AMSTERDAM (Arrahmah.id) – Pemerintah Belanda tidak mengizinkan ahli bedah Palestina-Inggris Dr. Ghassan Abu Sitta, yang bekerja di Jalur Gaza selama perang, untuk melakukan perjalanan ke Belanda, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri pada Kamis (9/5/2024).
Belanda memutuskan untuk mematuhi keputusan sebelumnya dari Jerman, yang sebelumnya tidak memberikan visa Schengen kepada ahli bedah tersebut, kata juru bicara tersebut.
Ahli bedah tersebut, yang juga merupakan rektor Universitas Glasgow, menyaksikan pembantaian ‘Israel’ di Gaza selama bulan-bulan pertama perang ‘Israel’.
Abu-Sitta dijadwalkan untuk berbicara di Universitas Amsterdam pada 17 Mei, di sebuah acara yang diselenggarakann oleh The Rights Forum di ibu kota Belanda tersebut.
Ia juga dijadwalkan mengadakan pertemuan dengan anggota parlemen Belanda, termasuk Kati Piri (GroenLinks-PvdA) dan Ruben Brekelmans (VVD).
Ditolak di Jerman dan Prancis
Pada 12 April, setibanya dengan pesawat di Berlin, dokter Palestina tersebut ditolak masuk ke Jerman.
Abu-Sitta dijadwalkan untuk berbicara di sana tentang pengalamannya di Gaza pada Kongres Palestina. Kongres yang berlangsung selama tiga hari itu dilarang oleh pihak berwenang setelah pembicara pertama mengakhiri pidatonya. Ratusan peserta diusir paksa oleh polisi, dan Abu-Sitta dipulangkan dengan pesawat.
“Inilah yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan,” katanya menyusul tindakan yang dilakukan pihak berwenang Jerman. ‘Mereka menyembunyikan bukti dan membungkam serta mengintimidasi para saksi.’
Jerman adalah salah satu pemasok senjata terbesar ke ‘Israel’.
Sabtu lalu, 4 Mei, Abu-Sittah juga ditolak masuk ke Prancis. Setibanya di Paris, di mana dia dijadwalkan untuk berbicara pada simposium di Senat, dia diberitahu bahwa Jerman telah memberlakukan ‘larangan administratif’ di seluruh Schengen terhadapnya selama satu tahun.
Tidak ada alasan yang diberikan atas larangan tersebut.
‘Tidak Dapat Dimaafkan dan Tidak Dapat Diterima’
The Palestine Chronicle berbicara dengan Gerard Jonkman, direktur Netherlands-based Right Forum yang berbasis di Belanda.
Jonkman mengatakan bahwa mereka memutuskan untuk mengundang Dr. Abu Sitta segera setelah keputusan Jerman untuk melarang ahli bedah tersebut dan membatalkan acara di Berlin di mana dia seharusnya berbicara.
“Menurut pendapat kami, tidak dapat diterima di Eropa yang demokratis bahwa kebebasan berekspresi ditekan dengan cara yang brutal,” kata Jonkman.
These monsters manufacture the Quadcopter drone with a sniper gun. One night we had 30 injuries when they were sent to shoot at people trying to get to Ahli hospital. One was a 9 year boy shot in the neck. He bled-out in the ER.
Germany hasn't banned them from Europe pic.twitter.com/Yv4xlQw6Cd— Ghassan Abu Sitta (@GhassanAbuSitt1) May 9, 2024
“Untuk itu kami langsung terpikir untuk menyelenggarakan event alternatif di Belanda,” imbuhnya.
Menurut Jonkman, secara hukum Belanda bisa saja menghindari larangan Jerman, namun pihak berwenang Belanda tidak bersedia melakukannya.
“Sangat disayangkan pemerintah Belanda tidak mengizinkan Dr. Abu Sitta masuk ke negaranya. Pertama karena dia adalah saksi genosida dan kejahatan perang lainnya di Gaza. Oleh karena itu, dia harus bisa bersuara,” kata Jonkman.
Jonkman menjelaskan bahwa Dr. Abu Sitta rencananya akan mengadakan pertemuan di Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) tentang penggunaan fosfor putih oleh ‘Israel’ dalam perangnya di Gaza saat ini.
“Dia harus mempunyai kesempatan untuk memberi tahu OPCW tentang hal ini,” kata Jonkman.
Selain itu, Belanda menjadi tuan rumah bagi lembaga-lembaga penting, seperti Pengadilan Kriminal Internasional dan Mahkamah Internasional.
“Oleh karena itu, tidak dapat dimaafkan dan tidak dapat diterima bahwa pemerintah Belanda tidak mengizinkan saksi genosida dan kejahatan perang lainnya memasuki negara tersebut,” kata Jonkman.
“Ini menunjukkan bahwa Belanda bukanlah tuan rumah yang tepat bagi lembaga-lembaga tersebut. Den Haag memproklamirkan diri sebagai ibu kota perdamaian dan keadilan, namun jelas tidak pantas mendapatkan gelar ini lagi.”
Menurut Jonkman, “keputusan tersebut juga menyoroti keterlibatan Belanda dalam menekan kebebasan berekspresi, terutama terkait solidaritas dengan rakyat Palestina.”
“Kami sekarang sedang mempelajari pilihan-pilihan politik, hukum dan pilihan lain untuk membatalkan keputusan pemerintah Belanda,” kata direktur Forum Hak-Hak Belanda tersebut, seraya menambahkan bahwa “acara tersebut akan tetap diadakan.” (zarahamala/arrahmah.id)