Oleh: Nirwan Syafrin, MA *)
Memasuki awal abad duapuluh, para pemikir, filosof, dan teolog Kristen di Barat mulai terlibat secara intens mendiskusikan sekularisasi dan sekularisme dan impak yang ditimbulkanya terhadap agama Kriten. Para cerdik pandai tersebut mulai merangka konsep dan ide yang dapat membolehkan mereka untuk menyerap dan menerima sekularisasi sebagai bagian ajaran Kristen. Hal ini terpaksa mereka lakukan untuk dapat menjadikan Kristen tetap relevan dengan perkembangan zaman, tidak tergilas dengan waktu. Sejak saat itu mulailah bermunculan beberapa pandangan ‘aneh’ seperti yang diusung oleh Rudolf Baltmann dengan ide “demitologisasi” Perjanjian Baru.
Melalui karyanya Systematic Tehology, Paul Tillich, seorang teolog Amerika, juga mengkempanyekan hal yang sama, yang kemudian mendapat afirmasi dari tokoh lain seperti Friedrich Gogarten. Sejak saat itu, perkataan “teologi secular” atau “Kristen Sekular” pun mulai bergulir.
Proses sekularisasi Kristen ini sepertinya mengalami titik kulminasinya ditangan Harvey Cox. Lewat karya intelektual yang diterbitkannya pada tahun 1965, yang penjualannya sampai saat ini mencecah hampir juta eksamplar, dan telah menimbulkan perdebatan sengit dikalangan para teolog dan pemikir Kristen, bahkan Paus Paul VI-pun terpaksa menyempatkan diri untuk membacanya, Cox telah mencoba melakukan sebuah “revolusi” pemikiran teologi Kristen secara besar-besaran dengan memberikan justifikasi teologis dan filosofis atas keabsahan sekularisasi. Dengan mengutip pandangan Gogarten, Cox menyatakan bahwa sekulrisasi memiliki akar teologisnya pada Kitab Suci Bibel sendiri: “Secularization… is the legitimate consequence of the impact oif biblical faith in history.” Dihalaman yang sama ini juga menuliskan,”secularization represents an authentic consequence of biblical faith.” (The Secular City, 1990, 15). Oleh karena sebab demikian, Cox lantas menyeru kaum Kristen untuk tidak melakukan perlawanan terhadap sekularisasi, tapi sebaliknya memberikan dukungan penuh menyuburkannya.
Belakangan ini ada upaya-upaya sistematik dilakukan beberapa pemikir dan cerdik cendikia Muslim untuk mengKristenkan Islam, dengan cara mentransformasikan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dunia Kristen dan peradaban Barat kepada Islam dan juga ummatnya. Maka tidak heran bila saat ini kita melihat banyaknya istilah-istilah “aneh” yang secara mencolok terkesan sangat dipaksakan terhadap Islam. Sebut saja misalnya istilah Protestant Islam, Liberal Islam, Liberation Theology (Teologi Pembebasan), Fundamentalist Islam, dan terbaru istilah Islamic Facist yang direka oleh George Bush, yang pada keseluruhannya mengacu pada pengalaman Kristen yang terjadi di Barat.
Masih dalam kerangka yang sama, beberapa tahun terakhir ini sebagian pemikir Muslimpun, seut saja misalnya Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Fuad Zakariyya, Hasan Hanfi, Abdullah Ahmad Na’im, dan lain-lain, secara intens mengkempanyekan “Islam sekuler.”
Seperti ingin mengikuti jejak yang pernah di rembah oleh Cox dalam Kristen, pada pemikir inipun sepertinya sedang berusaha gigih “mengotak-atik” ajaran Islam mencari-cari justifikasi teologis dan filosofis yang dapat membenarkan ide aneh ini.
Maka tampillah orang seperti Fuad Zakariyya yang menilai sekularisme sebagai keniscayaan peradaban (darurah hadariyyah) (Qadaya Fikriyyah, 1989) yang akar intelektualnya dapat ditelusuri pada peradaban Islam seperti terlihat pada al-Farabi, Ibn Ruyd dan lainnya (Al-Sahwah al-Islamiyyah fi Mizan al-qAql, 1995, hal. 73) Sesuai dengan keyakinannya tadi, diapun akhirnya menentang keras segala usaha penerapan Syaria’h Islam dan pendirian negara yang berdasarkan prinsip Syariah. Sebaliknya, dia mengecam gerakan Islam (al-harakah al-Islamiyyah) yang mengusung ide ini menuduh mereka telah mempergunakan Agama untuk kepentingan politik. Menurutnya negara sekuler sepenuhnya sejalan dengan praktek kenegaraan yang dilakukan nabi dalam sejarah dan tidak bertentang prinisp dasar Al-Quran. (al-Urubah wa al-Dawlah al-‘Almaniyyah, Al-Mustaqbal al-‘Arabi, 1979, no. 5)
Seperti Zakariyya, Nasr Hamidpun ‘mati-matian’ membela sekularisasi ini. Dalam bukunya Naqd al-Khitab al-Dini (1995) dia menolak bila sekularisme diletakkan secara berseberangan dengan Agama, karena menurutnya sekularisme bukan melawan agama tapi tafsir literal para agamawan gereja. Pernyataan ini mengingatkan kita pada kalimat yang pernah diutarakan Harvey Cox bahwa “Secularization have no interet in persecuting religion. Secularization simply bypases and undercuts religion and goes on to other things. (sekularisasi tidak punya kepentingan serius untuk menghakimi Agama. Ia sekadar melangkahi dan memintas agama.) ” (The Secular City, 2)
Nasr Hamid selanjutnya menerangkan bahwa sekulrasasi itu hanya berupa “penentangan atas hak” “pemilikan kebenaran mutlak” mempertahankan “relatifitas”,”historisitas”, “pluralitas” dan “hak berbeda” bahkan “hak untuk salah.”
Kalau begitu, kata Nasr menyimpulkan, sekularisme tidak bertentangan dengan “Aqidah Islam. Ia sebaliknya menegaskan bahwa “Islam adalah agama sekuler par-execelence, karena ia tidak mengakui adanya kerahiban (bal inna al-Islam huwa al-din ‘lmani’ bimtiyazin liannahu la ya’tarif bi sultah al-kahnut) pandangan yang hampir sama ditekankan oleh pemikir liberal lain seperti Hasan Hanafi (al-Din wa al-Thawrah fi Misr, vol.8, 105) dan Mohammed Arkoun (al-‘Almanah wa al-Din 1990, hal, 10; dan Tarikhiyyah al-Fikr al-‘ Arabi al-Islami, 1996, khususnya hal. 277-287).
*). Penulis sedang menyelesaikan disertasi doktornya di ISTAC Malaysia.