Oleh: DR (HC) KH Ma’ruf Amin
(Arrahmah.com) – Diantara wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah menetapkan fatwa terkait masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia (Lihat Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI). Fatwa MUI tentang masalah akidah dimaksudkan sebagai panduan dan bimbingan kepada umat tentang status paham keagamaan yang banyak berkembang di masyarakat. Karena, di antara fungsi fatwa adalah al-bayan atau penjelasan terhadap suatu masalah syar’i yang ditanyakan oleh umat.
Karena itu, jika ada pertanyaan dari umat, termasuk masalah akidah, maka MUI sebagai wadah para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim harus segera menjawabnya. Sebab, ta’khir al-bayan ‘an waqti al-hajah la yajuz (menunda jawaban-apalagi tidak menjawab-atas pertanyaan umat secara syar’i, tidak dibolehkan). Termasuk, masalah status aliran keagamaan yang kini banyak bermunculan dan ditengarai aliran sesat.
Bagi masyarakat, munculnya aliran kepercayaan itu tentu saja berbeda-beda. Ada yang pro dan ada pula yang kontra. Dalam kasus tertentu, aliran kepercayaan ini bisa saja menimbulkan gejolak di masyarakat hingga memunculkan perilaku anarkistis. Respons itu menunjukkan, aliran itu menyimpang dan tidak diterima masyarakat,walaupun ada yang membela membabi buta dengan alasan hak asasi manusia (HAM).
Dengan latar belakang di atas, dapat dipahami bahwa fatwa, khususnya tentang status aliran keagamaan menyimpang, sangat penting keberadaannya demi melindungi dan membentengi umat agar tidak terjerumus mengikuti aliran tersebut dan menjaga ketertiban di masyarakat.
MUI menyadari bahwa menyimpang tidaknya pemahaman sebuah aliran keagamaan harus dilakukan dengan hati-hati. Selain mendasarkan diri pada dalil-dalil keagamaan (an-nushus as-syar’iyah), juga perlu didahului dengan penelitian yang mendalam terkait fakta di lapangan, para pemimpinnya, dan latar belakang hingga muncul pemahaman yang menyimpang tersebut. Karena, tidak bisa menyebutkan sebuah aliran me-nyimpang hanya oleh perorangan atau sembarang kelompok yang tidak punya kompetensinya. MUI menyadari menfatwakan sebuah aliran menyimpang adalah upaya terakhir setelah upaya lain gagal.
MUI dalam Rakernas 2007 menetapkan 10 kreteria sebuah aliran keagamaan yang dianggap menyimpang. (Lihat hasil Rakernas MUI 2007). Dari 10 kriteria itu, bila salah satunya dilanggar (apalagi beberapa poin lainnya) maka bisa dikatakan aliran itu menyimpang.
Kriteria ini dapat dijadikan pedoman atau bahan pertimbangan aparat pemerintahan yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan apakah sebuah aliran dianggap menyimpang sehingga harus dilarang atau tidak. Walaupun, pada umumnya pemerintah menyerahkan penentuan itu kepada MUI.
MUI juga mempunyai enam aturan khusus terkait dengan kewenangan dan wilayah fatwa ini. Dalam aturan itu jelas bahwa MUI juga punya kewenangan menetapkan fatwa sepanjang hal itu belum difatwakan MUI Pusat. Dan, fatwa MUI daerah itu juga hendaknya telah dikonsultasikan dengan MUI pusat.
Apakah fatwa MUI daerah bisa direvisi atau dibatalkan? Pada hakikatnya, fatwa MUI merupakan hasil ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) yang dilakukan oleh para pengurus MUI, baik pusat atau daerah, khususnya yang ada di komisi fatwa. Sebagai hasil ijtihad, fatwa tidak bisa dibatalkan, dianulir, atau direvisi sesuai kaidah al-ijtihadu ‘ la yunqadhu bil-ijtihadi. Hasil ijtihad pun tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir), sepanjang illah hukumnya tetap.
Fatwa Syiah
Pasca gerakan revolusi Iran akhir 1970-an dan awal 1980-an, para pemuda di sejumlah negara Muslim terpesona dengan gerakan tersebut. Semangat gerakan revolusi yang dilandasi oleh ruh semangat Syiah ini kemudian mewabah dan menjangkiti para pemuda di negara Muslim, termasuk Indonesia.
Pada 1984 MUI dalam Rakernas, Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984, merekomendasikan tentang paham Syiah sebagai salah satu paham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) yang dianut mayoritas umat Islam Indonesia. Di antaranya, Syiah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlul Bait serta mereka tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.
Mengingat perbedaan pokok itu, MUI menghimbau kepada ummat Islam Indonesia yang berpaham Ahlussunnah wall jamaaah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah
Fatwa MUI Jawa Timur
Kasus konflik Sunni-Syiah yang paling aktual dan dinilai berskala besar adalah kasus di Sampang, Madura. Tidak bisa dimungkiri bahwa kasus tersebut bermula dari perbedaan paham ini. Menurut saya, faktor konflik keluarga yang selama ini sengaja didengungkan tidaklah terlalu signifikan, bahkan cenderung mengaburkan masalah sesungguhnya.
Karena, masalah sesungguhnya adalah tidak terimanya penganut Muslim Sunni di Sampang yang mendengar para sahabat terkemuka (Abu Bakar, Umar, clan Usman) dicaci-maki dan dihina oleh pengikut Syiah. Fakta hukum tentang masalah itu sudah terbukti di pengadilan.
Umat Islam di Sampang menanyakan hal itu kepada para ulama dan MUI setempat. MUI Sampang mempertanyakan masalah ini kepada MUI Jawa Timur (Jatim) dan MUI Jatim juga menyampaikan hal ini kepada MUI pusat. Atas hal ini, MUI Pusat membentuk tim untuk mengkaji masalah yang terjadi. Karena tim butuh waktu lama dan umat Islam di Sampang sudah mendesak agar ada jawaban tentang hal itu, akhirnya diberikanlah kewenangan kepada MUI Sampang untuk merespons ajaran yang disebarkan di Sampang oleh Tajul Muluk.
Berdasarkan bukti-bukti lapangan, akhirnya MUI Sampang menetapkan bahwa ajaran Syiah yang diajarkan Tajul Muluk adalah menyimpang dan ditetapkanlah fatwa sesat terhadap ajaran tersebut.
Dalam kajian MUI Pusat, fatwa MUI Sampang tersebut sudah memenuhi aturan dalam menetapkan sebuah fatwa, sebagaimana diatur dalam internal MUI. Fatwa tersebut juga telah memenuhi aspek sistematika, yakni melakukan studi lapangan, studi kitab-kitab rujukan, merujuk fatwa MUI tahun 1984, dan menggunakan tool kriteria aliran menyimpang, sebagaimana hasil keputusan Rakernas MUI tahun 2007.
Rupanya, kasus seperti di Sampang juga dihadapi MUI Kabupaten/kota di Jawa Timur. Ajaran yang disampaikan tidak jauh beda dengan ajaran Tajul Muluk di Sampang. Beberapa MUI di Jawa Timur juga mengeluarkan fatwa serupa, yakni menetapkan Syiah yang diajarkan di daerah mereka adalah ajaran sesat.
Setelah melakukan serangkaian penelitian yang mendalam dan berkonsultasi dengan MUI pusat dan MUI Jatim mengukuhkan fatwa serupa. Mencermati hal itu penulis menyimpulkan , bahwa MUI Fatwa Jatim tentang Syiah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan.*
—————————————-
Penulis adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Fatwa. Tulisan ini diambil dari rubrik opini Harian Republika, Kamis, (08/11/2012) dan dikutip dari hidayatullah.com