RIYADH (Arrahmah.id) – Diplomat tertinggi Suriah mengatakan bahwa ia berharap dapat membuka “halaman baru yang cerah” dengan Arab Saudi setibanya di kerajaan tersebut, kunjungan luar negeri pertama bagi penguasa baru Suriah.
Kunjungan yang dimulai pada Rabu (1/1/2025), dilakukan kurang dari sebulan setelah mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad digulingkan oleh pasukan perlawanan pada 8 Desember.
“Saya baru saja tiba di Kerajaan Arab Saudi, ditemani oleh Menteri Pertahanan Murhaf Abu Qasra dan Kepala Badan Intelijen Umum Anas Khattab,” tulis Asaad al-Shaibani dalam akun X, seperti dilansir Al Jazeera (2/1).
“Melalui kunjungan pertama dalam sejarah Suriah Merdeka ini, kami bercita-cita untuk membuka halaman baru yang cerah dalam hubungan Suriah-Saudi yang sesuai dengan sejarah panjang antara kedua negara,” tambahnya.
Al-Shaibani ditunjuk sebagai menteri luar negeri pada 21 Desember oleh pemerintah sementara Suriah, dan menjadi diplomat tertinggi pertama negara itu sejak penggulingan al-Assad.
Sebelumnya pada Rabu, media pemerintah Suriah mengatakan bahwa delegasi tersebut mengunjungi kerajaan “atas undangan menteri luar negeri Saudi”.
Sebuah pernyataan yang dibagikan oleh Kementerian Luar Negeri Suriah mengatakan bahwa Wakil Menteri Luar Negeri Arab Saudi Waleed bin Abdulkarim El Khereiji menerima delegasi tersebut di bandara internasional di Riyadh.
Delegasi Suriah termasuk Menteri Pertahanan Murhaf Abu Qasra dan Kepala Intelijen Umum Anas Khattab, menggarisbawahi signifikansi diplomatik dan strategis dari kunjungan tersebut.
Kemudian pada Kamis (2/1), Menteri Pertahanan Saudi Pangeran Khalid bin Salman mengatakan dalam sebuah posting di X bahwa ia telah membahas dalam sebuah pertemuan dengan al-Shibani bagaimana cara terbaik untuk mendukung transisi politik.
Pertemuan tersebut juga melibatkan menteri pertahanan dan kepala intelijen Suriah.
Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Al Jazeera yang ditayangkan pada Selasa, al-Shaibani menyerukan pencabutan semua sanksi Barat terhadap Suriah ketika ia merinci rencana pemerintahan baru untuk masa depan negara itu.
Adam Clements, seorang mantan diplomat AS dan pejabat Pentagon, mengatakan bahwa Arab Saudi sedang berusaha untuk membangun hubungan yang kuat dengan Suriah karena Iran kehilangan pengaruhnya atas negara tersebut.
“Saya rasa ini sangat signifikan,” katanya kepada Al Jazeera pada Kamis. Ia mengatakan bahwa dari “sudut pandang diplomatik”, Riyadh ingin menjalin hubungan yang lebih kuat dengan pemerintahan Suriah yang baru.
“Arab Saudi akan memiliki peran yang besar juga pada awal konstruksi dan rekonstruksi. Suriah sangat bergantung pada Iran untuk minyak dan bahan bakar, dan saya pikir negara-negara Teluk juga dapat mendukung hal itu,” katanya.
Dalam sebuah wawancara dengan televisi Al Arabiya milik Saudi pada Ahad, pemimpin de facto Suriah Ahmad Asy Syaraa yang juga dikenal sebagai Abu Muhammad al-Jaulani mengatakan bahwa Riyadh “pasti akan memiliki peran yang besar di masa depan Suriah”, dan menunjuk pada “kesempatan investasi yang besar bagi semua negara tetangga”.
Asy Syaraa mengepalai kelompok Hai’ah Tahrir Syam (HTS) yang memimpin serangan pemberontak yang menggulingkan al-Assad.
Ekonomi dan infrastruktur Suriah telah hancur akibat perang selama lebih dari 13 tahun yang dimulai dengan penumpasan protes pro-demokrasi pada 2011.
Arab Saudi memutuskan hubungan dengan pemerintah al-Assad pada 2012 dan mendukung pemberontak Suriah yang berusaha menggulingkannya pada awal perang di negara itu. Pada 2023, Liga Arab menerima kembali Suriah setelah lebih dari satu dekade penangguhan. (haninmazaya/arrahmah.id)