ADIYAMAN (Arrahmah.id) — Sejumlah warga Turki yang menjadi korban gempa bumi berkekuatan Magnitudo 7,8 meluapkan amarah yang mereka rasakan terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan. Para korban gempa itu merasa tidak mendapatkan bantuan dan ditinggalkan sendirian oleh Erdogan dan pemerintahannya.
Seperti dilansir AFP (10/2/2023), Hakan Tanriverdi memiliki pesan khusus untuk Erdogan setelah negaranya mengalami bencana terburuk yang sejauh ini menewaskan lebih dari 21.000 orang di wilayah Turki dan Suriah yang berbatasan.
“Jangan datang ke sini meminta suara,” ucap Tanriverdi dengan nada menyindir.
Gempa yang tercatat sebagai yang paling kuat di Turki dalam 80 tahun terakhir itu kini menjadi momen paling sensitif secara politik selama kepemimpinan Erdogan dalam dua dekade terakhir.
Erdogan telah mengusulkan digelarnya pemilu pada 14 Mei mendatang, yang bisa mempertahankan kekuasaannya hingga tahun 2028 mendatang.
Tanggal itu sebelumnya memberikan sedikit waktu bagi oposisi untuk menuntaskan perbedaan dan menyepakati calon presiden (capres) gabungan. Namun setelah gempa mengguncang pada Senin (6/2) lalu, menjadi tidak jelas apakah pemilu itu akan bisa berjalan sesuai rencana nantinya.
Erdogan juga telah menetapkan masa darurat selama tiga bulan di sebanyak 10 provinsi Turki yang terdampak gempa.
Saat ini, proses pencarian korban masih terus berlangsung, dengan banyak warga terpaksa tidur di jalanan atau di dalam mobil-mobil mereka dengan banyaknya bangunan yang hancur akibat gempa.
Opsi berkampanye tentu tidak tepat untuk saat ini. Namun ada juga dimensi politik yang sangat personal bagi Erdogan, di mana gempa mengguncang saat dia mendapatkan momentum dan mulai menaikkan angka kepuasan kinerjanya dari titik terendah selama krisis ekonomi mengerikan sejak tahun lalu.
Kepahitan yang dirasakan Tanriverdi menjadi pertanda buruk bagi Erdogan di provinsi yang sebelumnya dia bisa menang mudah atas rival oposisi sekuler dalam pemilu tahun 2018 lalu.
“Kami merasa sangat terluka karena tidak ada yang mendukung kami,” ucap Tanriverdi, merujuk pada respons gempa pemerintah Turki.
Keluhan dan kekesalan yang disampaikan Tanriverdi menjadi hal yang banyak terjadi di Provinsi Adiyaman, yang menjadi salah satu daerah terdampak gempa paling parah di Turki.
Warga setempat banyak mengeluhkan para petugas penyelamat yang tidak tiba tepat waktu untuk mengevakuasi orang-orang yang selamat pada jam-jam kritis setelah gempa terjadi. Beberapa warga menekankan kurangnya alat berat dan mesin untuk mengebor lempengan beton yang menimbun para korban.
“Saya tidak melihat siapapun hingga pukul 14.00 waktu setempat, pada hari kedua gempa,” ucap seorang warga Adiyaman lainnya, Mehmet Yildirim.
“Tidak ada pemerintah, tidak ada otoritas negara, tidak ada polisi, tidak ada tentara. Memalukan! Anda meninggalkan kami sendirian,” ujar Yildirim meluapkan kekesalan pada pemerintah Turki.
Erdogan, pada Rabu (8/2) waktu setempat, mengakui adanya ‘kekurangan’ dalam penanganan gempa. Pemimpin berusia 68 tahun itu memimpin rapat tanggap bencana di Ankara pada Selasa (7/2) dan menghabiskan dua hari berikutnya mengunjungi area-area terdampak gempa. Namun dia belum mendatangi Adiyaman.
Hal itu semakin membuat kesal warga Adiyaman. Salah satunya Veysel Gultekin yang kehilangan seorang kerabatnya, yang meninggal setelah kakinya terjepit puing.
“Jika saya memiliki bor sederhana, saya bisa menariknya keluar hidup-hidup. Tapi dia benar-benar terjebak dan setelah gempa susulan yang kuat, dia meninggal,” tuturnya.
Sejumlah wartawan AFP yang ada di lapangan melaporkan lebih banyak alat berat dan peralatan evakuasi, juga petugas penyelamat termasuk tim internasional, di Adiyaman pada Kamis (9/2) waktu setempat. Namun hal tidak mampu meredakan rasa sakit yang dirasakan Tanriverdi.
“Orang-orang yang tidak meninggal karena gempa bumi dibiarkan mati kedinginan. Bukankah itu dosa, orang-orang dibiarkan mati seperti ini?” tanyanya. (hanoum/arrahmah.id)