(Arrahmah.com) – Puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah bulan mulia. Nabi menuturkan dalam hadistnya, “Jika memasuki bulan Ramadhan, maka semua pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahannam ditutup, sementara syaitan dibelenggu.” (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ibn Hibban).
Tidak hanya itu, pahala perbuatan baik di bulan Ramadhan juga dilipatgandakan oleh Allah. Melakukan satu amalan sunnah, pahalanya sama dengan amalan fardhu di bulan lain. Melakukan satu amalan fardhu, nilainya dilipatgandakan menjadi 70 kali di bulan lain. Karena itu, Nabi menggunakan bulan ini untuk melipatgandakan amal shalih. Dalam riwayat Ibn ‘Abbas dituturkan, bahwa Nabi adalah orang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadhan.
Inilah keutamaan bulan Ramadhan, yang karenanya kita harus menyadari bahwa menyia-nyiakan bulan ramadhan adalah kerugian. Kesadaran inilah yang akan bisa menjadi kunci untuk selalu menuntun diri menjadikan Ramadhan kita makin bermakna. Selain menyadari kemuliaan bulan ini, kita harus menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak bebas dari dosa (ma’shum), Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meraih ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai bekal untuk menghadapNya pada hari kiamat.
Kesadaran akan kemuliaan Ramadhan serta kesempatan untuk meminta ampun kepada Allah harus direncanakan sebaik mungkin oleh seorang muslim. Untuk membantu realisasinya, bisa melalui penyusunan program selama ramadhan berikut evaluasinya. Diharapkan dengan adanya evaluasi, jika ada kegiatan yang telah diprogramkan tidak bisa terlaksana karena satu dan lain hal, maka bisa segera mencari kegiatan pengganti, agar target nilainya tercapai. Malam hari adalah waktu yang tepat untuk evaluasi seluruh aktivitas terprogram yang telah dikerjakan selama sehari, serta merencanakan target amal untuk esok hari.
Dan akhir dari semua upaya menjadikan Ramadhan lebih bermakna adalah menjadikan kaum muslimin sebagai orang yang bertaqwa, Sebagaimana yang tertera di dalam Qur’an Surat Al baqoroh ayat 183. Taqwa adalah kesadaran untuk melaksanakan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menjadikan halal dan haram sebagai standar aktivitas yang harus diamalkan dalam kehidupan. Ketakwaan bisa diwujudkan secara sempurna dengan jalan mengambil dan menerapkan hukum-hukum syariah secara menyeluruh. Namun faktanya, saat ini banyak sekali hukum syariah yang belum bisa kita jalankan, terutama hukum syariah yang berkaitan dengan pengaturan urusan publik seperti politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, interaksi pria-wanita, keamanan, pidana, politik luar negeri dan lainnya.
Menghadapi kondisi seperti ini, tentu kita tidak boleh berpuas diri dan bersikap pasrah menerima keadaan. Sikap demikian bisa jadi termasuk sikap mengabaikan kewajiban mewujudkan ketaqwaan. Padahal ketaqwaan akan mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengantarkan pada kenikmatan surga.
Kedatangan bulan Ramadhan ini, seharusnya menjadikan semua kaum Muslim lebih menguatkan tekad dan menyingsingkan lengan untuk mengupayakan terwujudnya ketaqwaan dalam segala aspek kehidupan. Untuk itu, perlu adanya upaya meningkatkan ketaqwaan individu muslim dengan program – program terencana, kontrol yang kuat dari masyarakat akan pelaksanaan syari’at (hal ini tentu didapatkan dari proses edukasi yang panjang kepada masyarakat melalui dakwah pemikiran), serta upaya serius dari institusi negara yang menjamin pelaksanaannya. Sehingga tujuan pensyari’atan puasa bisa kita raih dengan sempurna dan Ramadhan kita bisa lebih bermakna.
Terakhir, patutlah kita renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut, guna memperkuat azam kita menjadi muslim bertaqwa. “Jika saja penduduk negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi”, (TQS al-Araf [7]: 96).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
Ririn Umi Hanif, Pemerhati Ibu dan Anak-Gresik
(*/arrahmah.com)