JAKARTA (Arrahmah.com) – Istilah fa’i kini ramai diperbincangkan. Awalnya Kapolri Jenderal BHD yang menggulirkan istilah syar’i tersebut ketika menegaskan para perampok Bank CIMB Niaga di Medan, Sumut menganggap harta rampokannya sebagai fa’i. “Bagi mereka, merampok, fa’i, itu sah dan halal, karena harta itu didapat dari orang kafir,” kata Kapolri. Pro dan kontra pun bermunculan setelah itu. Bagaimana sebenarnya status harta fa’i dalam pandangan Islam?
Hasil Merampok Sama Dengan Harta Fa’i?
Pada Jumat (24/9/2010) lalu, Kapolri Jenderal BHD menyatakan, aksi perampokan termasuk yang terakhir menimpa Bank CIMB Niaga di Medan, Sumatera Utara (Sumut), dilakukan oleh para tersangka teroris. Bagi mereka, merampok merupakan pekerjaan halal.
“Bagi mereka, merampok, fa’i, itu sah dan halal, karena harta itu didapat dari orang kafir,” kata Kapolri.
Peryataan Kapolri tersebut sontak mendapat tanggapan dan bantahan dari pelbagai kalangan. Abdul Mu’thi, seorang tokoh Muhamadiyah berkomentar tentang aksi perampokan yang dianggap sebagai harta fa’i.
“Itu tidak mencerminkan sikap umat Islam di mana Islam yang mengajarkan kasih sayang,” ujarnya, Senin (27/9/2010).
Menurutnya, sikap teroris ini muncul karena teroris tidak mengakui pemerintahan yang tidak sesuai dengan konsep mereka. Karena tidak mengakui, maka produk hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak harus dipatuhi. “Oleh karena itu mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang sah,” beber Mu’thi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) ikut berkomentar. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan, cara pandang para teroris tersebut salah besar dan bukan ajaran Islam. Sebab, tidak ada alasan apapun untuk menghalalkan aksi perampokan.
“Indonesia bukan wilayah perang, apalagi wilayah perang antara kaum muslim dengan kaum kafir. Islam tidak punya musuh siapa-siapa,” ujarnya, Senin (27/9/2010).
Amidhan menjelaskan, hartai fai (rampasan perang) yang dimaksud para teroris bukan semacam itu. Melainkah harta hasil rampasan kaum muslim melawan kaum kafir.
“Kalau berperang dengan kaum kafir maka, harta rampasan itulah yang dinamakan fai, itu halal atau dibolehkan. Jadi kalau menurut teroris itu begitu, tentu saja di Indonesia tidak dibenarkan,” papar Amidhan.
Sekjen Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Ustadz Abdurrahman mengatakan, perampokan yang dilakukan oleh para teroris tidaklah halal. Meskipun para teroris berdalih perampokan dilakukan untuk berjihad, hal itu tetap tidak bisa dibenarkan.
“Perampokan teroris tidak halal. Itu juga tidak bisa dikatakan fa’i,” kata Abdurrahman dalam surat elektroniknya, Selasa (28/9/2010).
Ia menjelaskan, merampok harta musuh dalam perang (fa’i) hanya bisa dilakukan dalam keadaan perang. Yaitu ketika musuh Islam pergi ketakutan akan datangnya pasukan Islam.
“Harta yang tidak sempat mereka bawa dan tertinggal, maka itulah yang disebut fa’i,” ungkap pengurus organisasi yang diketuai Ustadz Abu Bakar Baasyir ini.
Oleh sebab itu, perampokan yang dilakukan teroris tidak bisa dianggap sebagai fa’i, apalagi dianggap sebagai sesuatu yang halal.
“Lagi pula teroris tidak bisa disamakan dengan islam. Sebab lihat saja, cara pandangnya sudah berbeda. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan atau merugikan umat yang tidak bersalah,” tuturnya.
Tindakan terorisme merupakan tindakan kriminal tingkat tinggi yang tidak pernah dibenarkan dalam Islam.
“Islam tidak pernah mengajarkan menghalalkan segala cara untuk memperjuangkan cita-cita Islam,” tutupnya.
Senada dengan JAT, Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Irfan S Awwas juga menolak penyamaan Islam dengan teroris.
“Islam itu bukan teroris. Itu mutlak harus dipisahkan. Kalau mereka merampok dengan mengatasnamakan jihad seperti yang mereka lakukan di Indonesia, itu bukan Islam. Keliru mereka melakukan itu,” ujarnya, Senin (27/9/2010).
Irfan menjelaskan, tindakan perampokan harta musuh (fa’i) hanya dibenarkan jika dilakukan dalam kondisi perang. Perang yang dimaksud adalah perang melawan musuh Islam.
“Itu tidak boleh sembarang perang, kalau seperti di Afghanistan yang diserang Amerika, mereka dibenarkan melakukan fa’i. Tapi kalau di Indonesia, mereka melawan siapa? Yang mereka teror juga tidak jelas jadinya,” ungkapnya.
Makna Fa’i & Aplikasinya
Syekh Abdul Qadir bin Abdul Aziz dalam bukunya “Al Umdah Fi I’dadil ‘Uddah” menjelaskan bahwa fa’i adalah harta yang diambil orang Islam dari orang kafir harbi (kafir yang diperangi) tanpa perang. Seperti barang yang ditinggal lari orang kafir harbi atau harta yang diambil dari orang orang kafir harbi dengan cara tertentu.
Sayangnya, dalam bukunya itu, Syekh Abdul Qadir bin Abdul Aziz tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan cara tertentu tersebut.
Sementara itu, Syekh Abdul Baqi Ramdhun dalam bukunya “Al Jihaadu Sabiluna” menjelaskan bahwa harta fa’i menurut istilah syar’i adalah segala apa yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melalui perang ataupun pengerahan kuda maupun onta. Seperti harta yang ditinggalkan orang-orang kafir karena takut diserang oleh kaum muslimin dan mereka melarikan diri, harta jizyah, harta pajak dan hasil kompensasi perdamaian, harta ahli dzimmah yang mati tidak punya ahli waris, dan harta orang murtad dari Islam apabila ia terbunuh atau mati.
Lalu, bagaimana aplikasi fa’i pada hari ini ?
Syekh Abu Mus’ab As Suri dalam bukunya “Dakwah Muqowamah” menjelaskan harta yang halal dijadikan ghonimah dan fa’i oleh mujahidin. Menurutnya, pemerintahan-pemerintahan yang sekarang tegak di negara-negara Arab dan Islam hari ini statusnya adalah pemerintahan yang tidak syar’i dan gugur disebabkan murtadnya para penguasa tersebut yang: Loyal kepada orang-orang kafir, berhukum kepada selain yang Alloh turunkan, membuat syariat (undang-undang) yang menyelisihi syariat Alloh, serta sebab-sebab lain yang semakin menguatkan status hukum ini.
Atas dasar itu, Syekh Abu Mus’ab As Suri menyimpulkan :
- Halalnya harta pemerintahan yang murtad dan aset-aset umum yang mereka miliki, serta aset-aset para tokohnya.
- Halalnya harta semua orang kafir asing yang ada di negeri kaum Muslimin, sebab jaminan keamanan mereka gugur (tidak berlaku secara syar’i) seiring dengan gugurnya keabsahan pemerintahan yang ada secara syar’i sehingga pemerintah ini tidak berhak memberi jaminan keamanan dan perlindungan, atau menjalin ikatan perjanjian dan kesepakatan dengan orang-orang kafir.
- Halalnya harta semua non-muslim yang tinggal di negeri kaum Muslimin, dengan sebab yang sama dengan point sebelumnya.
- Halalnya harta orang-orang murtad, yaitu mereka yang secara terang-terangan menyatakan kerja sama mereka dengan tentara pendudukan serta membantu mereka dalam memusuhi kaum Muslimin.
- Halalnya harta orang-orang kafir yang tinggal di negara Harbiy (yang memerangi kaum Muslimin), karena status perang antara kita dan mereka telah tegak, dan tidak adanya perjanjian antara mereka dengan pihak pemerintahan Islam yang syar’i yang mengharuskan rakyat (kaum Muslimin) menepati janji tersebut.
Tentu saja, pendapat Syekh Abu Mus’ab As Suri tersebut masih bisa mengundang perdebatan pro dan kontra serta membutuhkan kajian komprehensif dari para ahli di bidangnya yang ikhlas.
Pertanyaannya kemudian, apakah para perampok di Bank CIMB Niaga Medan, Sumut terpengaruh oleh pemahaman fa’i ala ideolog Al Qaeda, Syekh Abu Mus’ab As Suri di atas? Atau mereka itu hanya para pelaku kriminal murni yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan fa’i dan jihad dalam pandangan Islam?
Wallahu’alam bis showab!
(M Fachry/arrahmah.com)