JAKARTA (Arrahmah.com) – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa serta-merta meminta maaf atas peristiwa 1965 yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan keluarganya.
Hal itu dikatakan Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto menyikapi peristiwa kelam bangsa ini pada 47 tahun silam.
“Lihatlah itu (peristiwa 1965) dalam pandangan yang sangat besar. Jangan sekadar meminta minta maaf saja, tanpa melihat kejadian yang sebenarnya di balik peristiwa 1965 itu,” kata Djoko di Gedung Parlemen, Senayan, Senin (1/10).
“Jadi, kalau melihat sejarah masa lalu, misalnya tahun 1965, kita mesti melihat dengan kaca mata tahun 1965 saat itu,” lanjutnya.
Djoko mengatakan peristiwa pembalasan terhadap PKI itu justru bermanfaat. “Kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita tidak akan seperti sekarang ini.” Sedangkan mengenai korban yang timbul, menurutnya, justru akan menjadi penelitian pemerintah.
Hal tersebut disampaikan Djoko, menyusul rekomendasi Komnas HAM yang menyarankan dua hal terhadap peristiwa 1965 tersebut.
Opsi pertama, pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM pada periode tersebut, atau opsi kedua, Presiden Yudhoyono melakukan rekonsiliasi antara pelaku serta korban dan meminta maaf atas kekelaman sejarah tersebut.
Apalagi belum lama, muncul film the Act of Killing di Festival Film Toronto pada September lalu. Di dalam film tersebut terdapat pengakuan para jagal di Medan, Sumatra Utara yang mengaku membantai para anggota PKI atas restu pemerintahan saat itu.
Djoko mengatakan, dia sendiri belum menonton film tersebut, sehingga tidak mau berkomentar tentangnya.
“Saya belum lihat filmnya. Kalau saya belum lihat, bagaimana saya bisa berkomentar,” tutupnya. (bilal/dbs/arrahmah.com)