Nasehat Terbuka untuk Sang Ormas!
By elhakimi
Selalu heboh menjelang Idulfitri, terutama jika berpotensi berbeda. Pemicunya selalu sama: ormas itu. Anda sudah tahu.
Jika ingin bersatu sebetulnya mudah. Tanggalkan ego, duduklah bersama umat dalam musyawarah (syura/sidang). Terima dan patuhi hasil syuronya. Selesai. Semudah itu. Harusnya. Tapi entah kenapa susah banget dari dulu. Dan entah sampai kapan.
Nabi saw memberi contoh. Praktik nyata dalam pelaksanaan syuro. Sangat lengkap. Meski kasusnya berbeda tapi relevan dengan kasus ini. Pas banget. Simak sampai selesai, jangan skip!
Alkisah, Quraisy Mekkah pada Syawal 3 H mengirim pasukan dengan kekuatan 3.000 orang untuk membalas kekalahan di Badar tahun 2 H. Mereka bergerak menuju Madinah. Begitu kabar pergerakan mereka sampai Nabi saw, beliau menggelar musyawarah untuk menentukan: akan dihadapi di dalam kota Madinah atau di luar kota.
Golongan muda, yang tak turut dalam heroisme Badar, ingin agar menyambut pasukan Quraisy di luar kota, agar lebih heroik dibanding di dalam kota yang akan dipandang musuh sebagai sikap defensif dan lemah. Sementara kaum tua lebih memilih bertahan di dalam kota Madinah. Ini juga pendapat Nabi saw, hasil mimpi Nabi saw yang memberi isyarat untuk menghadapi musuh di dalam kota. Juga pendapat tokoh munafiq, Abdullah bin Ubay.
Aspirasi kaum muda lebih dominan. Akhirnya Nabi saw mengambil keputusan sebagai hasil syura: Menghadapi musuh di luar kota. Nabi saw meninggalkan pendapatnya sendiri, dan mau mengalah dengan mengambil pendapat kaum muda sebagai keputusan syura.
Nabi saw memakai baju perang, bersiap untuk berangkat. Kaum muda berubah pikiran, merasa terlalu lancang “memaksakan” pendapat kepada Nabi saw saat syura berlangsung. Mereka melobby ulang Nabi saw, mereka siap mengalah dan ikut pendapat Nabi saw.
Nabi saw menjawab: Pantang bagi seorang Nabi jika sudah mengenakan baju perang untuk melepas kembali sampai berperang menghadapi musuh. (HR. Ahmad dan Darimi).
Maksudnya, hasil syura jangan diotak-atik melalui lobby personal. Apa yang sudah diputuskan mengikat semua. Hanya tersisa satu hal: Laksanakan sambil tawakkal kepada Allah. Jangan ragu dengan suatu kesepakatan hasil syura. Abaikan keraguan itu, menatap ke depan, dan tawakkal! Move on, jangan lagi kepikiran saat rapatnya!
Nabi saw bergerak bersama 1.000 orang menuju Uhud. Dalam perjalanan, Abdullah bin Ubay si tokoh munafiq mengungkit hasil syura juga. Seperti golongan muda tapi dengan motif berbeda. Dia merasa tidak dihargai dan pendapatnya tidak dipakai, apalagi pendapatnya sama dengan pendapat Nabi saw. Dia menciptakan narasi keraguan akan hasil peperangan sebagai akibat menolak pendapat Nabi saw dan pendapat dirinya. Akhirnya, 300 orang berhasil digembosi untuk pulang ke Madinah bersamanya. Pasukan Nabi saw tersisa 700 orang. Perbandingan yang cukup menakutkan, karena harus menghadapi musuh yang berjumlah 3.000 orang.
Ketika perang berkecamuk, babak pertama dimenangkan pasukan Nabi saw dengan gemilang. Ghanimah yang berserakan memancing pasukan pemanah ikut rebutan, meninggalkan posnya yang diamanatkan Nabi saw agar jangan ditinggalkan apapun keadaannya sampai datang perintah Nabi saw yang baru. Masuk babak kedua, Khalid bin Walid memanfaatkan situasi dengan menghajar pasukan pemanah yang tersisa di pos, lalu memberondong pasukan Nabi saw dengan panah dari atas. Babak ini dimenangkan pasukan Quraisy. Babak ketiga, Nabi saw berhasil mengonsolidasikan kekuatan, kekacauan bisa diatasi, dan bisa menghalau musuh untuk kembali pulang ke Mekkah. Walhasil, perang Uhud ini dianggap draw. Tapi korban dari pasukan Nabi saw sangat banyak, bahkan termasuk Nabi saw sendiri terkena luka.
Usai perang, Abdullah bin Ubay kembali mengungkit hasil syura, menurutnya pasukan Nabi saw “kalah” karena tak mau ikut pendapat dia dan pendapat Nabi saw. Tapi kemudian wahyu turun, mereview secara utuh jalannya peperangan yang membantah narasi jahat yang dibuat si munafiq itu. Menurut ayat, “kekalahan” yang terjadi bukan akibat syura, tapi disebabkan adanya pasukan yang tergoda dunia (ghanimah) sehingga bermaksiat terhadap perintah Nabi saw. Maka wahyu tetap memerintahkan Nabi saw untuk melibatkan para Sahabat dalam syura untuk urusan-urusan berikutnya yang membutuhkan syura. Intinya, hasil syura tidak salah, bukan sumber kekalahan, yang salah adalah maksiat yang menjadi sebab kekalahan.
Inilah review ayat tentang polemik syura dianggap sebagai sebab kekalahan:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩
“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (Ali ‘Imran/3:159)
Tentang sebab kekalahan yang sesungguhnya diterangkan ayat ini:
وَلَقَدْ صَدَقَكُمُ اللّٰهُ وَعْدَهٗٓ اِذْ تَحُسُّوْنَهُمْ بِاِذْنِهٖ ۚ حَتّٰىٓ اِذَا فَشِلْتُمْ وَتَنَازَعْتُمْ فِى الْاَمْرِ وَعَصَيْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَآ اَرٰىكُمْ مَّا تُحِبُّوْنَ ۗ مِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَّنْ يُّرِيْدُ الْاٰخِرَةَ ۚ ثُمَّ صَرَفَكُمْ عَنْهُمْ لِيَبْتَلِيَكُمْ ۚ وَلَقَدْ عَفَا عَنْكُمْ ۗ وَاللّٰهُ ذُوْ فَضْلٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
“Sungguh, Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepadamu ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu (dalam keadaan) lemah, berselisih dalam urusan itu, dan mengabaikan (perintah Rasul) setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat. Kemudian, Allah memalingkan kamu dari mereka untuk mengujimu. Sungguh, Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Allah mempunyai karunia (yang diberikan) kepada orang-orang mukmin.” (Ali ‘Imran/3:152)
Kalimat “Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada (pula) orang yang menghendaki akhirat” maksudnya, pasukan pemanah terbelah dua. Ada sebagian (besar) yang turun berebut ghanimah (dunia) dan ada sebagian (kecil) yang tetap taat kepada Nabi saw (akhirat). Akibatnya, pos itu diambil alih pasukan Quraisy, yang menjadi titik balik sehingga pasukan Nabi saw kocar-kacir.
Pelajaran yang bisa diambil:
- Nabi saw meski statusnya sebagai Rasul, tapi masih mau melakukan musyawarah demi menyatukan pendapat. Nabi saw tak mengandalkan otoritasnya itu untuk “memaksa” semua orang mengikuti pendapatnya, tapi memberi contoh syura yang luar biasa.
Catatan: Sang ormas itu, apakah lebih tinggi otoritasnya dibanding Rasul sehingga menolak untuk syura (baca: sidang isbat) dalam mempersatukan Idul Fitri? Apa yang menghalanginya untuk duduk dalam syura demi persatuan umat?
- Nabi saw membuat keputusan dalam syura dengan mengambil pendapat yang kontra dengan pendapatnya. Padahal suara seorang Rasul bisa mengalahkan seluruh suara karena otoritas kerasulan bersifat mutlak, tak ada tandingannya. Tapi Nabi saw tak melakukan itu, lebih memilih syuro agar semua unsur merasa menjadi bagian dari umat ini.
Catatan: Sang ormas itu, memang punya pendapat sendiri dalam menentukan Idul Fitri, tapi apakah haram untuk menanggalkan ego lalu mengambil suara mayoritas demi bersatunya Idul Fitri? Apakah sang ormas lebih hebat dari Rasul sehingga harus ngotot dengan pendapatnya sendiri? Nabi saw saja mau menanggalkan pendapatnya sendiri dan membuat keputusan syura berdasarkan pendapat yang kontra.
- Pasca syura, Nabi saw digoda untuk membatalkan hasil syura, lalu mengikuti pendapat Nabi saw di awal (menghadapi musuh di dalam kota Madinah) tapi Nabi saw memberi contoh bahwa hasil syuro final dan mengikat semua pihak tak bisa diotak-atik dengan lobby-lobby personal setelah syura selesai dan ditutup. Setelah syura selesai, dan hasil telah diketok, yang tersisa tinggal laksanakan dan tawakkal, jangan ada lagi keraguan.
Catatan: Sang ormas itu, menolak untuk terikat dengan hasil syura (sidang isbat) dengan alasan punya pendapat sendiri. Kabarnya sudah beberapa tahun sudah tidak mengirim utusan untuk menghadiri sidang isbat. Ini lebih arogan lagi, karena mengambil sikap mufaroqoh (menyempal) dari majelis yang menyatukan umat demi merawat pendapatnya sendiri. Tega!
- Tokoh munafiq membangun narasi konfrontasi terhadap barisan umat dengan mendasarkan pada hasil syura. Ia menggugat hasil syura yang dianggap tak menghargai dirinya dan diri Nabi saw. Dia maunya syura itu hanya bersifat formalitas, hasilnya harus pendapatnya yang menang. Jika pendapatnya kalah, ia pasti akan bikin ulah. Menggembosi. Memecah-belah barisan umat.
Catatan: Sang ormas itu, ketika menolak menerima hasil syura (sidang isbat) karena pendapatnya tak dipakai sebagai hasil syura, maka sikap itu sama dengan sikap si munafiq di atas. Bahkan kabarnya lebih parah dari sikap Abdullah bin Ubay. Si Abdullah bin Ubay masih mau terlibat dalam syuro bersama Nabi saw meski menggembosi setelah syuro selesai. Sementara sang ormas bahkan menarik diri, hadir pun tak mau. Sudah lama, sekurangnya sejak 3 tahun lalu. Kabarnya.
Jika sudah sampai pada menolak duduk bersama umat, berarti sudah tak ada lagi harapan persatuan. Umat Islam harus menyiapkan tisu lebih banyak, sebab kesedihan akibat perbedaan Idul Fitri masih akan terus berlanjut sampai kapanpun, kecuali jika sang ormas mau meleburkan diri dalam syura sepenuh hati dengan menanggalkan ego pendapat sendiri demi membahagiakan umat dengan bersatunya Idulfitri.
- Secara spesifik, Nabi saw memberi arahan bahwa penentuan Idul Fitri adalah jika umat Islam sepakat untuk Idul Fitri. Sementara, kesepakatan itu paling mungkin didapatkan melalui syura.
عن عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((الفطر يوم يُفطِر الناس، والأضحى يوم يُضحِّي الناس))؛ رواه الترمذي.
“Aisyah ra: Rasulullah saw bersabda: Idul Fitri adalah hari katika semua orang bersepakat ber-Idulfitri dan Iduladha adalah hari ketika semua orang sepakat ber-Iduladha.” (HR. Tirmidzi)
Catatan: Sang ormas itu, sudah waktunya untuk mengoreksi diri, menanggalkan ego, kembali ikut syura dan menerima keputusan syura, agar Idulfitri di wilayah kita bisa bersatu. Apakah sang ormas sudah mati rasa ketika mendapati umat sedih dan terganggu gara-gara sang ormas ngotot dengan pendapatnya sendiri dan menolak syura. Ketahuilah wahai sang ormas, cara mempersatukan Idulfitri bukan dengan memaksa semua orang mengikuti pendapat Anda. Itu sikap arogan. Mau menang sendiri seperti Abdullah bin Ubay. Tapi yang benar adalah Anda harus mau menurunkan ego, ikut syura dan mau menerima hasil syura meski berbeda dengan pendapat Anda. Ingatlah, Rasul saja mau menurunkan ego dengan mengambil pendapat yang kontra. Emangnya Anda siapa dibanding Nabi saw?
Teladan Anda adalah Muhammad saw yang menjadi inspirasi nama ormas Anda. Jika Anda menolak meneladani Muhammad saw dalam masalah syura ini, berarti Anda meneladani Abdullah bin Ubay yang selalu ingin pendapatnya menjadi keputusan syura. Maka nama Anda perlu dirubah menjadi Abdullahiyyah bin Ubaiyyah – pengikut Abdullah bin Ubay dalam bab syura! Susah bener ya!
- Syura itu solusi terbaik untuk mempersatukan umat. Karenanya, urgensinya hanya setingkat di bawah urgensi shalat. Sebagaimana ayat berikut:
وَالَّذِيْنَ اسْتَجَابُوْا لِرَبِّهِمْ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَۖ وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْۖ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۚ ٣٨ ( الشورى/42: 38)
“(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Allah dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka;” (Asy-Syura/42:38)
Catatan: Allah meletakkan syura di belakang shalat menunjukkan syura memiliki urgensi yang sangat tinggi, hanya setingkat di bawah shalat. Jika sang ormas menolak syura, berarti menolak salah satu syariat yang sangat penting dalam Islam. Kalau sudah begini, kita layak meratapi, sampai kapan umat ini akan bersatu dalam Idulfitri ? Ya Allah, berilah kami kesabaran dalam menerima ujian ini.
- Sebetulnya sang ormas boleh bersikukuh dengan pendapatnya, tapi syaratnya harus mampu mengajak seluruh umat untuk ikut pendapatnya, sehingga hasil akhirnya tetap bersatu. Kata kuncinya adalah dihasilkannya persatuan, tidak penting apakah bersatu di bawah pendapat sang ormas, atau bersatu di bawah hasil syura umat sebagaimana yang sekarang ada.
Caranya, bisa saja sang ormas mengundang seluruh perwakilan umat untuk duduk melakukan sidang isbat (syura) tandingan. Tapi masalahnya, apakah para perwakilan umat mau hadir diundang sang ormas? Katakanlah mau hadir, apakah itu representasi umat yang sesungguhnya, ataukah perwakilan abal-abal?
Catatan: Jika sang ormas gagal membuat syura tandingan dan menghasilkan persatuan yang lebih baik, konsekuensinya sang ormas harus legowo menerima kenyataan bahwa ia harus bergabung dalam syura yang lebih dulu ada demi menjaga persatuan. Masalahnya, ketika sang ormas sudah terbukti tak mampu menyatukan umat di bawah panjinya, tetap saja ia memilih menyempal sendiri dari syura umat, tak mau bergabung bersama umat. Sebuah pilihan sikap yang nyebelin. Asli. Kekanak-kanakan.
- Kita punya hak menolak duduk dalam syura dan mengakui hasilnya ketika keputusan dalam syuro sama sekali tidak memakai panduan syariat, bahkan memusuhi syariat. Misalnya, syura dalam melegalkan riba. Jelas ayat melarang riba, tapi syuranya membahas bagaimana strategi melegalkan riba. Jika kita diundang dalam syura seperti ini, kita wajib menolak hadir. Dan terhadap hasil kepurusannya, wajib kita tolak.
Catatan: Syura (sidang isbat) jelas baik. Upaya menyatukan umat. Temanya menentukan kapan Idulfitri akan jatuh. Metode yang digunakan adalah rukyat hilal, sebuah metode yang dianut mayoritas mazhab. Lalu sang ormas menolak hadir di situ. Menolak pula hasil keputusannya. Apa alasan syar’i untuk penolakan ini? Sejujurnya, tidak ada alasan syar’i. Sekedar menuruti ego kelompok saja. Naif.
Wahai sang ormas, syariat apa yang Anda pakai, jika syura yang isinya baik dan sesuai syariat, hanya karena berbeda dengan pendapat Anda, maka Anda menarik diri darinya?
- Perbedaan Idulfitri selalu melahirkan adu argumen tentang landasan syar’i pendapatnya masing-masing. Media sosial selalu riuh dengan perdebatan itu. Padahal, perdebatan itu tiap tahun hanya mengulang perdebatan tahun sebelumnya. Setelah Idulfitri selesai, perdebatan ikut selesai.
Catatan: Kasihan umat awam. Mereka harus terlibat dalam perbedatan berulang tanpa ujung. Habis energi, tak ada solusi. Semuanya gara-gara sang ormas selalu memancing sensasi, dengan arogan mengumumkan tanggal Idulfitri jauh sebelum waktunya tiba dan berpotensi berbeda.
Padahal solusinya mudah sekali. Hati. Bukan adu argumen. Jika sang ormas hatinya mau legowo duduk dalam syura dan mau menerima hasil syura, semua perdebatan ini otomatis berhenti. Sebab selama ini perdebatan dipicu oleh pengumuman sang ormas yang jauh hari sebelum datangnya Idulfitri. Dia yang selalu memancing keributan.
Kesediaan duduk dalam syura itu dorongan hati, bukan argumen pikiran. Kesedian menerima hasil syura meski berbeda dengan pendapat pribadi itu dorongan hati, bukan argumen pikiran.
Karena itu, solusi dari semua keributan ini adalah hati. Selama sang ormas masih tinggi hati tak mau duduk merendah bersama umat, sampai kiamat pun perdebatan menjelang Idulfitri akan terus terjadi. Sepuluh hari terakhir Ramadhan yang seharusnya diisi dengan hati yang adem, banyak munajat dan istighfar, harus diisi dengan debat panas adu argumen yang tak ada ujungnya. Dan itu berulang nyaris tiap tahun.
Paparan ini sampai pada kesimpulan gamblang meski pahit, yaitu bahwa si biang kerok sudah ketemu. Siapa lagi kalau bukan sang ormas yang kaya raya itu. Ormas yang konon serius ingin meniru ajaran Nabi Muhammad saw. Bahkan memakai namanya sebagai identitas –Muhammadiyah. Tapi sayang, tak mau meneladani Nabi Muhammad saw dalam ajaran syuro-nya hanya karena ingin mempertahankan ego kelompok yang absurd. Miris.
والله أعلم بالصواب
@ Jakarta – 19042023