Pada 25 November 2006, bertempat di Aula Balai Diklat Depsos, Jogjakarta, FakultasSyariah UIN Sunan Kalijaga mengadakan seminar bertema “Politik Hukum Islam di Indonesia.” Hadir sebagai narasumber, mantan Menhan era Gus Dur, Prof. Dr. Mahfud MD, Dr. A. Yani Anshari, dan Amir Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Inilah petikan dialog yang berkembang dalam seminar tersebut.
Orasi I, Mahfud MD
Konspirasi Soekarno-Hatta : Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi. Pada sore harinya sekitar pukul 05.00 sore ada tamu yang mengaku mewakili masyarakat Indonesia bagian timur dengan menyatakan: “Pak Hatta, saya dengar besok PPKI akan mengadakan rapat, saya adalah wakil dari Indonesia Timur, apabila tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu ditetapkan maka kami masyarakat Indonesia Timur tidak akan ikut Indonesia, dan lebih baik kami dijajah kembali,” tutur Hatta. Selanjutnya Hatta menceritakan bahwa wakil orang timur itu di antar oleh Maeda (pemimpin tertinggi militer Jepang).
Pertanyaan yang muncul adalah, siapakah yang dimaksud orang timur itu? Siapakah yang memberikan mandat kepada orang itu untuk mewakili masyarakat Indonesia Timur untuk bertemu Hatta. Dan manakah yang dimaksud dengan timur, apakah Jakarta Timur, Jawa Timur ataukah Indonesia bagian timur? Karena apabila yang dimaksud orang timur adalah Indonesia Timur, maka hal itu tidak masuk akal. Sebab, untuk sampai ke Jawa Timur saja orang membutuhkan waktu dua hari, apalagi Indonesia Timur.
Penegasan Hatta yang menyatakan bahwa wakil masyarakat Indonesia Timur itu diantar oleh Maeda ia tuangkan dalam bukunya sendiri. Padahal, merujuk pada Koran Tempo yang terbit bulan Agustus 1995, ternyata Maeda yang masih hidup memberikan kesaksiannya kepada Seichi Okawa (wartawan Tempo yang mewawancarainya di Tokyo): “Benarkah anda telah mengantarkan orang timur kepada Hatta untuk meminta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan?” Maeda pun menjawab,”Hatta adalah kawan saya, tetapi saya tidak pernah mengantar orang untuk mencoret tujuh kata Piagam Jakarta kepadanya.”
Berdasarkan disertasi yang ditulis oleh Polen tahun 1971, menyatakan bahwa “Pencoretan tujuh kata tersebut adalah konspirasi antara Soekarno, Hatta.” Sedangkan orang timur yang dimaksud tidak ada sama sekali. Menurut disertasi itu juga, bahwa hal itu dilakukan karena jauh sebelum Indonesia merdeka, Jepang telah berpesan bahwa kalian boleh merdeka akan tetapi jangan Negara Islam.
Perlu ditegaskan, sejarah adalah sejarah, hukum adalah hukum. Apapun latar belakang sejarah yang menyebabkan lahirnya dasar negara (Pancasila) seperti saat ini, itulah yang sah. Oleh sebab itu, dasar negara yang ada, terlepas dari pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, itulah yang berlaku sebagai dasar negara dan mengikat.
Substansi Syari’at
Ketika Piagam Jakarta diperjuangkan kembali dalam sidang konstituante tahun 1955-1956, telah melahirkan dua kelompok yang memperjuangkan Islam. Hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden yang merupakan kelanjutan sejarah dengan tetap memberlakukan Pancasila sebagai dasar negara. Seandainya Piagam Jakarta tidak dicoret dan seandainya Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa yang berlaku adalah Piagam Jakarta, maka umat Islam Indonesia akan dengan sangat mudah memberlakukan hukum Islam sebagai aturan-aturan resmi. Tetapi, pencoretan yang dilakukan itu telah menghilangkan Piagam Jakarta, dengan demikian maka Indonesia bukanlah negara agama yakni negara yang hanya terikat oleh satu agama. Namun, Indonesia juga bukan pula negara sekuler yakni Negara yang tidak mengenal agama. Akan tetapi Indonesia adalah negara yang dalam membentuk suatu hukum harus terikat pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah yang dimaksud adalah ketika membentuk suatu hukum maka hukum itu tidak boleh mengancam integrasi bangsa, baik ideologi maupun teritori. Kemudian hukum yang dibuat harus demokratis dan nomokratis. Demokratis berarti merupakan hasil suara terbanyak, dan nomokratis berarti berdasar pada prosedur yang benar dan berdasarkan filsafat hukum yang diikuti.
Adapun yang terjadi sekarang, dalam kerangka menegakkan hukum Islam, masyarakat terbagi menjadi tiga golongan, hal ini berdasarkan disertasi yang ditulis oleh Haedar Nashir. Tiga kelompok itu adalah, pertama, yang menginginkan berdirinya negara Islam Indonesia dengan mengubah dasar negara, kelompok ini diwakili oleh Hizbut Tahrir. Kedua, yang ingin memberlakukan hukum Islam dalam produk hukum nasional tetapi tidak ingin mengubah nama republik menjadi Negara Islam adalah Majelis Mujahidin Indonesia. Dan ketiga, yang ingin memberlakukan hukum Islam tetapi bukan pada tingkat nasional karena dirasa terlalu berat melainkan hanya melalui perda-perda dengan peluang otonomi daerah, kelompok ini diwakili oleh KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam) Sulawesi Selatan.
Kesimpulannya, apabila dilihat dari sudut tata hukum, selama Indonesia masih seperti sekarang maka hukum Islam akan sulit diterima, dan akan menimbulkan sensitifitas. Meskipun produk hukumnya bagus namun ketika mengatasnamakan Islam, maka orang yang tadinya mendukung akan berbelok menjdi anti. Sebagi contoh adalah RUU APP, pada awalnya tidak ada yang menolak, akan tetapi ketika itu dikatakan sebagai hasil perjuangan umat Islam dan didengungkan dengan bendera-bendera Islam maka akhirnya ditentang dan diambangkan.
Oleh karenanya, mengapa kita tidak berbicara substansi saja? Dalam UU No. 10 tahun 2004 dan TAP MPRS tahun 1966, memang dikatakan bahwa hukum Islam menjadi sumber hukum nasional, tapi bukan berarti sumber hukum harus menjadi hukum. Sumber hukum ada dua macam, ada sumber hukum formal dan sumber hukum material. Hukum material adalah bahan hukum yang dapat dijadikan hukum, sedangkan hukum formal adalah bentuk hukum seperti UUD, UU, Perpu, Kepres. Hukum Islam dikatakan sebagai sumber hukum formal dalam arti sumber hukum material yang bergabung dengan sumber-sumber hukum lain di dalamnya.
Uraian ini ingin saya tutup dengan satu kisah, pada tahun 1999 ketika rancangan otonomi daerah hampir disahkan oleh DPR dengan menetapkan bahwa semua urusan diatur oleh daerah kecuali empat hal yaitu hubungan luar negeri, moneter dan fiskal nasional, pertahanan keamanan dan peradilan. Sebelum disahkan, MUI dan Menteri Agama datang ke DPR untuk meminta agar keempat hal tersebut ditambahkan satu lagi menjadi lima yaitu urusan agama. Alasannya, apabila urusan agama menjadi urusan otonomi daerah maka akan muncul di setiap daerah perda-perda yang disesuaikan dengan penganut agama terbanyak di daerah masing-masing yang pada akhirnya akan dapat berakibat disintegrasi bangsa dan ketidak seimbangan antar daerah dalam memperjuangkan hukum agama masing-masing.
Orasi II, Ust Abu Bakar Ba’ayir
Hakikat Islam : Apabila mengikuti perkembangan politik Islam di Indonesia, maka akan sangat mengecewakan sekali, karena sampai hari ini hukum Islam di Indonesia belum nampak berperan sebagai penentu kebijakan. Hal itu terjadi karena kaum Muslim tidak berani menampakkan identitasnya. Seorang Muslim harus berani menampakkan diri, karena Islam adalah agama yang benar, hal itu telah dijelaskan Allah Swt dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama yang hak “Dialah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa agama yang hak”.
Dalam memahami dien pun jangan hanya dipahami sebagai agama. Sebab, agama gambarannya hanya sekumpulan ritual, sedangkan dien salah satu maknanya adalah undang-undang untuk mengatur hidup, baik yang hak maupun yang bathil. Jadi, selama undang-undang yang dibuat bertujuan mengatur hidup, maka hal itu juga dapat disebut dien. Oleh karenanya, Islam juga disebut dien, bahkan dinyatakan oleh Allah sebagai satu-satunya dien yang diridhai.
Jika kita kembali kepada definisi di atas, maka KUHP juga termasuk dien. Demikian juga demokrasi yang bertujuan mengatur hidup manusia, dapat disebut sebagai dien walaupun hanya mengatur beberapa aspek. Dari kenyataan itu, maka dien dapat dibagi menjadi dua, yaitu dienul hak dan dienul bathil. Dienul hak adalah dien yang diturunkan oleh Allah Swt yaitu Islam. Sedangkan dienul bathil adalah dien yang diciptakan oleh manusia. Bathil disini dapat diindikasikan dengan, kemungkinan 100% salah semua atau kemungkinan bercampur antara yang hak dengan yang bathil.
Tujuan Syari’at
Oleh karena itu, dalam menilai dien, umat Islam harus mempunyai patokan, dan yang dijadikan patokan adalah Islam. Apabila sesuai dengan Islam maka hal itu sah, sedangkan jika tidak sesuai maka hal itu bathil. Jika belum diatur dalam Islam, maka undang-undangnya boleh diciptakan. Misalnya, undang-undang lampu merah yang memiliki tujuan kemaslahatan maka hal itu sah-sah saja. Tetapi jika telah diatur, maka hal itu harus dipakai. Karena seorang Muslim wajib beriman bahwa dienul Islam bernilai benar dan mutlak karena penciptanya mempunyai ilmu yang tidak terbatas dan Dia mengetahui segala sesuatu. Sedangkan manusia hanya dibekali ilmu yang sedikit dan yang diketahui lebih sedikit daripada yang tidak diketahui. Maka ketika manusia membuat konsep, pasti tidak luput dari kekurangan. Oleh karenanya, semua konsep yang dibuat oleh manusia harus diteropong oleh konsep Allah yang nilainya mutlak.
Kedua, dienul Islam sesuai dengan perkembangan zaman, sesuai juga untuk mengatur bangsa apa saja dan dimana saja. Tidak ada hukum Islam yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman, karena jika hal itu terjadi maka itu berarti bahwa Allah memiliki kekurangan. Oleh karena Islam adalah agama yang sempurna maka dalam Islam juga terdapat ketetapan bahwa sikap seorang Muslim terhadap Islam adalah sami’na wa atho’na. Orang bertanya, lalu di manakah fungsi akal? Sesungguhnya akal dalam Islam dipergunakan untuk memahami tujuan adanya perintah atau larangan, kemudian memikirkan manfaat dan mudharatnya. Sehingga semakin tinggi ilmu pengetahuan, maka semakin banyak yang mampu untuk dipahami. Inilah sikap yang harus dimiliki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dienul Islam dengan segala hukum yang telah ditetapkan di dalamnya adalah aturan yang paling modern. Sebagai contoh adalah hukum Islam tentang potong tangan yang banyak ditakuti orang, dibandingkan dengan hukum penjara yang dianggap modern namun pada kenyataannya kuno.
Hukum Modern
Sesungguhnya yang disebut hukum modern adalah apabila pelaksanaannya cepat, biayanya murah dan hasilnya memuaskan. Apabila seorang pencuri telah terbukti kesalahannya maka ia langsung dipotong tangan, diobati kemudian disuruh pulang. Sedangkan dalam hukum penjara, apabila sang pencuri karena kesalahannya divonis hukuman 20 tahun penjara maka itu berarti proses pembalasannya baru selesai setelah 20 tahun, dan selama itu pula si pencuri dibiayai makannya, serta efek hukuman penjara telah terbukti tidak menjerakan.
Bagaimanakah pelaksanaan hukum Islam? Dalam hal ini Rasulullah telah menggariskan bahwa beliau diutus untuk dua hal. Pertama, sebagai guru besar Islam yakni mengajar al Kitab dan Hikmah. Oleh karena itu, kewajiban Muslim dalam Islam adalah berguru kepada Nabi. Kedua, sesungguhnya Nabi diutus sebagai uswatun hasanah yakni sebagai contoh yang baik, termasuk uswatun hasanah adalah mengamalkan Islam dan hal ini tidak hanya terabatas pada jenggot atau celana di atas mata kaki. Apabila dilihat dalam sejarah, sesungguhnya Nabi menjalankan Islam dengan menggunakan kekuasaan, bukan sendiri-sendiri atau golongan-golongan. Di sinilah pentingnya negara Islam, kendati dalam hal kenegaraan tidak harus menggunakan kata Islam tapi yang terpenting di dalamnya dijalankan Syari’at Islam.
Keberadaan negara Islam pada zaman Nabi tidak terbantahkan lagi, hal itu dibuktikan ketika Nabi wafat, para sahabat tidak langsung menguburkan beliau akan tetapi bermufakat untuk mencari penggantinya, bukan sebagai Nabi tetapi sebagai khalifah yang bertugas mengawal pelaksanaan Syari’at Islam.
Pentingnya Syari’ah Islam dikawal oleh kekuasaan negara adalah demi tercapainya tujuan Islam. Adapun tujuan Syari’at Islam ada lima hal. Pertama, hifzud din yakni menjaga Islam itu sendiri, sehingga tidak ada orang yang memahami Islam seenaknya, yang dapat berakibat lahirnya aliran-aliran kacau dalam Islam. Kedua, hifzun nasl yakni Islam bertujuan menjaga keturunan. Jika fungsi ini tidak diatur oleh negara, maka akan berakibat semakin suburnya perzinahan sehingga anak yang lahir tanpa bapak akan semakin banyak. Ketiga, hifzul maal yakni menjaga harta. Fungsi Islam dalam menjaga harta pun mempunyai dua aspek yakni menjaga keamanannya dan menjaga kebersihan atau kehalalannya. Keempat, hifzul akl yakni menjaga akal. Termasuk dalam fungsi ini adalah peranan Islam dalam melarang peredaran minuman keras dan hal-hal yang merusak akal. Dan kelima, adalah hifzun nafs yakni menjaga jiwa. Terutama dalam hal moral, dimana peran pemerintah adalah berkewajiban untuk mengawal pelaksanaan shalat, puasa dan lain-lain dengan memberikan sanksi kepada orang Islam yang melalaikannya. Apa yang diperintahkan oleh Allah harus juga diperintahkan oleh negara dan apa yang dilarang Allah harus juga dilarang oleh negara.
Dialog Audiens
1. Aris Nasuha dari HTI
Ada beberapa pandangan yang mengemuka dalam forum seminar ini. Yakni, pertama, bahwa yang terpenting dalam Islam adalah substansinya. Mengapa ketika membahas poin-poin yang lain terdapat kesan yang tidak berimbang. Kedua, menurut pandangan saya, pernyataan bahwa kalau negara Islam berdiri lantas negara Islam seperti apa atau syari’at Islam yang menganut mazhab apa, itu tidak proporsional? Padahal ketika Indonesia berdiri tidak ada yang bertanya republik seperti apa yang hendak kita pakai.
2. Adi dari Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga
Saya ingin menyoroti peran Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Seperti diketahui bahwa kita tidak bisa terlepas dari Islam politik atau negara itu sendiri, seperti apa yang diungkapkan oleh Pak Ahmad Yani, bahwa Syari’at Islam seperti apakah yang akan diterapkan, padahal banyak sekali pemahaman tentang Islam di tengah masyarakat. Menurut saya pertanyaan seperti itu adalah buah dari pemikiran yang berpandangan jauh ke depan. Karena ketika Indonesia nantinya disebut sebagai negara Islam lengkap dengan predikat kerahmatannya, lantas mengapa yang dipergunakan adalah mazhab satu orang atau sekelompok orang saja sedangkan mazhab yang lainnya diabaikan. Kedua, sebagai orang yang mencita-citakan berdirinya negara Islam, kita tahu hal itu yang sering menjadi pemicu terjadinya konflik, maka itu berarti cita-cita tersebut merupakan upaya untuk melanggengkan terjadinya konflik, apakah itu yang kita inginkan?
3. Dosen UIN Sunan Kalijaga
Pertanyaan ini saya tujukan kepada Ust. Abu Bakar Ba’asyir. Saya sepakat bahwa sebagai umat Islam kita wajib menjalankan Syari’at Islam, akan tetapi saya tidak sepakat dengan Ustadz yang menyatakan bahwa di UIN terdapat orang kafir hanya karena berbeda penafsiran. Karena, menurut saya kita harus menghormati pendapat orang lain, jadi kita tidak bisa menyalahkan persepsi orang lain ketika ia membaca sebuah ayat. Disamping itu, kita bisa melihat bahwa dalam Islam ada empat mazhab, masing-masing memiliki pendapat tersendiri, walaupun perbedaan itu dalam hal ibadah namun tidak menutup kemungkinan bisa berimbas pada hal-hal yang lain seperti pemikiran, politik, muamalah, halaqah dan syaksyiah.
Kemudian saya juga sepakat ketika Ustad menyatakan bahwa hukum Islam adalah hukum yang paling modern dengan indikasi pelaksanaannya cepat, biayanya murah dan hasilnya memuaskan. Akan tetapi saya melihat tentang potong tangan di Arab Saudi terdapat banyak sekali orang-orang yang tidak punya dua tangan dan dua kaki. Ini artinya ketika dipotong salah satu tangannya, seseorang ini tidak langsung jera. Ia pun mencuri lagi, lantas dipotong lagi, begitu selanjutnya hingga tangan dan kaki habis. Ini berarti bahwa hukum potong tangan juga tidak menjerakan.
Selanjutnya tentang poligami, ada yang mengatakan hal itu halal, ada juga yang mengatakan haram, ada lagi yang mengatakan halal tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Dari sini kita tidak bisa mengklaim bahwa pendapat saya yang sesuai dengan syari’at Islam, dari sini saya juga sepakat dengan Pak Yani sesungguhnya syari’ah mana yang hendak dipakai di tengah banyaknya perbedaan pendapat dalam masyarakat.
Jawaban Narasumber
Mahfud MD:
Saya ingin menanggapi secara umum terlebih dahulu. Bahwa perjuangan menegakkan hukum Islam mempunyai sejarah yang panjang. Tetapi, ada tiga fenomena yang menyebabkan orang akan berbalik dari memperjuangkan Negara Islam menjadi penentang Negara Islam. Pertama: belajar ke luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Syafi’i Ma’arif dan Amien Rais. Mereka dahulunya adalah pejuang Negara Islam setelah ia belajar tentang al Qur’an secara komprehensif, maka ia pun mengatakan bahwa Negara Islam tidak pernah ada. Demikian juga dengan Nurcholish Madjid, yang ketika muda ia adalah seorang pengagum ayahnya yang memiliki kesetiaan kepada Masyumi dengan tujuan pokoknya adalah berdirinya Negara Islam. Akan tetapi setelah ia pergi belajar ke Amerika dan sekembalinya dari sana ia mengatakan tidak ada Negara Islam. Demikian juga dengan Gus Dur yang dahulunya adalah ketua Ikhwanul Muslimin cabang Jombang yang sangat kagum dengan perjuangan Negara Islam yang diusung oleh Ikhwanul Muslimin. Setelah ia belajar di Mesir dan bekerja di Jerman selama dua tahun dan sekembalinya ia pun mengatakan tidak ada Negara Islam. Jadi, orang berubah karena bertambahnya ilmu, semakin bertambah ilmu maka ia semakin menerima.
Kedua, orang bisa berubah karena pertarungan demokrasi. Jika telah kalah dalam demokrasi maka ia telah kalah seutuhnya, seperti yang dialami oleh PKS yang sekarang telah berubah dari tujuan awal, demikian juga dengan PPP yang dahulunya sanggup menyatakan bahwa apapun yang terjadi, yang penting Negara Islam. Namun sekarang telah berubah juga. Demikian pula dengan Abdul Qodir Jaelani. Demokrasi pula yang telah menjadikan perolehan suara partai Islam menjadi minim. Harus diingat, ada berapa persenkah pendukung Islam. Dalam pemilu tahun 1999 hanya 19 % selebihnya mereka memiliki pilihan sendiri.
Ketiga, orang bisa berubah apabila menerima jabatan. Sehingga ada orang yang dua minggu sebelumnya menyatakan di koran masih menjadi pendukung Syari’at Islam, tetapi setelah ditawari jabatan ia pun mengatakan bahwa Pancasila telah final tidak ada tempat untuk Negara Islam.
Substansi Islam
Kepada Saudara Aris, mengedepankan substansi karena sesungguhnya kita tidak bisa lepas dari substansi. Bahkan Indonesia sebagai negara, kita tidak mengikuti Amerika, Eropa dan yang lainnya. Yang kita lakukan adalah mempertemukan substansi-substansi hukum yang telah ada termasuk Islam. Persoalannya, kalau Islam berhasil di Indonesia menjadi negara lantas Islam menurut pemahaman siapakah yang akan dipergunakan. Sesungguhnya yang terjadi selama ini adalah karena kita mencampur aduk antara pengertian Syari’ah dengan fiqh, sehingga kita cenderung bingung jika Islam berhasil lantas Islam manakah yang akan dipakai. Kalau jawabannya adalah terserah, maka itu berarti bahwa hukum Islam tidak bisa diperjuangkan karena yang dapat diperjuangkan hanya hal-hal yang bersifat pasti dan jumlahnya hanya satu.
Dahulu Imam Ibnu Hambal dihukum oleh pemerintah Islam karena adanya perbedaan pendapat. Kemungkinan ini juga bisa terjadi pada diri bangsa Indonesia. Sejarah juga telah membuktikan bahwa orang Islam sering membunuh sesama Muslim karena adanya perbedaan. Jika kemudian saudara menyerahkan persoalan Islam ini pada politik maka kita harus sadar yang mendukung Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia, pendukung partai Islam tidak pernah lebih dari 30%. PPP memang pernah mencapai 29%, tetapi bukan murni atas perjuangan mereka akan tetapi karena mereka ikut dalam asas tunggal. Setelah PPP berdiri sendiri sebagai partai Islam maka perolehannya tidak lebih dari 9%. Demikian juga dengan partai Islam lainnya, nilai jualnya dari dahulu hingga sekarang tidak pernah naik.
Adapun tentang pendapat, sesungguhnya setiap orang mempunyai pendapat yang sama-sama benar menurut persepsi masing-masing. Sebagai contoh, dalam pengadilan ketika kita mendengar tuntutan jaksa mungkin kita akan mengatakan bahwa jaksa itu benar dan tuntutannya telah sesuai. Akan tetapi, di lain hari ketika kita mendengar pembela menyampaikan pembelaannya mungkin juga kita akan mengakui kebenaran sang pembela. Demikian juga ketika kita mendengar keputusan hakim mungkin juga kita akan mengatakan bahwa hakim lah yang benar. Itulah yang dinamakan dengan persepsi dimana orang bisa berbeda-beda. Demikian juga ketika kita berbicara tentang agama, orang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda-beda, yang penting kita saling menghormati.
Jawaban Ust Ba’asyir
Dalam Islam sesungguhnya perbedaan pendapat diakui adanya, karena hal itu memang manusiawi. Akan tetapi, ada aturan yang dipakai, mana yang boleh khilaf dan mana yang tidak boleh. Kalau semuanya boleh khilaf, maka yang terjadi adalah kekacauan. Yang tidak boleh khilaf adalah persoalan-persoalan ushul (prinsip), misalnya tentang shalat. Shalat pada prinsipnya adalah lima waktu dan hukumnya adalah wajib karena dalilnya qat’i (jelas). Adapun ketika menemukan perbedaan, maka antisipasinya adalah seperti yang diterangkan al Qur’an, yakni mencari solusinya dengan mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu Qur’an dan Sunnah.
Dalam memahami sunnah pun tidak boleh sembarangan karena ada ilmu khusus yang dipakai. Dengan demikian kita bisa membantah siapa saja yang sekiranya menyimpang dari ajaran Rasul, jika dia keberatan harus berani diajak untuk berdebat. Dari sini kita harus jujur bahwa segala sesuatu dalam Islam mempunyai kaidah-kaidah yang harus dipakai, sehingga tidak ngawur asal beda saja. Shalat hukumnya wajib, jika ada yang mengatakan tidak wajib maka harus dimintai dalil, jika tidak mampu menunjukkan dalil maka ia harus diingatkan, dan jika tetap membangkang maka ia harus diberi sanksi. Tindakan seperti itu bukan berarti tidak menghormati pendapat orang lain, tetapi tindakan kepada orang yang pendapatnya ngawur. Jadi, segala sesuatu tidak bisa diterjang begitu saja.
Adapun yang boleh dijadikan sebagai wilayah ikhtilaf adalah dalam hal furu’ (cabang). Misalnya, dalam shalat ada yang mengangkat tangan ketika takbiratul ihram sebatas telinga atau hanya sampai depan dada maka perbedaan seperti itu sah-sah saja. Adapun perbedaan-perbedaan selanjutnya bisa diselesaikan oleh Imam/Amirul Mukminin, karena itulah manajemen dalam Islam. Apabila jika hal itu adalah permasalahan furu’ maka silakan mengikuti apa yang ditetapkan oleh Imam meskipun bertentangan dengan pendapat kita.
Murtad: Terhadap keberatan Ibu dosen UIN tadi, saya mengatakan bahwa di UIN terdapat dosen yang murtad, itu bukanlah pendapat ngawur, karena telah ada yang membuktikannya lewat tulisan yakni Hartono Ahmad Jaiz. Ada dosen yang membatalkan perkara ushul dan berargumen hanya menggunakan otak semata. Itu tidak boleh terjadi, karena orang Islam mempunyai dalil yang jelas, selama dalilnya jelas maka tidak perlu ditafsirkan macam-macam. Misalnya, tentang hukum potong tangan, kita tidak bisa menafsirkan ayat yang menjelaskan hal tersebut dengan penafsiran lain. Adapun khilafnya adalah, pemotongan tangan dilakukan pada pergelangan atau pada siku atau pangkal lengan.
Tidak jera: Jika benar seperti yang anda katakan, di Arab Saudi hukuman potong tangan ternyata tidak menjerakan. Memang, ada manusia yang bandel, tidak mau kapok, sekalipun dihukum pakai apapun juga tetap saja ingin mencuri atau bermaksiat lagi. Maka hukumannya bertahap, dari potong tangan kemudian kaki, lalu bersilang, tidak kapok juga maka hukumannya disalib. Tetapi tidak bisa dipungkiri, hukuman potong tangan sangat efektif meminimalkan pencurian atau pelanggaran lainnya. Perlu dilakukan penelitian, berapa persen dari hukuman rajam memiliki efek jera atau sebaliknya, bila dibanding dalam kasus yang sama di negeri yang tidak memberlakukan hukum Islam.
Perubahan Sikap: Semakin bertambah ilmu seorang Muslim, mestinya semakin cerdas untuk membela penerapan Syari’at islam di lembaga negara, apalagi bila dia seorang cendekiawan Muslim. Orang demokrasi saja terus menerus mengasah otak agar sistem demokrasi kafir itu diterima dunia. Malah cendekiawan Muslim belajar ke mana-mana, pulangnya nolak syari’at, aneh. Itulah akibatnya, bila memahami Islam hanya dengan pikiran, maka hasilnya akan berubah-ubah dan tidak konsisten. Lebih-lebih bila kaitannya dengan jabatan, popularitas, dan harta dunia. Karena itu, Nabi sendiri telah mengingatkan bahwa ada dua hal yang menerkam iman lebih dari serigala lapar menerkam kambing, yaitu dunia dan kedudukan. Itu pula yang dimaksud oleh Rasul bahwa di akhir zaman nanti, umatku akan terkena oleh penyakit wahn yaitu cinta dunia dan takut mati. Orang yang terkena penyakit ini kemudian menciptakan syari’at sendiri karena surganya adalah dunia. Disinilah kita harus jujur mengakui kebenaran Islam dan jangan sampai hukum Islam diamandemen seperti yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, jika itu yang terjadi, maka pertanyaannya apakah manusia lebih pintar daripada Allah?
Perbedaan Agama: Dalam memandang perbedaan agama, Islam punya patokan sendiri. Dalam memandang hal tersebut, Islam sangat tegas: kami laksanakan apa yang kami yakini dan anda silakan melaksanakan apa yang anda yakini, dan tidak saling mengganggu. Menghadapi perbedaan, Islam punya solusi, yaitu berdebat, jika tidak mau maka kita berjalan sesuai dengan keyakinan masing-masing dan tidak saling mengganggu. Beberapa hari yang lalu saya didatangi oleh tokoh Kristen Katholik yakni Frans Seda, ia mengatakan apakah jika Syari’at Islam dilaksanakan apakah kami akan dipaksa untuk mengikuti. Maka saya jawab, tentu tidak, silakan anda jalankan syari’at agama anda dan kami juga menjalankan syari’at agama kami melalui lembaga negara, karena Syri’at Islam adalah konstitusi atau undang-undang. Dan yang harus dipahami oleh orang-orang Non Muslim bahwa kami menjalankan Syari’at Islam di lembaga negara adalah karena keyakinan bukan politik.
Kemudian untuk penanya ibu-ibu, cobalah anda baca surat 60 ayat 4: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”. Dengan demikian pada persoalan keyakinan terdapat pagar pembatas, jangan paksa kami menghormati kamu dan kami juga tidak akan mengganggu kamu sampai kamu beriman kepada Allah. Ayat ini termasuk ayat keras tetapi mengapa kita diperintahkan untuk meneladani? Karena sesungguhnya kendati keras akan tetapi kita tetap diperintahkan untuk jangan mengganggu, Allah berfirman “Allah tidak melarang kamu untuk berlaku adil kepada orang orang yang tidak mengusir kamu”. Sehingga urusan dunia tetap rukun tetapi urusan keyakinan adalah bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Terakhir saya ingin menanggapi apa yang disampaikan oleh Pak Yani yang mengatakan “Kalau kita melihat teknologi tinggi, seakan-akan kita melihat Allah” Ungkapan itu adalah ungkapan yang berbahaya karena Nabi Musa saja pernah berkeinginan melihat Allah kemudian ia diperintahkan melihat gunung, ketika gunung itu hancur, ia pun pingsan. Sesungguhnya yang benar adalah “Setiap kita melihat perkembangan ilmu pengetahuan yang menakjubkan maka kita berfikir tentu Allah lebih hebat dari semua ini, semakin tinggi ilmu maka kita semakin menyadari kebesaran Allah”.
Selanjutnya yang ingin saya tanggapi adalah ucapan bahwa kita semua punya tuhan yang sama. Memang benar semua mempunyai tuhan, tetapi ketika berbicara tauhid Rububiyah yaitu tauhid kekuasaaan Allah, misalnya hanya Allah yang menghidupkan dan mematikan, hanya Allah yang menyelamatkan. Terhadap itu semua, siapapun percaya karena semua manusia dilahirkan dalam keadaan fithrah yaitu fithrah ketuhanan. Iblis pun percaya kalau hanya bahwa tuhan itu ada, itu terbukti dari do’a iblis “Wahai Allah panjangkanlah usiaku sampai hari kiamat” karena iblis mempunyai program untuk mencari teman sebanyak-banyaknya sebagai teman di neraka. Begitu juga ketika ditanyakan kepada masyarakat Jahiliyah sesungguhnya siapakah yang mempunyai langit dan bumi, mereka pun menjawab Allah. Jadi kalau hanya mempercayai tuhan itu ada maka semua percaya. Akan tetapi ada lagi tauhid yang harus diyakini yaitu kepercayaan keesaan hukum dalam mengatur kehidupan manusia. Inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir. Sehingga mereka berani berkata “Ya Allah, aku tahu engkau maha kuasa tapi jangan ikut campur deh dalam mengatur hidupku.” Jadi, kalau kita mengakui bahwa Allah yang maha Kuasa maka Syari’at-Nya harus dipergunakan juga. Adapun jika ingin membuat hukum sendiri harus terlebih dahulu minta izin kepada Allah.
Jawaban Dr. Yani
Syari’at yang mana: Apa yang disampaikan oleh Ustadz Abu merupakan pancaran sinar Allah. Tetapi terkait dengan apa yang diyakini oleh MMI sebagai manhaj Shalafus Shalih yakni mengikuti Nabi, sahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in bahwa sesuatu semakin jauh dengan Allah maka semakin profan. Dalam hal ini umpamanya antara NU dengan MMI, semakin jauh dari masa Rasulullah maka semakin profan, NU tidak hanya berpegang kepada tabi’ut tabi’in akan tetapi sampai ulama saat ini bahkan kepada Gus Dur. Artinya, itu lebih profan daripada orang MMI yang hanya berpegang kepada Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Akan tetapi kerangka teknik dan praktiknya akan seperti itu, saya melihat bahwa tetap saja Shalafus Shalihnya MMI sebagai produk budaya yang barangkali bisa sama dan bisa berbeda dengan kerangka berfikir orang lain. Terkait dengan ini, menurut yang saya pahami bahwa MMI bukan lah aliran garis keras akan tetapi ingin menegakkan identitasnya. Persoalannya adalah Syari’at Islam yang mana, yakni yang dipegang oleh Rasulullah dan pengikutnya sedangkan pada masa itu orang sudah berbicara tentang ahlu ra’yu, ahlu akl dan bahkan jangan-jangan antara Ustadz Abu dan Ustadz Irfan berbeda pendapat dalam memahami Syari’at Islam.
Kemudian menanggapi pertanyaan dari saudara Aris Nasuha dari HTI mengapa hanya esensinya yang penting bukan institusinya. Menurut saya semuanya penting, akan tetapi jujur saja lebih mudah esensi daripada institusi. Saya teringat teman saya, dia adalah seorang kyai NU yang setiap hari membaca fiqh mawaris akan tetapi ketika ia meninggal ia tidak membagikan warisan berdasarkan Syari’at Islam, atau tetangga mbah saya yang dahulunya adalah pejuang Masyumi yang bertujuan untuk negara Islam ketika saya tanya bapak saya apakah mereka memberikan waris berdasarkan Islam, beliau menjawab tidak.
Yang menjadi persoalan adalah budaya yang ada, ketika dahulu maraknya partai-partai Islam yang memperjuangkan negara Islam seperti Masyumi, NU, PERSIS orang banyak tertarik akan tetapi bila ditanyakan kepada mereka, apakah negara Islam itu? Maka tidak banyak yang tahu. Mereka tidak tahu apa konsep Islam dalam membangun suatu negara.
Dalam kerangka ini bagi HTI yang bertujuan membangun khilafah maka pertanyaannya adalah khilafah yang mana, oleh karena kita lebih penting berbicara esensi dari pada institusi
Substansi dan Formalisasi Syari’at Islam
Sesungguhnya Tatbiqus Syari’ah telah jelas, yakni perintah melaksanakan Syari’ah Islam. Tidak ada khilaf, yang berbahaya justru khilaf dalam menafsirkan al Qur’an. Karena ada aturan atau kaidah-kaidah yang harus dipakai, itu yang saya maksud bahwa Rasul adalah pengajar yang dijadikan sebagai rujukan, sehingga tidak diperkenankan menafsirkan semaunya saja. Persoalannya adalah adanya orang-orang yang menghancurkan kaidah-kaidah khilaf itu sendiri. Apalagi oleh orang-orang yang telah belajar di Amerika, dan mereka menggunakan sistem hidup yang telah digariskan oleh ulama orientalis, yakni memahami al Qur’an dengan sistem yang mereka pakai dalam memahami bibel. Di dalam bibel telah bercampur antara yang benar dengan yang salah, karenanya diingatkan oleh Rasulullah Saw. jika membaca bibel janganlah kamu benarkan dan jangan pula disalahkan sebelum disesuaikan dengan Qur’an. Jadi, patokannya adalah al Qur’an. Apabila sesuai maka itu benar, tapi bila bertentangan dengan Qur’an maka itu bathil.
Syari’at Islam harus diamalkan baik dalam bentuk formal maupun substansinya. Tidak seperti dikatakan Mahfud MD, yang penting substansinya. Jika menolak formalisasi Syari’ah di lembaga negara, dan menerima secara substansial, jelas tidak logis. Mengapa tatkala berbicara tentang hukum atau aturan selain Islam, tidak dikatakan yang penting substansinya? Ini kecurangan dan diskriminasi hukum. Mengapa cara berpikir substansialis ini tidak diberlakukan terhadap aturan-aturan di negara lain? Mengapa orang-orang seperti Mahfud MD, Syafi’i Maarif, Amin Rais dan yang sepaham dengannya, tidak melihat shalat dari substansinya saja? Substansi shalat, adalah melaksanakan rukun shalat, tidak perlu adanya Masjid, sebab Masjid hanyalah simbol dan formalitas. Konsekuensinya, perkawinan cukup ada mempelai laki perempuan, hidup berumah tangga, melakukan hubungan seksual seperti kucing. Mengapa harus ada lembaga perkawinan, pakai surat nikah, ada saksi, wali, semua itu hanya formalitas. Mengapa harus ada lembaga haji, zakat dan lainnya, bukankah itu semua formalitas? Begitupun, untuk apa negara mewajibkan warga negara mempunyai kartu penduduk, SIM, KTP dan sebagainya, bukankah itu juga formalitas, bukan substansi, yang hanya merepotkan administrasi negara?
Anehnya, ketika tuntutan Syari’at Islam -aturan hidup yang melingkupi semua aspek kehidupan- merebak, tiba-tiba kaum substansialis berteriak, tidak perlu formalitas cukup substansinya saja. Sementara sistem demokrasi, diterima pengamalannya, baik substansi maupun formal. Siapa yang memberi hak pada mereka, bahwa agama yang penting substansinya, padahal Allah telah menurunkan Syari’at secara formal? Buktinya dalam Al-Qur’an ada hak, larangan dan perintah. Misalnya larangan, jangan kamu membunuh. Substansi dari larangan, ‘jangan membunuh’ itu seperti apa? Berfikir substansial dengan menyudutkan hukum-hukum Allah, berarti menyetarakan hukum Allah dengan hukum buatan manusia, jelas kekafiran dalam berfikir, dan sikap murtaddin, murtad dari Islam. Mereka ingin beragama tanpa Tuhan, atau mengangkat Tuhan tanpa syari’at. Na’udzubillahi min dzalik.
Majalah RISALAH MUJAHIDIN No. 4 Th I Dzulhijjah 1427 H / Januari 2007, hal. 55-64.