Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. (Direktur HRS Center)
JAKARTA (Arrahmah.com) – Pada perkara pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) terhadap enam orang laskar FPI, Komnas HAM menyimpulkan adanya pelanggaran HAM. Akan tetapi pelanggaran HAM tersebut tidak termasuk kategori pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyatakan, “tidak ditemukan adanya indikator, kriteria, misalnya ada satu perintah yang terstruktur, terkomando, dan lain-lain.
Termasuk juga indikator isi, ruangan, kejadian, dan lain-lain.” Perlu dipahami, khusus menyangkut terstruktur (pertanggungjawaban komando) memang tidak ada disebut dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal 9 hanya menyebut unsur “meluas” atau “sistematik”.
Namun demikian dalam kondisi tertentu tindakan terstruktur atau pertanggungjawaban komando sangat terkait dengan unsur meluas atau sistematik. Kondisi tertentu itu seperti adanya komando dari institusi Militer atau Kepolisian.
Pertanggungjawaban komando (command responsibility) dimaksud bisa dalam bentuk commisionis atau ommisionis dan dilakukan dengan penyertaan (deelneming). Bahkan tidak tertutup kemungkinan adanya perencanaan pemufakatan jahat (dolus premeditatus). Jadi, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam rumusan pasal (bestandeel), kedudukan terstruktur (pertanggungjawaban komando) merupakan unsur yang terbenih (element).
Terkait dengan pengungkapan perkara pembunuhan diluar hukum (extrajudicial killing) terhadap enam orang laskar FPI, penulis berpendapat telah terjadi pembiasan penerapan hukum dalam pengungkapan perkara tersebut. Diketahui, pada awalnya pendekatan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Belakangan hasil penyelidikannya (kesimpulan dan rekomendasi) mengarah pada model penyelidikan dalam rangka “pemantauan” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, hasil penyelidikan tersebut tidak terkait dengan penyelidikan dalam rangka pelanggaran HAM berat (pro justicia) sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Disini terkonfirmasi hasil penyelidikan Komnas HAM hanya menyebut pelanggaran HAM. Menjadi lain halnya jika pendekatan yang diterapkan mengacu pada Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia lazimnya menunjuk pada hasil penyelidikan tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran HAM Berat.
Hasil penyelidikan Komnas HAM juga sebatas rekomendasi dan oleh karenanya tidak mengikat secara hukum (non-legally binding). Rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM yang mengacu pada ketentuan Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia telah menutup proses penegakan hukum pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Rekomendasi juga mengandung dualisme penanganan perkara. Terhadap tewasnya empat orang Laskar FPI, Komnas HAM merekomendasikan untuk dilanjutkan proses peradilan pidana. Disisi lain Komnas HAM memberikan rekomendasi untuk mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan oleh Laskar FPI.
Pada yang tersebut belakangan ini berpotensi akan dihubungkan dengan anggota Laskar FPI baik yang tewas maupun yang masih hidup. Kesemua itu dalam lingkup kewenangan penyidikan Kepolisian dan oleh karenanya dikhawatirkan adanya konflik kepentingan (conflict of interest).
Komnas HAM juga menyebutkan adanya pihak lain yang turut terlibat dalam pembuntutan, namun tidak diakui sebagai mobil milik petugas Polda Metro Jaya yang sedang melaksanakan tugas pembuntutan tersebut. Di sini kerja Komnas HAM dipertanyakan, mengapa tidak melakukan pengembangan penyelidikan lebih lanjut guna memastikan pihak lain tersebut.
Siapa mereka gerangan dan dalam rangka apa? Komnas HAM lagi-lagi merekomendasikan untuk mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua Mobil Avanza hitam B 1759 PWI dan Avanza silver B 1278 KGD tersebut. Pendalaman dan penegakan hukum atas hal ini tentu dalam ruang lingkup kewenangan Kepolisian. Seharusnya pihak Komnas HAM sendiri yang melakukannya agar menjadi terang perkara pelanggaran HAM berat.
Publik pada awalnya menyakini Komnas HAM akan mampu mengungkap pelanggaran HAM berat dimaksud. Ketika kesimpulannya menyebutkan bukan pelanggaran HAM berat, maka timbul kekecewaan. Pada akhirnya publik menilai Komnas HAM mengambil langkah mundur.
Padahal fakta telah menunjukkan adanya tanda-tanda bekas dugaan penganiayaan (penyiksaan). Tentunya tidak mungkin penyiksaan dilakukan setelah penembakan. Ini merupakan hal inti atau kunci untuk mengungkap pelanggaran HAM berat. Sangat disesalkan hal ini tidak menjadi perhatian Komnas HAM dalam proses penyelidikannya.
Komnas HAM juga menyatakan bahwa benar pihak Polda Metro Jaya melakukan pengerahan petugas untuk melakukan pembuntutan terhadap IB HRS sebagai bagian dari proses penyelidikan terkait kasus pelanggaran Protokol Kesehatan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya surat tugas terhadap sejumlah anggota Direskrimum Polda Metro Jaya tertanggal 5 Desember 2020 untuk melakukan pembuntutan terkait keberadaan IB HRS.
Pernyataan-pernyataan tersebut berseberangan dengan pernyataan Kapolda Metro Jaya yang mengatakan menjalankan tugas penyelidikan atas adanya informasi pengerahan kelompok massa untuk mengawal pemeriksaan IB HRS di Polda Metro Jaya.
Terlepas dari perbedaan keterangan yang disampaikan, setidaknya memunculkan asumsi bahwa Komnas HAM memang tidak mau menelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi pembuntutan (surveillance). Komnas HAM menyatakan adanya pengintaian dan pembuntutan di luar petugas Kepolisian, namun justru Komnas HAM merekomendasikan untuk “mendalami dan melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang terdapat dalam dua Mobil Avanza hitam B 1759 PWI dan Avanza silver B 1278 KGD”.
Frasa “mendalami dan melakukan penegakan hukum”, mengandung makna simbolik. Terlebih lagi disebutkan penegakan hukum, maka berarti ada dugaan perbuatan pidana tertentu yang signifikan. Sangat disesalkan, Komnas HAM berhenti sampai pernyataan itu, tanpa ada kejelasan perbuatan apa yang dimaksudkan. Sejatinya, ini menjadi catatan penting bahwa memang ada pihak lain yang turut campur dan berpengaruh dengan motif tertentu. Mungkin, apa sebab ini Komnas HAM merasa berat untuk menyatakan terjadinya pelanggaran HAM berat. Wallahu ‘alam.
(ameera/arrahmah.com)