Rangkaian teror bom yang terjadi beberapa pekan belakangan ini terjadi berturut-turut membuat banyak masyarakat bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang ada dibalik ini semua? Beberapa spekulasi dan analisis banyak muncul di berbagai media masa nasional. Intelijen menjadi tertuduh karena dianggap sebagai organisasi yang memainkan peran dalam penanganan pencegahan dini kasus-kasus teror bom telah gagal melaksanakan tugasnya. Selain itu, intelijen juga dianggap menunggangi isu-isu yang terkait dengan teror dan keamanan nasional untuk meredam berbagai isu besar yang dianggap bisa mengganggu Istana Negara dan kroni-kroninya. Sebut saja kasus Bank century, WikiLeaks: SBY Abuse of power, pengadilan sesat Antasari Azhar, dan korupsi di lingkungan Kemenpora yang melibatkan salah satu bendahara Partai demokrat.
Eksploitasi Ketakutan Masyarakat
Setelah Suara Islam menelusuri bebagai dugaan tersebut diatas, penulis berupaya mengurai beberapa kemungkinan yang terjadi. Pertama, rupanya teror bom yang belakangan terjadi merupakan tahapan-tahapan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang sedang mengeksploitasi ketakutan publik. Ada tangan-tangan tidak terlihat (the invisible hands) yang berupaya menciptakan suasana psikologis yang menakutkan di tengah-tengah masyarakat Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan menjadi sebuah dorongan untuk memojokan dan mendudukan masyarakat ke dalam suasana darurat nasional, sehingga mereka memandang polisi dan intelijen perlu diperkuat. Ini dijadikan legitimasi dari publik digunakan untuk menerbitkan Rancangan Undang-Undang tertentu. Belakangan tersiar kabar bahwa RUU Intelijen dan RUU Keamanan Nasional alot dibahas karena disinyalir membutuhkan sebuah stimulus khusus yaitu situasi yang luar biasa di tengah-tengah masyarakat, biasanya berupa kericuhan atau ketakutan yang meluas secara nasional dan disetiap level masyarakat.
Hal ini akhirnya terbukti manakala pemerintah Indonesia meningkatkan pengamanan secara nasional di seluruh Indonesia menjadi Siaga Satu, satu hari menjelang perayaan Paskah.
Dalam konferensi pers yang diadakan setelah Rapat Jajaran Keamanan di kantor Presiden Jakarta, Kamis (21/4/2011), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan aparat keamanan TNI dan Polri “Siaga Satu” menjelang perayaan Paskah. Rapat tersebut dihadiri oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto didampingi Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Imam Sufaat, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Waris, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Ansyad Mbai, serta Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Menurut Djoko, Siaga Satu diberlakukan diseluruh wilayah Indonesia.
Hal ini tak pelak membuat beberapa kalangan mengkritik kebijakan tersebut sebagai sesuatu yang konyol dan sengaja dibuat-buat untuk kepentingan pihak tertentu. Padahal menurut Mayor Jenderal (Purn) TB Hasanuddin, Siaga satu hanya boleh diumumkan oleh kepala negara, bukan oleh pembantu atau menterinya. Siaga satu dinyatakan bila negara dalam keadaan perang, diprediksi akan terjadi perang, dipredikasi ada ancaman agresi dari negara luar, atau diprediksi negara dalam keadaan berbahaya.
Siaga satu, lanjutnya, juga bisa digunakan bila terjadi satu bencana alam yang besar di satu wilayah. Namun, siaga satu dalam kategori ini tidak diterapkan di seluruh Indonesia dan hanya diterapkan di wilayah yang mengalami bencana tersebut. Dalam keadaan siaga satu, 100 persen TNI dan polisi standby di markas masing-masing dengan senjata lengkap di tangan, bekal makanan untuk 1×5 hari, pakaian dua setel, dan satu jaket.
“Nah saya tidak mengerti, siaga satu sekarang hanya karena bom di Serpong, hanya karena Jumat Agung. Saya tidak mengerti kenapa SBY memberlakukan siaga satu. Padahal dia juga jenderal yang tahu aturan ini. Adakah serangan dari luar? Adakah Dewan Revolusi Islam mengepung istana? Adakah mantan Prajutit TNI yang siap menyerang?” Kata TB Hasanuddin, yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR dalam sebuah diskusi di Doekoen Coffe, Pancoran, Jakarta Minggu (24/4/2011).
Dalam teori Spectrum Conflict Model, intelijen bisa saja memainkan kondisi atau suasana destruction level pada tingkat tertentu, sehingga terjadi sebuah probability untuk mengambil suatu tindakan khusus. Namun, sayangnya masyarakat cukup kritis dan mengacuhkan variabel-variabel tersebut. Media nasional sekuler yang biasanya sigap mendukung isu-isu teror pun lengah sehingga operasi mengeksploitasi ketakutan ini harus berakhir dengan kegagalan.
Operasi semacam ini sebenarnya merupakan modus lama yang digunakan pada masa Orde Baru. Rekayasa dengan menciptakan sebuah peristiwa untuk tujuan propaganda. Provokasi semacam ini, di dalam panduan latihan Angkatan Darat disebut sebagai kegiatan intelijen standar. Disebutkan dalam panduan tersebut bahwa diantara sejumlah kegiatan intelijen yang bisa dilaksanakan, terdapat kegiatan “menciptakan dan mematangkan suasana atau situasi yang mendukung kepentingan dan pelaksanaan pertahanan keamanan.”
Amerika Serikat (AS) pasca serangan 11 September 2001 (peristiwa 9/11), bahkan secara sempurna menjalankan misi rekayasa tersebut. Setelah mengeksploitasi ketakutan masyarakat dengan peristiwa 9/11, pada 26 Oktober 2001 Pemerintah AS pimpinan G.W. Bush mengesahkan undang-undang yang diberi nama USA PATRIOT Act yang berarti: Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001.
Atau Bersatu memperkuat Amerika dengan menyediakan peralatan untuk mencegah dan menggagalkan tindakan terorisme. US-PATRIOT Act adalah sebuah Undang-Undang (UU) federal AS yang memberikan wewenang (penuh) kepada pemerintah AS untuk mengatasi terorisme dan memberikan kekuasaan penuh kepada FBI untuk memimpin pengawasan (Surveillance) terhadap seluruh penduduk AS. Dalam konteks ini, intelijen AS sebenarnya mengalami kemunduran yang sangat curam. Negara yang dipuji-puji sebagai pembela HAM ternyata bisa menangkap orang hanya dengan berlandaskan kecurigaan saja, istilah semacam ini dikenal sebagai one percent doctrine.
Produk Bermerek Terorisme
Kedua, terorisme yang identik dengan bom, jika dilihat sebagai sebuah daur produk memiliki beberapa merek dagang. Pertama merek dagang kelompok lama atau Jamaah Islamiyah (JI) dan yang kedua merek dangang kelompok baru yang sekarang diidentikan dengan kelompok Negara Islam Indonesia (NII).
Sebagai sebuah produk, terorisme dalam merek kelompok lama JI ternyata sudah habis daur produknya. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa JI adalah proyek yang hampir selesai. Jika berlama-lama berkutat pada urusan JI saja, aparat bisa dinilai tidak mampu. Hal ini sangat berkaitan dengan reputasi aparat dan daur produk JI yang sudah expired. Merek kedua adalah NII. NII adalah sebuah isyarat ataupun alibi bahwa jika JI bisa diatasi masih banyak akar terorisme baru. Ini juga sebagai upaya pihak-pihak tertentu menjaga sumber dana untuk membiayai pemeliharaan aparat, propaganda war on terrorism agar terus selalu berkembang. NII sebagai produk baru tentu saja membutuhkan pemasaran yang baik. NII dipasarkan melalui pemberitaan televisi dan media Koran. Produk ini berhasil di launching bersamaan dengan bom yang terjadi di masjid Mapolres Cirebon Kota, Jumat (15/4/2011) dan paket bom yang ditemukan di jalur pipa gas Serpong, Tangerang, pada Kamis (21/4/2011) yang berada di dekat gereja Christ Cathedral. Munculah dugaan-dugaan dan spekulasi bahwa yang melakukan aksi teror bom tersebut adalah kelompok baru yang merupakan kelompok NII Jawa Barat. Ini berarti oprasi tahap awal sukses.
Dalam agenda ini NII diklaim sebagai generasi baru terorisme. Generasi baru NII ini diidentikan dengan anak-anak muda terdidik, paling rendah mempunyai gelar sarjana. Kemudian pelaku yang disebut-sebut sebagai otak dan pemrakarsa adalah Pepi Fernando Alumni UIN Syarif Hidayatullah yang bekerja sebagai wartawan. Dalam satu kegiatan, terpendam banyak motif dan agenda yang siapkan. Pepi yang disebut sebagai kalangan terpelajar dan bekerja sebagai wartawan merupakan sebuah signal bahwai aktivis ataupun gerakan mahasiswa Islam yang ada di kampus-kampus harus bersiaga dan berjaga-jaga manakala menjadi target buruan intelijen ataupun aparat keamanan atas kejadian-kejadian teror yang mungkin akan kembali datang lagi dimasa yang akan datang. Begitu juga dengan kalangan wartawan ini juga merupakan signal pemberangusan, ada joke atau semacam candaan bahwa Pepi saja yang wartawan infotainment bisa di tangkap apalagi wartawan yang identik dengan gerakan Islam. (Jaka Setiawan)
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia Kajian Stratejik Intelijen dan aktif menulis di salah satu media Islam Nasional