AQABA (Arrahmah.id) — Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengakui telah melakukan komunikasi dengan kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir asy Syam (HTS) belum lama ini.
Pernyataan hari Sabtu (14/12/2024), yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, adalah pertama kalinya pemerintahan Biden secara terbuka mengonfirmasi pembicaraan dengan kelompok tersebut.
Dalam konferensi pers dari Aqaba, Yordania, seperti dilansir Al Jazeera (14/12), Blinken menempatkan diskusinya dengan HTS dalam konteks tujuan AS yang lebih luas untuk masa depan Suriah.
“Ya, kami telah menghubungi HTS dan pihak-pihak lain,” kata Blinken menanggapi pertanyaan wartawan.
Ia menjelaskan bahwa ia “menekankan kepada semua pihak” perlunya menemukan warga negara AS dan jurnalis lepas Austin Tice, yang hilang di Suriah saat meliput berita pada tahun 2012.
Blinken juga menegaskan bahwa timnya mencari dukungan HTS atas serangkaian “prinsip” yang dibahas oleh para diplomat dari AS, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa, Turki, dan delapan negara Liga Arab untuk proses transisi pemerintahan yang damai.
“Kami mengomunikasikannya,” kata Blinken.
Blinken menyampaikan ringkasan kesepakatan bersama mereka. Ia menguraikan visi untuk proses transisi yang “dipimpin dan dimiliki oleh Suriah” yang pada akhirnya akan menghasilkan “pemerintahan yang inklusif dan representatif”, tempat hak-hak semua kelompok minoritas dihormati.
Ia juga menekankan peran penting AS di kawasan tersebut, dengan mengemukakan alasan yang jelas untuk tidak menarik diri dari dialog lebih lanjut tentang Suriah.
“Amerika dan mitra kami memiliki kepentingan penting dalam membantu rakyat Suriah memetakan jalan baru ini. Kami tahu bahwa apa yang terjadi di dalam Suriah dapat menimbulkan konsekuensi yang kuat di luar perbatasannya, mulai dari pengungsian massal hingga terorisme,” kata Blinken.
“Kami telah melihat bagaimana jatuhnya rezim yang represif dapat dengan cepat menimbulkan lebih banyak konflik dan kekacauan, bagaimana posisi seorang diktator dapat digantikan oleh diktator lain, atau bagaimana campur tangan negara luar dapat disingkirkan hanya untuk digantikan oleh negara lain.”
Pada bulan Mei 2018, Departemen Luar Negeri AS, di bawah Presiden Donald Trump saat itu, menambahkan HTS ke dalam daftar “organisasi teroris asing” karena afiliasinya dengan Jabhah Nusrah.
Ia menuduh HTS sebagai “kendaraan” bagi Jabhah Nusrah “untuk memajukan posisinya dalam perlawanan Suriah dan untuk memajukan tujuannya sendiri”.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga memberikan sanksi kepada HTS pada tahun 2014 karena alasan yang sama, membekukan aset keuangannya di luar negeri dan memberlakukan embargo senjata.
Namun Ahmed al-Sharaa, yang juga dikenal sebagai Abu Mohammed al Jaulani, pemimpin HTS, telah mengambil langkah-langkah untuk menjauhkan organisasinya dari kelompok militan al Qaeda.
Menurut The Associated Press, al Sharaa merilis sebuah video pada tahun 2016 yang menegaskan independensi kelompoknya.
“Organisasi baru ini tidak berafiliasi dengan entitas eksternal mana pun,” katanya. (hanoum/arrahmah.id)