Fadela Amara, Menteri Perancis yang membidangi urusan kaum urban mengatakan bahwa burqa-pakaian longgar panjang biasanya berwarna hitam, menutup seluruh tubuh dan sering dipakai kaum perempuan Muslim-adalah penjara.
Padahal Amara adalah seorang Muslimah yang lahir dan besar di Prancis dari keluarga asal Aljazair. Dalam wawancara dengan harian Le Parisien, Amara mengatakan, “Burqa bukan lambang keagamaan tapi lambang dari proyek politik kalangan totalitarian yang menolak kesetaraan gender dan secara total menolak demokrasi.”
Amara mengungkapkan hal tersebut, setelah pengadilan administratif Perancis menolak permohonan kewarganegaraan seorang Muslimah asal Maroko yang mengenakan burqa, pada 27 Juni lalu. Pengadilan beralasan, pakaian yang dikenakan Muslimah Maroko itu tidak sesuai dengan hukum Perancis yang sekular dan mengakui kesetaraan gender.
Faiza M, nama Muslimah asal Maroko berusia 32 tahun itu, sudah tinggal di Perancis sejak tahun 2000 dan sudah memiliki tiga anak. Menurut harian Le Parisien, Faiza mengaku ia hidup dalam lingkungan keluarga di mana perempuan harus mengabdi secara total pada kaum laki-laki.
Kelompok sayap kiri dan kanan di Perancis mendukung keputusan pengadilan Perancis menolak permohonan kewarganegaraan Faiza.
Amara mengatakan, keputusan pengadilan itu mengisyaratkan bahwa Perancis “meminta orang-orang yang fanatik agar tidak menyuruh isterinya mengenakan burqa.” Hal serupa, kata Amara, juga berlaku untuk jilbab yang menganggap burqa dan jilbab sebagai simbol penindasan terhadap kaum perempuan.