KABUL (Arrahmah.id) – Menteri pendidikan tinggi di pemerintahan Imarah Islam Afghanistan (IIA) pada Kamis (22/12/2022) membela keputusannya untuk melarang perempuan dari universitas – sebuah keputusan yang telah memicu reaksi global.
Membahas masalah ini untuk pertama kalinya di depan umum, Nida Mohammad Nadim mengatakan larangan yang dikeluarkan awal pekan ini diperlukan untuk mencegah pencampuran gender di universitas dan karena dia yakin beberapa mata pelajaran yang diajarkan melanggar prinsip-prinsip Islam. Dia mengatakan larangan itu berlaku sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi Afghanistan, Nadim menolak kecaman internasional yang meluas, termasuk dari negara-negara mayoritas Muslim. Dia mengatakan bahwa orang asing harus berhenti mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan.
Sebelumnya pada Kamis (22/12), menteri luar negeri dari kelompok negara G7 mendesak IIA untuk mencabut larangan tersebut, memperingatkan bahwa “penganiayaan gender merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.” Para menteri memperingatkan setelah pertemuan virtual bahwa “kebijakan IIA yang dirancang untuk menghapus perempuan dari kehidupan publik akan berdampak pada bagaimana negara kita terlibat dengan IIA. Kelompok G7 meliputi Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Nadim mengatakan universitas akan ditutup bagi wanita untuk saat ini, tetapi larangan tersebut dapat ditinjau kembali di lain waktu.
Setelah sebelumnya menjadi gubernur provinsi, kepala polisi dan komandan militer, Nadim diangkat menjadi menteri pada bulan Oktober oleh pemimpin tertinggi IIA dan berjanji untuk menghapus sekolah sekuler. Nadim menentang pendidikan perempuan, mengatakan itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan Afghanistan.
Di Afghanistan sendiri, ada beberapa penentangan terhadap larangan universitas, termasuk pernyataan kecaman dari beberapa pemain kriket Afghanistan. Kriket adalah olahraga yang sangat populer di Afghanistan, dan para pemainnya memiliki ratusan ribu pengikut di media sosial.
IIA secara luas menerapkan interpretasi mereka terhadap hukum Islam, sejak mereka merebut kekuasaan pada Agustus 2021. IIA melarang anak perempuan dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, melarang perempuan dari sebagian besar bidang pekerjaan dan memerintahkan mereka untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat dari kepala hingga ujung kaki di depan umum. Wanita juga dilarang dari taman dan pusat kebugaran. Pada saat yang sama, masyarakat Afghanistan, meski sebagian besar tradisional, semakin memahami pentingnya pendidikan anak perempuan selama dua dekade terakhir.
Larangan itu telah ditanggapi dengan kecaman global yang meluas.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan pada Kamis (22/12) bahwa larangan itu “tidak Islami atau manusiawi.”
Berbicara pada konferensi pers bersama dengan sekutunya dari Yaman, Cavusoglu meminta IIA untuk membatalkan keputusan mereka.
“Apa salahnya pendidikan perempuan? Apa ruginya bagi Afghanistan?” kata Cavusoglu. “Apakah ada penjelasan Islami? Sebaliknya, agama kita, Islam, tidak menentang pendidikan, sebaliknya justru mendorong pendidikan dan ilmu pengetahuan.”
Kementerian luar negeri Saudi menyatakan “keheranan dan penyesalan” pada wanita Afghanistan yang ditolak pendidikan universitasnya. Dalam sebuah pernyataan Rabu malam (21/12), kementerian tersebut mengatakan keputusan itu “mengherankan di semua negara Islam.”
Sebelumnya, Qatar yang telah terlibat dengan otoritas IIA juga mengecam keputusan tersebut.
Di ibu kota Kabul, sejumlah wanita berbaris di jalan-jalan pada Kamis (22/12), meneriakkan dalam bahasa Dari untuk kebebasan dan kesetaraan. “Semua atau tidak sama sekali. Jangan takut. Kita bersama,” teriak mereka.
Dalam video yang diperoleh The Associated Press, seorang wanita mengatakan pasukan keamanan IIA menggunakan kekerasan untuk membubarkan kelompok tersebut.
“Gadis-gadis itu dipukuli dan dicambuk,” katanya. “Mereka juga membawa wanita militer, mencambuk gadis-gadis itu. Kami melarikan diri, beberapa gadis ditangkap. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Beberapa pemain kriket Afghanistan menyerukan agar larangan itu dicabut.
Pemain Rahmanullah Garbaz mengatakan dalam sebuah tweet bahwa setiap hari pendidikan yang terbuang adalah satu hari yang terbuang di masa depan negara.
Pemain kriket lainnya, Rashid Khan, menge-tweet bahwa wanita adalah fondasi masyarakat. “Masyarakat yang meninggalkan anak-anaknya di tangan perempuan yang bodoh dan buta huruf tidak dapat mengharapkan anggotanya untuk mengabdi dan bekerja keras,” tulisnya.
Dukungan lain untuk mahasiswi datang dari Universitas Kedokteran Nangarhar. Media lokal melaporkan bahwa para mahasiswa mogok ujian sebagai bentuk solidaritas sampai akses universitas perempuan dipulihkan. (zarahamala/arrahmah.id)