INDONESIA BERSYARI’AH
MENYEMPURNAKA N KEMERDEKAAN RI
(Inisiator Kongres Mujahidin)
(Arrahmah.id) – Keinginan untuk menerapkan Syariat Islam di Indonesia tak pernah padam. Semenjak Islam masuk ke negeri ini, pada abad ke-7, jauh sebelum bernama Indonesia, sudah ada kerajaan Islam yang senantiasa berusaha untuk menegakkan Syariat Islam di wilayah kerajaannya. Bahkan setelah kolonial Belanda menjajah pun, kerajaan-kerajaan Islam yang ada masih berusaha menegakkan Syariat Islam.
Setelah Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, ikhtiar penegakan Syariat Islam di lembaga negara juga tidak henti. Ada yang berusaha menegakkannya dalam kehidupan politik. Misalnya, 7 kata dalam Piagam Jakarta yang tercantum pada sila pertama Pancasila: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Atau pun dengan tuntutan menjadikan Islam sebagai dasar negara RI yang diperjuangkan oleh Partai Masyumi dalam konstituante 1946-1959.
Usaha ini dilanjutkan lagi dengan menyusun kembali hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, sehingga lahir UU Perkawinan yang sesuai Syariat Islam pada tahun 1974. Seiring dengan itu, pada tahun 1980, disahkan pula kedudukan pengadilan agama.
Namun ada pula yang memperjuangkan tegaknya Syariat Islam dengan terpaksa melakukan perlawanan bersenjata guna mempertahankan kedaulatan negara. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan SM. Kartosoewirjo di Jawa Barat, 7 Agustus 1949, wilayah yang dikuasai kembali oleh Belanda akibat perjanjian Renvile antara pemerintah Indonesia dan kolonial Belanda. Pada 17 Januari 1948 kedua belah pihak menyepakati perjanjian Renville yang memuat keputusan, “Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
Akibatnya, luas wilayah Indonesia menjadi semakin sempit. Para tentara di Jawa Barat harus berpindah ke Jawa tengah yang dikenal dengan peristiwa Long March Siliwangi. Bahkan ibu kota negara juga harus berpindah dari Jakarta karena tidak lagi menjadi wilayah kekuasaan Indonesia. Hal ini memunculkan perlawanan di berbagai daerah. Bahkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mundur dari jabatannya pada 23 Januari 1948 karena dianggap gagal mempertahankan wilayah kedaulatan Indonesia.
Perlawanan yang dilakukan oleh SM Kartosoewirjo, dengan memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat, untuk melaksanakan Syariat Islam secara bernegara, kemudian diikuti oleh daerah lainnya. Abdul Qahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hadjar di Kalimantan dan Tengku Muhammad Daud Beureuh di daerah Serambi Mekah, Aceh.
Di zaman kekuasaan Presiden Soeharto, aspirasi umat Islam yang berhubungan dengan negara, dipangkas habis. Bahkan asas Islam bagi suatu organisasi, apakah ormas atau orpol, yang di zaman penjajah Belanda pun dibiarkan oleh penguasa kolonial, di zaman Soeharto dilarang. Semua kekuatan politik diseragamkan asasnya dengan asas tunggal Pancasila. Siapa pun yang tidak sejalan dengan kebijakan asas tunggal versi penguasa, segera dilabeli stigma anti Pancasila, musuh pemerintah, dan terancam dipenjara di bawah UU subversi. Dan cukup banyak ulama, cendekiawan muslim yang menjadi korban UU tersebut.
Selepas rezim Orde Baru tumbang, berganti Orde Reformasi tahun 1998, dan Prof. Dr. BJ Habibi menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI. UU No. 11/PNPS/tahun 1963, yang menjadi senjata rezim otoriter Orla maupun Orba membungkam lawan politiknya dicabut; sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, termasuk eks Narapidana politik Islam yang baru bebas dari penjara. Mereka menuntut dicabutnya UU Subversi dan pembebasan tapol-napol, baik ekstrim kanan (Eka) maupun ekstrim kiri (Eki). Maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 Tentang Pencabutan UU 11/PNPS/tahun 1963 mengenai Pemberantasan Kegiatan Subversi, karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga dalam penerapannya menimbulkan ketidakadilan dan keresahan di masyarakat.
Hikmah pencabutan UU Subversi tersebut, banyak bermunculan gerakan maupun pemikiran keagamaan yang memainkan peran dominan dalam isu-isu nasional, baik yang bercorak liberal, moderat sampai bercorak ideologis. Lahirlah organisasi-organisasi Islam baru, yang menghendaki tegaknya Syari’at Islam, seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Khilafatul Muslimin dll.
Salah satu gerakan Islam ideologis yang muncul di awal reformasi, adalah Majelis Mujahidin (MM) yang mengusung misi penegakan Syariat Islam di lembaga negara. Majelis Mujahidin lahir dari rahim Kongres Mujahidin yang diadakan selama tiga hari, 5-7 Agustus 2000, di Yogyakarta.
Inisiator Kongres Mujahidin adalah para pemuda aktifis Gerakan Islam di awal tahun 80-an yang telah kembali ke dunia bebas setelah bertahun-tahun meringkuk di penjara Orde Baru. Setelah mereka bebas pada akhir tahun 90-an, mereka aktif berdiskusi seputar perjuangan penegakan Syariat Islam. Lama mereka tidak segera muncul karena mencari format perjuangan yang sesuai dengan konteks zaman.
Di antara aktivis gerakan Islam yang sejak awal terlibat langsung dalam membidani terselenggaranya Kongres Mujahidin, merupakan kader militan yang pernah mengalami gemblengan di “Madrasah Yusuf” (penjara orde baru). Seperti Irfan S. Awwas, M. Shabbarin Syakur, Oni Gustaf Efendi, Harun Sarjono, Fihiruddin Muqthi alias Abu Jibril Abdurrahman, dan Mursalin Dahlan.
Ketika itu, Irfan Suryahardy Awwas, salah seorang penggagas Kongres Mujahidin yang kemudian dipercaya oleh Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) menjadi Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, belum lama menghirup udara bebas, setelah mendekam di penjara Orde Baru selama 9 tahun dari vonis 13 tahun penjara oleh PN Sleman, Yogyakarta. Ditahan sejak 8 Februari 1984 dan bebas 8 Februari 1993. Irfan dituduh menentang Asas Tunggal Pancasila, dan menyebarkan ideologi Negara Islam Indonesia (NII) melalui ceramah serta bulletin Ar-Risalah yang dipimpinnya.
Selama menjalani masa-masa hukuman penjara, Ia dipindah-pindah ke beberapa Lembaga Pemasyarakatan (LP). Tahun pertama, sebagai tahanan Laksusda Jateng, diinapkan di LP Mlaten, Semarang. Kemudian, ketika kasusnya hendak disidangkan, dipindah ke LP Wirogunan Yogyakarta. Setelah divonis 13 tahun penjara, ia dibuang ke LP Permisan dan LP Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
“Bersabar menghadapi badai ujian, memang tak selalu mudah untuk tetap istiqamah. Tapi selama berada di Lp Nusakambangan, takdir Allah menganugerahkan hiburan. Ada dua hal yang saya rasakan sebagai “Hiburan Ilahiyah,” kenang Irfan, yang sempat mendirikan penerbitan “Wihdah Pres” dan lembaga pendidikan komputer “Casablanca” setelah bebas dari penjara.
Hiburan pertama, ungkapnya, setiapkali saya membaca firman Allah, dalam Qur’an surat Muhammad ayat 31, hati saya selalu bergetar. Seakan segala beban derita menjadi ringan dan badan menjadi segar kembali setelah terkungkung di dalam sel tahanan.
Allah Swt berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتّٰى نَعْلَمَ الْمُجٰهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصّٰبِرِيْنَۙ وَنَبْلُوَا۟ اَخْبَارَكُمْ
“Wahai orang-orang beriman, Kami akan menguji kalian, sehingga dapat Kami buktikan siapa di antara kalian yang mau berjihad dan bersabar menghadapi musuh Allah. Kami akan menampakkan keadaan yang sebenarnya dari kalian semua.” (QS Muhammad (47) : 31)
Allah Swt akan menguji orang-orang beriman dengan kewajiban berjihad membela Islam, agar jelas siapa mujahid di jalan Allah dan yang bersabar menghadapi musuh Allah. Dan Allah akan menguji ucapan dan perbuatan orang beriman, sehingga jelas siapa yang jujur dan siapa yang dusta dengan keimanannya.
Ayat lain yang membantu menguatkan pertahanan iman adalah:
لَنْ يَّضُرُّوْكُمْ اِلَّآ اَذًىۗ وَاِنْ يُّقَاتِلُوْكُمْ يُوَلُّوْكُمُ الْاَدْبَارَۗ ثُمَّ لَا يُنْصَرُوْنَ
“Wahai kaum mukmin, penentang kebenaran itu tidak akan membahayakan kalian. Mereka hanya mengganggu kalian saja. Sekiranya penentang kebenaran itu memerangi kalian, niscaya mereka akan lari ketakutan. Kemudian mereka tidak akan mendapatkan pertolongan Allah di akhirat.” (QS Ali ‘Imran (3) : 111)
Ayat ini dahsyat, untuk memproteksi mental orang beriman, supaya tidak terjerembab pada kekhawatiran, ketakutan, atau tertipu perasaan minder.
Betapapun orang-orang kafir, fasik, munafik, kaum Islamophobia menunjukkan sikap permusuhan kepada orang beriman, mereka tidak akan dapat menimpakan mudarat. Mereka tidak akan membahayakan, karena Allah menjaga mereka.
Tidak ada yang bisa dilakukan musuh, melainkan hanya gangguan-gangguan kecil, berupa cemoohan, ancaman, dan cercaan yang menyakitkan hati, menjelek-jelekkan agama, mengolok-olok pribadi muslim.
Misalnya, menuduh radikal, teroris, ekstrim kanan. Atau, menebar hate speech (ujaran kebencian) seperti kadrun, peramal masa depan, pemecah belah masyarakat, penyebar ideologi transnasional, pengusung politik identitas.
Oleh karena itu jangan takut, jangan pesimis, abaikan saja. Teruslah berjuang dan teguhkan pendirianmu, hingga syariat Islam tegak dan sistem thaghut tumbang menjadi sampah akhir zaman.
Hiburan kedua, di dalam penjara, Allah Malikurrahman mempertemukan jodoh dengan seorang mahasiswi ekonomi yang sebelumnya tak pernah saling mengenal. Perkenalan pertama saat dirinya mengikuti sidang di PN Sleman tahun 1986. Kami menikah di penjara. Setiap bulan ia bezuk ke LP Nusakambangan ditemani adiknya. Ia sabar dan setia, terbukti ia bersedia menanti selama 6 tahun. Barangkali, inilah “kado spesial” dari Allah bagi hamba-Nya yang terhimpit lara tuduhan terpidana subversi.
“Belum pernah ada gadis yang bezuk Narapidana ke pulau Nusakambangan, selain istrimu. Tak ada resepsi pernikahan, tak ada pula malam penganten,” komentar sipir penjara yang mengetahui pernikahan kami.
Diskusi Pra Kongres
Gagasan diselenggarakannya Kongres Mujahidin, berawal dari diskusi kecil yang dilakukan secara intensif, yang ujungnya menggagas lahirnya suatu lembaga yang berjuang, tidak sekadar substansial ajaran Islam, tapi formalisasi Syariat Islam di lembaga negara. Mula-mula Irfan S. Awwas berdiskusi dengan tokoh-tokoh gerakan yang lebih senior.
Tokoh pertama yang diajak diskusi oleh Irfan, adalah seorang dosen perguruan tinggi dan daí terkenal, Ir. RHA. Syahirul Alim, M.Sc, tentang urgensi formalisasi Syariat Islam di lembaga negara. Syari’at Islam yang dimaksud adalah, segala aturan serta tuntunan hidup yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw.
“Penting bagi umat Islam untuk menegakkan Syariat Islam secara bernegara dan bermasyarakat, di samping perorangan. Sebab, Syariat Islam hanya bisa efektif melaksanakan peran positif membangun negara demi kemaslahatan rakyat, apabila dikuat kuasakan secara konstitusional,” kata Irfan meyakinkan.
Sebagai alumni pesantren asli Madura dan Dosen kimia F-MIPA UGM, Ir. RHA. Syahirul Alim, M.Sc, yang berhasil menyelesaikan hafalan Al-Quránnya justru disaat kuliah S2 di Amerika itu, bersikap obyektif dan rasional. Ia sangat antusias menyambut gagasan yang disampaikan Irfan.
“Saya yang sudah setua ini belum sampai berfikir sejauh itu. Tapi saudara yang berusia lebih muda sudah memiliki pemikiran cerdas dan bernas, tentu saja saya setuju dan sangat mendukung. Sebagai muslim, apalagi yang lebih penting selain meninggikan kalimah Allah dengan menegakkan Syariat Islam,” kata Syahirul Alim kala itu.
Selain Syahirul Alim, Irfan juga berdiskusi dengan 2 Noer, Buya Mawardi Noer, SH, dan Profesor Dr. Deliar Noer, MA. Respons Buya Mawardi Noer mendebarkan. “Kemerdekaan Republik Indonesia yang diraih atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, harus disempurnakan dengan memberlakukan hukum Allah,” tegasnya.
Irfan S. Awwas menuturkan, terjadi dialog menarik antara dirinya dan Deliar Noer, saat-saat akhir jelang Kongres. Bersama Sekretaris panitia, M. Shabbarin Syakur ia menemui Prof. Dr. Deliar Noer, MA, seorang cendekiawan dan intelektual muslim, pemikir, peneliti, dan pengamat politik Indonesia yang kritis, di rumahnya. Beliau adalah orang pertama di Indonesia yang mendapat gelar Doktor bidang politik.
Kala itu, Irfan menyampaikan persiapan kongres yang tinggal seminggu lagi, dan menanyakan makalah beliau yang belum diterima panitia. “Saya belum siapkan makalah untuk kongres mujahidin, karena sedang menyelesaikan makalah untuk seminar yang lebih penting,” katanya.
Lalu Irfan, tanpa kehilangan rasa hormatnya, bertanya, “Maaf Profesor. Dengan pengalaman, pengetahuan, hingga usia setua sekarang, bapak masih menganggap ada yang lebih penting selain perjuangan penegakan Syariat Islam?”
Lama beliau terdiam, sebelum menjawab, “Baiklah, makalah akan saya selesaikan dan kirim ke panitia dalam tiga hari ini.” Dan janji itu beliau penuhi, langsung mengirimkan makalah berjudul: “Penegakan Syariat Islam Dalam Pentas Politik Nasional.”
Diskusi dengan para cendekiawan muslim tersebut, mengalirkan stamina dan energi baru. Irfan kemudian membahas gagasan penegakan Syariat Islam di lembaga negara dengan gurunya, mutarjim Al-Qurán Tarjamah Tafsiriyah, Drs. Muhammad Thalib. Hasil pembahasan itu dirumuskan dalam makalah berjudul: “Penegakan Syariat Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” yang akhirnya menjadi jargon Kongres Mujahidin.
Realita kronologis ini penting diungkapkan untuk menepis isu liar dari beberapa sumber yang, secara salah menarasikan keterlibatan dua orang Da’i terkenal yang diburu penguasa, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Ustadz Abdullah Sungkar dalam kelahiran Majelis Mujahidin. Seperti yang ditulis oleh M. Nursalim dalam tesis Program Magister Studi Islam Universtas Muhammadiyah, Surakarta. (Lihat Nursalim “Faksi Abdullah Sungkar dalam Gerakan NII Era Orde Baru,” dalam Jurnal Studi Islam Profetika, vol. 3, No. 2 Juli 2001).
Sebagaimana Nursalim, tuduhan dusta terhadap Majelis Mujahidin, juga direkayasa oleh Maftuh Abegebriel. Ia secara terbuka menabur fitnah bahwa Majelis Mujahidin adalah saudara kembar Jama’ah Islamiyah (JI), sebuah organisasi Islam yang distigma sebagai kelompok teroris oleh Amerika. Artikelnya yang dimuat dalam buku Negara Tuhan, Maftuh berhalusinasi, “Sebenarnya Al-Jama’ah al-Islamiyah ini bukan tidak mungkin sudah “nikah” dengan Majelis Mujahidin yang berpusat di Jogjakarta lewat sebuah khithbah yang berlabel “tansiq baina al-jama’ah,” tulisnya.
Halusinasi Maftuh, mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Saudi Arabia itu, semakin liar. “Tidak begitu salah jika disimpulkan bahwa JI dan MM adalah Muhtalifah al-Asma’ wa al Lughat Muttahidah al-Asykal wa alAghrad, berbeda dalam nama dan bahasa tetapi sama dalam bentuk dan tujuan,” tulisnya lagi. (Lihat A. Maftuh Abegebriel dkk Negara Tuhan, The Thematic Encyclopaedia, Yogyakarta: SR-Ins publishing, 2004, hlm. 899).
Lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998, yang sudah berkuasa selama 32 tahun, membawa angin segar bagi kebebasan berpendapat dan berserikat di Indonesia. Berbagai kegiatan yang awalnya dicekal oleh pemerintah, perlahan mulai kembali bernafas lega. Perubahan politik ini membawa harapan baru, dan sebagai pelarian politik tentu kesempatan ini tak disia-siakan oleh Ustadz Abdullah Sungkar dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
Pada 20 Oktober 1999 mereka memutuskan untuk berkunjung ke tanah air Indonesia. Namun beberapa hari setelah kedatangannya di Indonesia, takdir Allah menentukan lain. Usai menunaikan shalat Dzuhur, Ustadz Abdullah Sungkar terkena serangan jantung yang membawa kematiannya. Beliau wafat di sebuah RS di Bogor pada hari Ahad, tanggal 24 Oktober 1999, dan esoknya dimakamkan di Boyolali, Klaten, Jawa Tengah.
Bagaimana dengan Ustadz Abu Bakar Baásyir? Untuk beberapa saat Ia kembali ke Malaysia, selanjutnya menggantikan posisi Abdullah Sungkar sebagai Amir Al-Jamah Al-Islamiyah. Namun sebulan sebelum Kongres Mujahidin digelar, Juli 2000, Ustadz Abu Bakar Baásyir ke Indonesia lagi dan menemui Irfan S. Awwas di kantor Casablanca, Jl. Pelumbon, Yogyakarta. Beliau berpesan supaya dikirimi undangan Kongres Mujahidin. “Irfan, nanti Saya dikirimi undangan kongres ya, Insya Allah saya usahakan hadir,” pesan beliau kala itu.
Dengan demikian, kehadiran Ustadz Abu Bakar Baásyir di dalam Konggres Mujahidin I adalah sebagai peserta, bukan pemrakarsa. Sungguhpun nama beliau tercantum sebagai penasehat kongres, semata-mata untuk meningkatkan legitimasi konggres tersebut di hadapan para aktifis gerakan Islam.
Pembentukan Panitia Kongres
Maka dibentuklah panitia Kongres pada awal bulan April 2000. Berkumpul lebih dari 50 orang aktivis Gerakan Islam, utusan dari berbagai institusi Gerakan Islam, seperti Khilafatul Muslimin, Al-Jama’ah Al-Islamiyah, mujahid Darul Islam, eks Mujahidin Afghanistan, eks tapol (tahanan politik) rezim otoriter Orde Baru. Pertemuan berlangsung dua hari, diadakan di Asrama Haji, Ringroad Utara, Yogyakarta.
Dalam rapat koordinasi, panitia kongres yang dipimpin Irfan S. Awwas, didampingi Mursalin Dahlan dan M. Shabbarin Syakur, sempat terjadi perdebatan seputar nama kongres yang akan digelar. Dari alumni jihad Afghanistan tidak sepakat bila kongres yang akan digelar dinamakan Kongres Mujahidin.
Utusan resmi dari Al-Jamaah Al-Islamiyah, pimpinan Ustadz Abu Bakar Baásyir ini, terdiri dari 3 orang: Amir Mahmud, Kalono, dan Arif Siswanto, menyoal istilah Kongres Mujahidin. Sesuai instruksi Amir Jamaah, mereka menolak diksi Kongres Mujahidin, setidaknya karena dua alasan.
Pertama, menurut mereka, Mujahid adalah orang yang sudah pernah berjihad di medan perang melawan musuh-musuh Islam. Maka tidak tepat menggunakan label mujahidin bagi mereka yang belum pernah terjun di medan jihad. Sementara mayoritas peserta kongres bukanlah orang-orang yang pernah berjihad di medan perang.
Kedua, dalam waktu dekat rencananya akan digelar musyawarah internasional untuk membentuk wadah mujahidin bernama Rabithatul Mujahidin di Malaysia. “Äpabila tetap menggunakan nama Kongres Mujahidin, kami memilih tidak terlibat dalam kepanitiaan,” kata mereka.
Musyawarah panitia yang digagas dengan susah payah hampir deadlock. Perdebatan pun tak terhindarkan. “Jika tidak setuju menggunakan nama Mujahidin, silakan gunakan Kongres Qaidin saja (sebutan bagi mereka yang tidak mau berjihad membela Islam),” sindir Zulkifli Rahman, utusan dari Khilafatul Muslimin.
“Kita bukan veteran jihad, memang. Tapi kita adalah Mujahid. Dalam salah satu Sabda Nabi Saw dikatakan, mujahid adalah orang yang berjihad dalam ketaatan kepada Allah. Jadi setiap muslim yang siap berjuang dan berkorban untuk membela Islam, baik di masa damai maupun di masa perang, disebut mujahid. Adapun mereka yang sudah pulang dari medan perang, lebih tepat disebut veteran mujahidin. Saya harap kita tidak berbeda pendapat tentang nama Kongres Mujahidin,” kata Mursalin Dahlan berusaha menengahi.
Kenyataannya, istilah yang jadi masalah, bukan hanya diksi Mujahidin. Ada juga yang tidak setuju bila perhelatan besar umat Islam dinamakan Kongres.
“Mengapa perhelatan ini disebut Kongres, dan bukan Muktamar, istilah yang lebih Islami? Apakah itu tidak berarti tasyabbuh (meniru atau menyerupai) orang kafir?”
Istilah Kongres atau Muktamar, merupakan dua istilah berbeda tapi memiliki pengertian yang sama. Dalam kaitan ini, Ustadz Muhammad Thalib, sebagai penasehat panitia, menyampaikan pandangannya.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) istilah kongres dimaksudkan sebagai pertemuan besar para wakil organisasi (politik, sosial, profesi) untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan mengenai pelbagai masalah. Sedangkan Muktamar, berasal dari bahasa Arab, yaitu i’tamara – ya’tamiru – i’timaran – mu’tamaran, yang berarti tempat berlangsung atau diadakannya permusyawaratan. Dalam kamus al-Munjid, Muktamar diartikan sebagai tempat berkumpulnya suatu kaum untuk menilik dan memusyawarahkan persoalan-persoalan mereka yang penting.
Secara organisatoris, Muktamar adalah sebuah forum permusyawaratan tertinggi yang resmi dan diadakan secara reguler untuk membicarakan dan membahas berbagai persoalan yang berkaitan dengan kepentingan suatu organisasi.
Lebih jauh dijelaskan, dalam terminologi Arab, mulanya tidak dikenal kata bentukan Muktamar. Istilah itu mulai diperkenalkan di dunia Arab (Islam) sekitar tahun 1908 oleh partai-partai wathani (Nasionalis) di Mesir. Sebagai wilayah jajahan Inggris, banyak pelajar Mesir yang belajar ke Inggris dan terpengaruh dengan bahasa-bahasa populer seperti congress, conference, yang biasa dipakai dalam kancah percaturan politik di dunia Barat. Sehingga dipakailah kata Muktamar dalam bahasa Arab untuk menggantikan kata congress dalam bahasa Inggris.
Jadi, istilah Muktamar yang dianggap Islami itu, tidak lazim digunakan di negeri Arab sendiri. Tapi dipopulerkan oleh Partai Nasionalis Sekuler Mesir untuk menamakan sebuah pertemuan besar partai yang mereka adakan.
Dengan demikian, bila penggunaan kata kongres dinilai sebagai tasyabbuh pada orang kafir, maka muktamar juga tasyabbuh pada pendahulunya yaitu Partai Nasionalis Sekuler Mesir.
Penggunaan bahasa, baik tulisan maupun lisan sudah ada sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad Saw. Banyak istilah yang tadinya sudah ada dan digunakan oleh orang kafir, Yahudi dan Nasrani di Arab, masih dilestarikan dalam Al-Qur’an walaupun dengan pengertian berbeda. Misalnya, kata syura, dien, shalat, zakat dan shiyam. Kata-kata tersebut sebelumnya sudah biasa digunakan oleh orang-orang kafir jahiliyah. Lalu, apakah bahasa Al-Qur’an sendiri tasyabbuh dengan bahasa yang digunakan ahlul kitab atau orang-orang kafir Arab jahiliyah? Sudah tentu, tidak ‘kan.
Indonesia pra kemerdekaan, sekitar tahun-tahun 1900-an, hampir semua ormas Islam menggunakan istilah kongres dalam perhelatannya. Jamiatul Khair misalnya, adalah ormas Islam pertama yang didirikan di Indonesia pada 17 Juli 1905 di Jakarta. Kongres pertama Jamiatul Khair dilaksanakan pada tahun 1911 M. Salah satu keputusan penting hasil kongres ini adalah mendatangkan guru-guru agama dari Timur Tengah ke Indonesia.
Pertemuan besar pertama Sarekat Islam di Bandung, pimpinan HOS. Cokroaminoto, dihadiri sekitar 360 ribu peserta, 17-24 Juni 1916, disebut Kongres Nasional I Sarekat Islam.
Pada tahun 1926, forum tertinggi persyarikatan Muhammadiyah dihelat di Surabaya, yang mendapuk K.H Ibrahim sebagai Ketua, juga dinamakan Kongres Muhammadiyah. Peralihan ke istilah muktamar digunakan pertama kali pada 1944. Kala itu, tampuk kepemimpinan beralih dari K.H. Mas Mansur kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Nahdlatul Ulama yang lahir Tanggal 31 Januari 1926, awalnya juga menggunakan istilah Kongres, sebelum menggunakan istilah muktamnar.
Kongres Umat Islam (KUI) pertama berlangsung pada 1938 dan mengukuhkan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). Majelis itu merupakan lembaga payung bagi organisasi-organisasi Islam di Indonesia kala itu. Dilanjutkan dengan KUI II pada 1949, yang berhasil melahirkan Partai Masyumi.
Pasca kemerdekaan RI, Umat Islam Indonesia terus melangsungkan kongres, yang disebut KUII (Kongres Umat Islam Indonesia). Setelah sempat mati suri di awal Orde Lama dan terkubur di sepanjang era Orde Baru. Pada 1998 Orde Baru tumbang, Kongres Umat Islam hidup kembali. KUII ke III diadakan pada 1998 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. KUII IV di Hotel Sahid Jakarta lima tahun kemudian. Dan KUII V diadakan tanggal 7-10 Mei 2010 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta. KUII VI di Hotel Inna Garuda, Malioboro, Jogjakarta, Ahad 8 Februari 2015. Dan selanjutnya KUII VII berlangsung di Convention Hall Novotel Bangka, Bangka Belitung 26-29 Februari 2020, sekalipun tak seheroik KUI pertama dan kedua.
Jadi, penamaan Kongres Mujahidin memiliki sanad historis. Tak ada yang mempersoalkan, kongres atau muktamar, sama saja. Dari penjelasan panjang lebar itu, forum akhirnya menyepakati istilah Kongres Mujahidin. Namun untusan JI tak bergeming, dan konsisten tidak terlibat dalam kepanitiaan kongres. Padahal rencana musyawarah internasional Rabithatul Mujahidin, yang menjadi salah satu alasan keberatan mereka belum pernah terlaksana.
Indonesia Bersyariah Menyempurnakan Kemerdekaan RI
Perhelatan Kongres Mujahidin I yang berlangsung di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama Yogyakarta dengan tajuk; “Kongres Mujahidin Indonesia I untuk Penegakan Syariat Islam”, pada hari Sabtu-Senin, 5-7 Agustus 2000, bertepatan dengan 5-7 Jumadil Ula 1441 H, berlangsung aman. Dihadiri lebih dari 1.800 peserta dari 24 Propinsi di seluruh Indonesia, bahkan hadir pula beberapa perwakilan dari negara sahabat, seperti Moro, Malaysia, dan Arab Saudi.
Ada sebuah momen penting dari keseluruhan pelaksanaan Kongres Mujahidin pertama ini, yaitu acara pembukaan dan tabligh akbar. Sejumlah umat Islam dari pelosok Yogyakarta dan sekitarnya, yang tidak tercatat sebagai peserta kongres, berbondong-bondong membanjiri Stadion Kridosono, tempat pembukaan dan tabligh akbar diadakan. Kehadiran mereka menjadi amat mengharukan ketika mereka menyambut dengan antusias setiap orasi yang disampaikan oleh para narasumber. Pekik “Allahu Akbar” berkumandang setiap saat dari setiap penjuru.
Kemeriahan kongres, ternyata mengimbas rasa khawatir sebagian kalangan. Sejumlah sekolah Kristen dan Katolik di Yogyakarta, meliburkan sekolah karena takut, gara-gara sehari sebelumnya beredar selebaran gelap, bahwa kelompok jihad akan menyerang kaum Kristiani. Sejumlah gereja dan sekolah Kristen akan dibakar, disusul dengan pembumihangusan sejumlah kawasan yang jadi sarang maksiat.
Alhamdulillah, semua itu hanya isu. Kongres berjalan lancar, sukses, dan aman-aman saja. Para peserta kongres menyadari bahwa penerapan Syariat Islam bukan pekerjaan main-main. Meskipun penduduk Indonesia mayoritas mengaku muslim, penerapan syariat Islam masih dianggap sebagai sebuah hantu menakutkan. Penegakan syariat biasa dikesankan sebagai potong tangan, cambuk, rajam dan berbagai kesan seram lainnya. Berkaitan dengan pencitraan demikian, Majelis Mujahidin sebagai institusi yang mengusungnya kerap dituding sebagai ormas radikal dan intoleran.
Oleh karena itu, “dalam semua langkah diperlukan pendekatan dan sikap untuk menimbulkan kepercayaan orang lain,” nasehat anggota AHWA Majelis Mujahidin, Profesor Dr. Deliar Noer.
Kongres Mujahidin adalah sebuah even lintas institusi, lintas haraki, menerobos berbagai sekat formal kelembagaan, dan tidak terusik oleh ‘beban politik’ masa lalu. Dari susunan kepanitiaan kongres dan keragaman pesertanya, sudah bisa dimengerti, bahwa Kongres Mujahidin bukanlah hajat kelompok Islam tertentu. Namun sebuah upaya untuk membangun tansiq (aliansi) di antara istitusi Islam yang sudah ada. Selanjutnya, secara bersama-sama menjalankan agenda bersama, yaitu penegakan Syariat Islam di lembaga negara.
Majelis Mujahidin memiliki visi, misi dan metode perjuangan yang jelas. Kongres Mujahidin I di Yogyakarta adalah tonggak awal Majelis Mujahidin. Institusi ini mengusung visi untuk formalisasi syari’ah Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia, sebagaimana yang selalu dituliskan sebagai slogannya. Adapun misi dari Majelis Mujahidin adalah berjuang menyatukan potensi dan kekuatan mujahidin agar syari’ah Islam menjadi sumber rujukan tunggal bagi sistem dan kebijakan kenegaraan di Indonesia.
Majelis Mujahidin berusaha mewujudkan cita-citanya melalui manhaj da’wah dan jihad. Da’wah didefinisikan sebagai sosialisasi kewajiban setiap muslim untuk menerapkan syari’ah Islam. Dan Jihad dipahami sebagai bentuk usaha serius untuk menerapkan Syari’ah Islam.
Kepemimpinan dan keanggotaan teratur secara rapi, karena pada Konggres I di Jogjakarta, diputuskan bahwa Majelis Mujahidin merupakan organisasi aliansi gerakan (tansiq amal) yang bersifat universal, tidak dibatasi suku, bangsa maupun negara. Tansiq ini bisa diikuti oleh organisasi maupun personal. Untuk menjadi anggota Majelis Mujahidin, syaratnya adalah muslim, yang berkomitmen untuk memperjuangkan tegaknya Syari’at Islam dan mengamalkannya.
Kepemimpinan di Majelis Mujahidin sudah mengadopsi pola “Separation of Powers”. Artinya, kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif terpisah, sejajar dan setara. Ini merupakan struktur keorganisasian modern. Pola kepemimpinan ini mereka sebut dengan kepemimpinan kolektif, di mana tidak ada person yang benar-benar memiliki otoritas mutlak.
Di dalam institusi Majelis Mujahidin, pola ini diwujudkan dengan membagi struktur kepengurusan kepada dua komponen, yaitu Ahlul Halli wal Aqdi yang disingkat AHWA dan Lajnah Tanfidziyah. AHWA berfungsi sebagai lembaga legislatif. Ia memiliki beberapa tugas, antara lain; menetapkan kodifikasi hukum Islam, memfatwakan pelaksanaan syariat Islam, memilih badan pelaksana (Lajnah Tanfidzi), mengawasi, mengontrol dan meminta pertanggungjawaban Lajnah Tanfidzi. Sedangkan Lajnah Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif Majelis Mujahidin yang bertugas untuk menjalankan segala keputusan musyawarah AHWA, mengajukan saran dan usulan kepada AHWA dan bertanggungjawab kepada AHWA.
Kongres Mujahidin pertama, akhirnya sukses melahirkan instistusi penegakan Syariat Islam bernama Majelis Mujahidin. Kongres Mujahidin juga menelurkan “Piagam Yogyakarta” yang isinya: “kewajiban menegakkan Syariat Islam, menolak segala ideologi yang bertentangan dengan Islam, membangun jamaah yang kuat, membentuk Majelis Mujahidin menuju terwujudnya Khilafah Islamiyah bagi seluruh dunia Islam, dan menyerukan kepada kaum muslimin untuk menggerakkan dakwah dan jihad”.
Selain deklarasi Piagam Yogyakarta, Kongres Mujahidin juga menyepakati terbentuknya Majelis Pimpinan yang disebut Ahlul Halli wal Aqdhi (AHWA). Sebagai Ketua AHWA, sekaligus Amir Majelis Mujahidin sementara, terpilih Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Wakil AHWA Ustadz Drs. Muhammad Thalib.
Anggota AHWA terpilih terdiri dari ulama, akademisi, tokoh masyarakat yang bersedia dan hadir di arena kongres, yaitu: 1. Profesor Ahmad Mansyur Suryanegara, 2. Prof. Dr. Deliar Noer, MA, 3. KH. Mawardi Noer, SH, 4. Ohan Sujana, SH, 5. KH. Abdullah Rasyid Syafii, 6. KH., Asep Mausul Affandi, 7. KH. Kamaluddin Iskandar, 8. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, 9. KH. Alawy Muhammad, 10. Drs. Muhammad Thalib, 11. Ustadz Abdul Qadir Baraja, 12. Drs. Baharudin Anwar, 13. KH. Salman Farid, 14. Tengku H. Daud Zamzami, 15. Tengku H. Ibrahim, 16. KH. M. Bardan Kindarto, 17. Prof. Dr. Abdurrahman A. Basalamah, 18. Dr. Fuad Amsyari, 19. Ustadz Zamzam, 20. KH. Drs. Farid Ma’ruf, 21. Ustadz Abu Jibril Abdurrahman, 22. Ir. RHA. Syahirul Alim, M.Sc. 23. Ustadz Wahyuddin, 24. Dr. Mukhtar Naim. 25. KH. Najih Ahjad, 26. Ajengan Jenjen, 27. KH. Ii’ Abdul Haq, 28. H. Irfianda Abidin, MBA, 29. Drs. Nasruddin Salim, SH. MH, 30. Joko Trisno, SH, 31. Dr. dr. Harun Al Rasyid. 32. Drs. Suhaemi.
Di Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penting membangun budaya taat syariah. Membangkitkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat pada umumnya terhadap syariah itu sendiri. Menumbuhkan kepercayaan dan penghormatan, tentu saja tidak bisa dilakukan dengan mengancam, atau menaku-nakuti. Pendekatan harus bijaksana, disertai kasih sayang pada sesama makhluk, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Penting disadari, bahwa negeri kita hari ini sedang dalam keadaan terpuruk, praktis dalam segala bidang. Penataan kembali kehidupan bernegara sangat diperlukan. Keamanan, ketertiban, kedamaian, persatuan, persaudaraan, kebenaran, dan keadilan; khususnya keadilan sosial, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Semua ini seakan harus dimulai baru.
Ironis, apabila setiap gerakan yang bertujuan untuk menerapkan syari’ah Islam oleh pemerintah dipandang sebagai gerakan yang ekstrem dan radikal. Bahkan dikesankan sebagai gerakan teroris dan intoleran.
Penegakan Syariat Islam di lembaga negara hendaknya menjadi yang pertama dan utama di dalam seluruh aktivitas perjuangan kaum muslimin. Betapa tercela bagi suatu bangsa yang telah merdeka dari penjajahan bangsa asing, tapi mengelola sistem pemerintahan negaranya menggunakan sistem hukum warisan sang penjajah. Masa depan bangsa Indonesia tergadai oleh sistem dan pandangan hidup yang bertentangan dengan keyakinan serta kehendak mayoritas rakyatnya sendiri.
Indonesia bersyariah, sejatinya adalah upaya penyempurnaan nikmat kemerdekaan yang telah diraih atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, agar tercapai cita-cita kemerdekan menjadi negeri yang makmur, sejahtera rakyatnya, dan diampuni Allah Swt. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Inilah janji Allah dalam Al-Qurán :
“Sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan taat kepada Allah, niscaya Kami akan bukakan pintu-pintu berkah kepada mereka dari langit dan dari bumi….” (QS Al-A’raf (7) : 96).
Bukan hanya satu berkah saja, bahkan berkah yang banyak dari langit dan bumi yang akan diraih oleh umat manusia jika mereka memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Syari’at Islam.
Yogyakarta, 20/10/2022
SC KONGRES MUJAHIDIN VI
(*/arrahmah.id)