Sejak berdirinya tahun 1912, pendiri dan tokoh-tokoh Muhammadiyah mungkin tidak ada yang berpikir, bahwa suatu ketika, akan muncul dari tubuh organisasi ini berbagai pemikiran yang meruntuhkan bangunan Islam. Tetapi, kenyataannya, saat ini tidaklah demikian. Begitu banyak ide-ide yang diluncurkan lembaga dan sebagian tokoh Muhammadiyah yang “aneh-aneh” dan tidak masuk akal sehatnya kaum Muslim. Tidak jarang ide itu mengatasnamakan lembaga resmi Muhammadiyah maupun mencatut nama pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, seolah-olah pendiri Muhammadiyah ini adalah tokoh pluralisme.
Bulan April 2005, Pemuda Muhammadiyah bekerjasama dengan PW NU Jawa Timur, Muslim Institute, British Council, dan PT Grafindo Khazanah Ilmu, menerbitkan sebuah buku berjudul “Islam Tanpa Syariat : Menggali Universalitas Tradisi“.
Buku ini merupakan rangkuman hasil ceramah cendekiawan Inggris bernama Ziauddin Sardar di berbagai tampat di Indonesia, yang kedatangannya disponsori oleh British Council.
Secara umum, gagasan Sardar yang dirangkum dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan gagasan para tokoh liberal, seperti Fazlur Rahman, Abdullah Ahmed Naim, Mohammed Arkoen, dan sebagainya. Tetapi, judul buku ini sendiri mengangkat tema “dekonstruksi syariah” secara lebih ekstrim, sehingga memberi gambaran bahwa Islam yang ideal adalah ‘Islam tanpa syariat’.
Sayangnya, buku ini tidak memberi definisi yang jelas, apakah yang dimaksud dengan syariat. Namun, pada bagian lain Sardar menyebutkan, bahwa syariat adalah sama dengan hukum Islam. Kata ini secara umum dipahami oleh kaum Muslim sebagai “hukum-hukum Islam”. Karena itu, Islam tanpa syariat, akan dipahami secara umum sebagai Islam tanpa ‘hukum-hukum Islam’.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah dulu yang memperjuangkan diterapkannya Piagam Jakarta juga memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia, karena Piagam ini menyebutkan tujuh kata yang terkenal “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Menurut Sardar, kaum Muslim gagal melakukan ijtihad, karena tiga “malapetaka metafisis”.
Pertama, pengkultusan syariat sebagai sesuatu yang suci.
Kedua, lenyapnya semangat ijtihad di kalangan muslim.
Ketiga, penyamaan Islam dengan negara.
Kaum Muslim, kata Sardar, seharusnya menyadari bahwa hukum dan jurisprudensi yang selama ini menjadi rujukan utama, dibangun dalam konteks sosial masa lalu yang tidak selalu sesuai dengan kehidupan masyarakat kontemporer.
Kaum muslim perlu melakukan rekonstruksi hukum dan etika dari sumber aslinya yaitu dari konsep-konsep dan nilai-nilai asasi yang melekat di dalam Al-Qur’an sebagai spirit pembaharuan Islam.
Masih kata Sardar, salah satu sebab utama kegagalan dalam menjawab panggilan ijtihad adalah konteks dari Kitab Suci kita yang tidak sesuai dengan kehidupan sekarang.
Konteks sosial Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad membeku dalam sejarah. Yang bisa kita lakukan hanyalah menafsirkan teks.
Bahkan, katanya, kita pun tidak berani melakukan interpretasi karena interpretasi sebelumnya dianggap abadi. Interpretasi terhadap teks akan memiliki makna apabila konteksnya sesuai dengan konteks kekinian. Interpretasi teks yang tidak sezaman tidak memiliki arti dan siginifikansi apa pun. Secara konstan, penafsiran lama akan menyeret kita kembali ke masa silam, konteks yang sekian lama membeku dan lapuk dalam sejarah.
Selanjutnya dia katakan, bahwa mayoritas Muslim menempatkan syariat –hukum Islam– pada posisi suci. Padahal, tidak ada satupun aspek syariat yang sakral. Hanya Al-Qur’an yang suci. Selainnya, termasuk syariat, jauh dari suci.
Syariat adalah produk hukum ciptaan manusia; usaha yang dilakukan manusia untuk memahami kehendak suci dari Tuhan dalam konteks sosial tertentu. Bagian terbesar syariat adalah fiqih, jurisprudensi Islam, yang tiada lain berisi pendapat hukum dari para fuqaha masa klasik.
Untuk lebih meyakinkan akan “ketidakberhargaan” fiqih, Sardar menyatakan, bahwa kompilasi fiqih sebagai produk hukum yang sistematis tidak dapat dilepaskan dari konteks politik Dinasti Abbasiyah, di mana sejarah Islam pada fase ekspansi. Yang harus diingat, formulasi Fiqih berkaitan erat dengan logika imperialisme pada masa itu. Demikianlah cuplikan pendapat Sardar tentang syariat dan fiqih.
Kita bisa menilai, betapa bias dan dangkalnya analisis Sardar, yang selama ini dikenal sebagai cendekiawan dan futurolog yang kritis terhadap Barat. Tuduhan-tuduhan yang berkaitan dengan para ahli fiqih Islam terlalu berlebihan.
Kesimpulan-kesimpulan Sardar gegabah dan serampangan serta berlebihan. Hanya dengan mengambil contoh satu dua kasus hukum –seperti hukum murtad– dia lalu berkesimpulan bahwa syariat atau fiqih Islam dirumuskan terkait dengan aspek kepentingan politik.
Benarkah syariat Islam tidak suci, dan hanya merupakan produk hukum ciptaan manusia, seperti tuduhan Sardar? Jelas pendapat ini sangat keliru. Jika kita mengakui kesucian Al-Qur’an, maka hukum-hukum yang dicantumkan dalam Al-Qur’an atau yang diajarkan oleh Rasulullah adalah suci juga, dan bukan karangan para ulama.
Hukum bahwa shalat adalah wajib, khamar adalah haram, zakat adalah wajib, babi haram, dan sebagainya, ialah hukum Allah, bukan karangan manusia. Para fuqaha di masa Nabi Muhammad SAW, sampai abad ini, akan tetap berpendapat seperti itu. Tuduhan-tuduhan semacam ini adalah tuduhan yang keji; seolah-olah para ulama adalah para perekayasa pembuatan hukum Islam.
Sardar banyak menyebut masalah konteks dalam aspek hukum. Namun, dia tidak memberikan definisi yang jelas, apa yang dimaksud dengan konteks. Biasanya ungkapan semacam ini dimaksudkan, agar orang Islam harus meninggalkan teks suci Al-Qur’an, karena zaman dan tempat sudah berubah. Hukum tergantung pada konteks, bukan pada teks.
Jilbab, kata mereka, misalnya, bukan pakaian yang menutup tubuh wanita kecuali muka dan telapak tangan, tetapi jilbab adalah “kepantasan umum”. Jika di pantai, yang pantas adalah mengenakan bikini, bukan kerudung. Di daerah pedalaman tertentu,”jilbab” adalah “koteka”. Di kolam renang,”jilbab” adalah pakaian renang ala bikini. Dan sebagainya.
Pemikiran semacam ini –seperti seringkali kita bahas– adalah absurd dan fragmentatif. Para pemuja aliran “kontekstiyah” ini sebenarnya juga para pemuja “teks”. Hanya saja, teks mereka bukan lagi Al-Qur’an dan Sunnah atau kitab-kitab khazanah fiqih Islam, tetapi teks suci bagi mereka adalah semacam “Universal Declaration of Human Right”,”KUHP”,”Declaration of Independen-nya Amerika”, dan sebagainya. Mereka menolak teks yang satu menuju kepada teks yang lain.
Silakan dicermati, mereka akan selalu menyatakan, bahwa zaman kita sudah berubah, sekarang kita harus menganut demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, yang masing-masing juga mempunyai teks-teks yang mereka sucikan. Jika para penganut aliran kontekstiyah ini menuduh kaum Muslim dijajah “teks” Al-Qur’an dan Sunnah, maka sebenarnya –tanpa sadar– mereka sebenarnya juga merupakan para pemuja teks bikinan manusia yang tidak suci dari godaan setan yang terkutuk. Penganut aliran ‘kontekstiyah’ juga rajin menghujat para imam mazhab dan para ulama Islam, seolah-olah para imam itulah yang membuat Islam mundur selama ratusan tahun. Na’udzubillah.
Hukum Islam adalah salah satu aspek penting dalam peradaban Islam. Di bidang ini, kaum Muslim telah membuktikan keunggulannya, sehingga selama ratusan tahun hukum Islam diterapkan dan hidup dalam tradisi ilmiah Islam. Bahkan, sampai saat ini pun, hukum Islam tetap hidup, meskipun secara terbatas. Cakupan hukum Islam jauh lebih luas daripada hukum yang dipahami di Barat. Hukum Islam mencakup aspek ibadah, sosial, politik, dan sebagainya. Hukum Islam mengatur hubungan individu dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, dengan manusia, bahkan dengan alam semesta.
Karakteristik hukum Islam seperti ini sangat khas Islam dan jauh berbeda dengan hukum dalam pengertian di Barat. Dalam konsep hukum Islam, bunuh diri bukan hak, tetapi sebuah dosa. Seorang dilarang meminum khamr, meskipun hanya seteguk dan dilakukan di dalam kamar, tanpa merugikan orang lain. Zina tetap haram, meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka.
Jika Pemuda Muhammadiyah berani mempromosikan gagasan “Islam tanpa Syariat”, maka seharusnya mereka konsisten dengan gagasannya itu. Mereka harusnya meninggalkan syariat Islam secara total. Mereka tidak perlu menikah secara Islam, tidak perlu haji ke Mekkah, dan tidak perlu dimakamkan secara Islam. Mereka harusnya membuat wasiat buat keluarga dan umat Islam, jika mereka meninggal dunia nanti, tidak perlu jenazah mereka diurus sesuai dengan syariat Islam. Jenazah mereka tidak perlu dishalatkan, dikafani, atau dimakamkan secara syariat Islam. Cukup, mayat mereka nanti dibuang ke laut, dibakar, atau dijadikan umpan binatang buas di kebun binatang. Kebetulan, tanah Jawa sudah semakin sempit buat kuburan. Gagasan “Islam tanpa syariat” memang sangat cocok dengan program efisiensi tanah pekuburan yang sedang digalakkan di Jakarta, khususnya. Wallahu a’lam.
Oleh : H. Adian Husaini, MA.
(Penulis adalah pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah periode 2005-2010 dan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia)
Sumber : www.muhammadiyah-tabligh.or.id