tidak lagi terlibat dalam pemberian jabatan profesor.
Pasalnya, menteri sebagai jabatan politis tidak selayaknya terlibat dalam pemberian jabatan akademis.
“Pemberian jabatan profesor sudah saatnya diberikan kewenangan sepenuhnya kepada setiap perguruan tinggi. Bahkan di Jerman, pemberian jabatan profesor menjadi kewenangan fakultas,” pungkas Jamiluddin.
(ameera/arrahmah.com)