Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
(Tim Penasehat Hukum Ustadz Farid Ahmad Okbah)
(Arrahmah.com) – “Pada tahun 1997 atau 1998 saya bersama istri berangkat haji atas undangan Raja Fahd Bin Abdul Aziz bersama 38 Rektor se Indonesia. Dari Universitas Indonesia Prof. Asman Boedisantoso Ranakusuma yang berangkat. Bahkan, Pak Mahfud MD saat itu juga ikut dalam rombongan mewakili Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.”
[Ustadz Farid Ahmad Okbah, 29/11]
Senin 29 November 2021, sehabis melaksanakan kewajiban kunjungan kontrol ke perusahaan klien di daerah Pasar Minggu, penulis bergegas menuju Darul Aitam di Tanah Abang untuk memenuhi atensi dari Bang Aziz Yanuar menandatangani Surat Kuasa persiapan persidangan Bang Munarman SH. Setelah sekian lama ditahan densus 88, insyaallah pada Rabu 1 Desember 2021, kasus tuduhan terorisme kepada Bang Munarman akan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Baru saja berdiskusi usai menandatangani Surat Kuasa ba’da sholat Dzuhur, tiba-tiba masuk pesan WhatsApp dari Bang Ismar Syafruddin selaku ketua Tim Advokasi Ustad Farid Ahmad Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung al Hammad. Isinya, segenap Tim Advokasi diminta merapat ke Gedung Densus 88 Mabes Polri lantai 3.
Segera saja, penulis pamit kepada Rekan Dwi Hariadi yang mengurusi administrasi Surat Kuasa Bang Munarman, untuk selanjutnya langsung berangkat menuju Mabes Polri. Agak tergopoh-gopoh, penulis segera parkir kendaraan di Al Azhar dan berjalan cepat menuju Mabes Polri.
Qadarullah, ternyata informasi berubah. Penyidik densus 88 mengirimkan info bahwa pemeriksaan dilakukan di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya.
Namun, sebelum melanjutkan perjalanan ke Polda Metro Jaya, rasa lapar dan rongrongan perut tidak bisa dikesampingkan. Tanpa minta izin Bang Ismar, penulis mengunjungi Warung Nasi Padang di pinggiran jalan sekitar Mabes Polri menuju Al Azhar. Soal dakwaan dari perut lapar, memang tak bisa dianggap remeh. Dengan terpaksa, penulis memenuhinya sampai perut merasa ridlo untuk kembali diajak melanjutkan perjuangan.
Karena salah arah, penulis kebablasan sampai Jl Sudirman dan akhirnya putar balik di bunderan HI. Bang Ismar sudah berulangkali menelpon, karena penyidik sudah menunggu.
Akhirnya, sampai juga di Polda Metro Jaya.
Sejak masuk Polda, putra Ustadz Farid Ahmad Okbah langsung menyongsong untuk mengambil alih kendaraan, membantu memarkirkan. Sementara penulis, segera berjalan cepat menuju ke Rutan Narkoba bersama Bang Ismar.
Pemeriksaan dimulai,
Penulis mendampingi Ustadz Farid Ahmad Okbah, Bang Ismar mendampingi ustadz Ahmad Zain an Najah dan menyusul Bang Abdullah al Katiri mendampingi Ustadz Anung An Najah.
Dalam tahap awal pemeriksaan, ustadz Farid ditanya tentang identitas, riwayat keluarga, riwayat pendidikan, dan riwayat organisasi. Untuk organisasi, subhanallah begitu banyak aktivitas dakwah beliau di sejumlah organisasi dari Parmusi, DDII hingga beliau juga mendirikan PDRI.
Saat memasuki riwayat keluar negeri, ada bahasan materi yang menarik. Yakni, beliau pada sekitar tahun 1997 atau 1998 bersama istri beliau (Ibu Hajah Jameelah) berangkat haji atas undangan Raja Fahd Bin Abdul Aziz bersama 38 Rektor se Indonesia.
Dari Universitas Indonesia Prof. Asman Boedisantoso Ranakusuma yang berangkat. Bahkan, Pak Mahfud MD yang saat ini menjabat sebagai Menkopolhukam juga ikut dalam rombongan mewakili Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Waktu itu, Pak Mahfud belum menjadi politisi. Masih akademisi murni dan aktif sebagai penulis. Hal ini diungkapkan oleh Ustadz Farid saat menjawab pertanyaan penyidik.
Penulis berkeyakinan, memang tidak ada masalah hukum dengan Ustadz Farid. Sejak dahulu, beliau orang baik. Tidak mungkin seorang teroris diundang oleh Raja Kerajaan Arab Saudi. Tidak mungkin pula, bisa satu rombongan mendapatkan kehormatan berhaji karena undangan Raja bersama Prof Mahfud MD.
Jadi, aktivitas ustadz Farid yang dakwah terbuka dan legal konstitusional bukan hanya terakhir ini sampai bisa ikut diterima sebagai tamu Presiden Jokowi. Pada tahun 2020, Ustadz Farid bersama ustadz Usamah Hisyam di Parmusi berkunjung ke Kantor Presiden Jokowi. Fotonya beredar viral.
Maksud penulis, tidak relevan mempersoalkan kegiatan dakwah ustadz Farid yang dikaitkan dengan aktivitas beliau di masa lalu sebagai tindak pidana terorisme. Misalnya, beliau di korek aktivitas beliau saat di Afghanistan selama 3 bulan pada tahun 1993. Untuk latihan militer 1,5 bulan, dan ikut dalam penugasan penjagaan perbatasan (ar Ribath) selama 1,5 bulan di Jalalabad.
Saat itu, memang seluruh ulama kaum muslimin telah mengeluarkan resolusi jihad atas invasi Uni Soviet di Afghanistan. Atas semangat memerangi komunisme, Ustadz Farid mentaati ulama dan ikut memberikannya andil untuk membela kaum muslimin. Dan memerangi komunisme Soviet bukanlah pelanggaran hukum menurut UU Indonesia.
Beliau awalnya tidak niat ke Afghanistan, tetapi ke Pakistan untuk transit dari Malaysia, dalam rangka umroh ke Mekah. Melihat saudara muslim di Afghanistan dizalimi, beliau menunda umroh untuk lebih dahulu menolong saudara muslim di Afghanistan. Setelah itu, beliau kembali ke Pakistan dan melanjutkan umroh ke Mekah.
Lagipula, kalau mau dipersoalkan peristiwa di Afghanistan itu dengan UU Terorisme, jelas tidak dapat dijangkau dalam 3 (tiga) hal :
Pertama, kalau aktivitas di Afghanistan yang membela kaum muslimin dianggap tindakan terorisme, toh itu locus delicti (TKP nya) bukan di Indonesia. Densus 88 hanya memiliki kewenangan menyidik perkara yang menjadi yurisdiksi hukum Indonesia.
Wilayah Afghanistan bukanlah wilayah yang menjadi yurisdiksi hukum Indonesia. Karena itu, framing mengaitkan aktivitas ustadz Farid di Afghanistan dengan tindak pidana terorisme adalah sesuatu yang sangat sumir.
Kedua, aktivitas ustadz Farid Okbah di Afghanistan terjadi pada tahun 1993. Sementara, UU Terorisme baru dibentuk dengan Perppu tahun 2002, diundangkan menjadi UU No 15 pada tahun 2003 dan baru diubah lagi dengan UU No 5 tahun 2018.
Artinya, secara tempus delicti (Waktu Kejadian) terjadi sebelum diberlakukannya UU Terorisme. Padahal, hukum tidak dapat diberlakukan secara surut (Non Retroaktif). Lantas, kenapa densus 88 mempersoalkan aktivitas ustadz Farid Okbah pada tahun 1993 di Afghanistan ?
Ketiga, ini yang paling utama. Menolong kaum muslimin di Afghanistan bukanlah terorisme. Melakukan aktivitas keluar negeri untuk beribadah dengan memberkan pertolongan kepada sesama muslim bukanlah kejahatan.
Kalau ibadah jihad dengan menolong saudara muslim di luar negeri dipersoalkan sebagai terorisme. Bagaimana dengan ibadah haji keluar negeri ?
Apakah, Prof Mahfud MD juga akan diseret ke pengadilan dengan kasus terorisme karena pernah satu kafilah haji keluar negeri dengan ustadz Farid Ahmad Okbah, tersangka terorisme?
Logika terorisasi yang diterapkan densus 88 sangat menggelikan. Kasusnya terorisme, tetapi pertanyaan yang diajukan seputar pengajian-pengajian yang dilakukan ustadz Farid. Apakah, dakwah dengan melakukan pengajian sudah dikategorikan sebagai tindakan terorisme atau setidaknya tindakan pendahuluan sebelum akhirnya melakukan tindakan terorisme ? sebuah narasi yang sangat naif dan melecehkan ajaran dakwah yang dimuliakan dalam Islam.
Penulis bersaksi, bahwa ustadz Farid adalah pengemban dakwah Islam. Begitu banyak kajian-kajian Islam yang beliau lakukan, dari yang offline hingga yang online. Ada yang di Kota Wisata, Pusat Industri Penggilingan Pulo Gadung, BSD, Bintara, Perum Bulog, sampai pengajian yang dihadiri nenek-nenek di Cinere.
Tema-tema kajian juga menyejukkan. Ada masalah akidah, dakwah, fiqh, hingga kajian tematik.
Adapun mengenai Jemaah Islamiah (JI), Ustadz Farid bukan anggota, bukan pula penasehat. Beliau, menasehati orang-orang yang berjuang di jalan Allah SWT, agar menempuh langkah yang legal konstitusional. Bisa dengan mendirikan ormas atau parpol. Hal itulah, yang membuat beliau mendirikan partai dakwah rakyat Indonesia atau PDRI.
Beliau juga tidak pernah kenal dengan orang bernama Parawijayanto. Berulangkali, penyidik menekankan pertanyaan ini, dan berulangkali pula ustadz Farid menyatakan tidak kenal, tidak pernah bertemu.
‘Ala kuli hal, serangkaian aktivitas yang dituduhkan sebagai tindakan terorisme sejatinya adalah aktivitas dakwah Islam. Penulis semakin tenang dan tentram membela ustadz Farid Ahmad Okbah, karena realitanya beliau adalah pengemban dakwah Islam bukan teroris seperti yang dituduhkan densus 88.
Terakhir, sebelum berpisah usai pemeriksaan yang akan dilanjutkan hari ini, 30 November 2021, Ustadz Farid menyampaikan salam kepada segenap tokoh dan ulama Islam. Berterima kasih atas segala doa dan dukungan, dan mohon untuk terus didoakan agar Allah SWT memberikan pertolongan, sehingga beliau dapat segera dibebaskan.
Sekedar info, selama dalam tahanan beliau telah mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali. Setiap tiga hari sekali, beliau khatam membaca al Qur’an.
Beliau juga membuat catatan nasehat, pengalaman spiritual dan perjuangan, yang catatan itu dititipkan kepada penulis untuk diteruskan kepada putera beliau. Dan Alhamdulillah, amanah tersebut sudah penulis tunaikan.
(*/arrahmah.com)