POLEWALI MANDAR (Arrahmah.com) – Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan sudah menonaktifkan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Polewali Mandar (Polman) Haryoto yang menerapkan aturan wajib membaca Al-Quran bagi narapidana Islam yang menjalani pembebasan bersyarat.
Aturan yang diterapkan tersebut disebut menjadi pemicu kerusuhan di Lapas Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
“Ya itu (Kepala Lapas Polewali Mandar) sudah ditarik orangnya ke Kanwil (Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Barat),” ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (24/6/2019), lansir Suara.com.
Diketahui, terjadi kerusuhan yang dilakukan napi Lapas Kelas IIB Polewali, Mandar pada Sabtu (22/6/2019). Pemicu kerusahan itu disebut karena para napi tidak terima dengan penerapan kebijakan baru Kalapas Haryoto yang mewajibkan setiap napi beragama Islam harus bisa membaca Al-Quran.
Aturan itu diberlakukan kepada narapidana yang masa penahananya sudah habis alias bebas dari penjara. Dari syarat membaca kitab suci itu, para napi mengamuk dan merusak pagar dan kaca jendela dalam lapas.
“Tujuannya baik, tetapi memaksakan dengan cara begitu kan enggak boleh, akhirnya memancing persoalan. Sekarang orangnya sudah ditarik,” tutur Yasonna.
Yasonna menganggap penerapan itu merupakan aturan pribadi yang dibuat Haryoto. Dia pun mengaku menyesalkan adanya kerusuhan dari napi akibat kebijakan tersebut.
“Kalau nanti dia enggak khatam-khatam (Al Quran) walaupun secara UU sudah lepas kan enggak bisa,” katanya.
Snggota Komisi DPR RI Komisi III Al Muzzammil Yusuf menanggapi kabar penerapan syarat pembebasan berupa wajib baca Al-Quran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat.
Muzzammil menyatakan mendukung syarat tersebut karena mampu merangsang narapidana untuk belajar agama Islam.
Ia membantah jika penerapan syarat itu malah menciptakan ketidaknyamanan di kalangan narapidana.
“Saya tidak percaya kalau syarat mampu membaca Al-Quran itu membikin keonaran di tengah penghuni lapas yang Muslimin,” katanya pada wartawan, Senin (24/6) malam.
Politikus PKS tersebut merasa penerapan syarat baca Al-Quran bukan suatu kewajiban bagi narapidana, melainkan sebagai langkah maju agar narapidana mau belajar Al-Quran.
“Saya kira syarat itu lebih sebagai stimulus agar mereka mau belajar, ketimbang sebagai syarat mutlak,” ujarnya.
Walau begitu, menurutnya wajar bila kebijakan tersebut menuai polemik hingga penolakan. Sebab, ia mengakui ada pihak-pihak yang tak ingin agama Islam punya pengaruh kuat di Lapas.
“Tapi kalau syarat itu membuat enggak nyaman sebagian pihak mungkin saja. Karena dikhawatirkan akan ada Islamisasi Lapas,” ucapnya.
(ameera/arrahmah.com)