Oleh: Abu Fatiah Al Adnani | Pakar Kajian Akhir Zaman
(Arrahmah.com) – Salah satu gambaran Nabi saw tentang akhir zaman adalah rusaknya parameter manusia dalam memandang hakikat kemuliaan hidup, kebohongan dan kepalsuan lebih disukai manusia daripada kebenaran dan kejujuran. Di antaranya sebagaimana riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad ini berada di genggaman-Nya, hari Kiamat tidak akan datang sehingga muncul kejahatan dan kebakhilan, orang yang jujur didustakan, orang yang khianat dipercaya. HR. Al-Hakim, Al-Fitan, hadits no. 8664.
Akhir zaman juga ditandai dengan merajelalanya kebodohan manusia terhadap ilmu agama dan hakikat kehidupan akhirat. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya, di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah diangkatnya ilmu, ditetapkannya kebodohan, khamr dijadikan minuman, dan maraknya zina di mana-mana. HR. Al-Bukhari, Al-‘Ilm, hadits no. 80 dan Muslim, Al-‘Ilm, hadits no. 2671.
Karenanya Allah mengingatkan agar seorang muslim tidak terpedaya dengan jalan hidup orang-orang kafir yang hanya menginginkan kehidupan dunia. “Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb-mu adalah lebih baik dan lebih kekal.” [QS. Taahaa: 131]. Sebagaimana Al-Qur’an juga menggambarkan bahwa hakikat kebodohan adalah mereka yang sangat pandai dalam urusan dunia namun lalai terhadap perkara akhirat: Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai. (QS. Ar-Rum: 6-7)
Bagaimana seorang muslim bersikap terhadap dunia?
Sikap yang benar dan pilihan yang terbaik, sekaligus kedudukan yang mulia adalah manakala seorang muslim dikarunia Allah rizki yang melimpah berupa harta yang halal-thayyib dan ilmu agama yang mendalam. Hadits Abu Kabsyah Al-Anmari radhiyallahu anhu, menjelaskan akan hal itu: Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الدُّنْيَا لأَرْبَعَةِ نَفَرٍ : عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَعِلْمًا ، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ، وَ يَعْلَمُ ِللهِ فِيهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً ، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ ، يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ ، فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ ، وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا ، فَه ُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ ، لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ ، وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ ، وَلاَ يَعْلَمُ ِللهِ فِيهِ حَقًّا ، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ ، وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا ، فَهُوَ يَقُولُ : لَوْ أَنَّ لِي مَالاً لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلاَنٍ ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ.
“Sesungguhnya dunia ini hanya milik empat golongan saja: (1) Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia bertakwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak Allah, inilah kedudukan yang paling mulia. (2) Seorang hamba yang dikaruniai ilmu tapi tidak dikaruniai harta, kemudian dengan niat yang tulus ia berkata: ‘Jika seandainya aku mempunyai harta, maka aku akan beramal seperti amalannya si fulan itu.’ Dengan niat seperti ini, maka pahala keduanya sama. (3) Seorang hamba yang dikaruniai harta namun tidak diberi ilmu, lalu ia membelanjakan hartanya secara serampangan tanpa dasar ilmu, ia tidak bertakwa kepada Rabbnya, tidak menyambung silaturrahim, dan tidak
mengetahui hak-hak Allah, maka ia berada pada kedudukan paling rendah. (4) Dan seorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan juga ilmu oleh Allah ta’ala, lantas ia berkata: ‘Kalau seandainya aku memiliki harta, niscaya aku akan berbuat seperti yang dilakukan si Fulan.’ Maka ia dengan niatnya itu, menjadikan dosa keduanya sama.” [1] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi IV/562 no.2325, dan Ahmad IV/231 no.18194
Antara hamba yang pertama dan yang kedua
Kedudukan yang paling mulia diraih oleh mereka yang dikarunia Allah ilmu dan harta, dengan keduanya seorang hamba akan mendapat peluang beramal yang sangat agung. Keshalihan sosial dan personal akan sangat terbantu dengan adanya sarana berupa harta dan ilmu. Menuntut ilmu, melaksanakan umrah dan haji, berjihad, berdakwah, menyembelih hewan kurban, memberi ifthar bagi yang berpuasa, menyantuni janda dan anak yatim, menyantuni keluarga mujahid, membangun masjid dan sarana umum untuk kaum muslimin, adalah sekian di antara amal shalih yang akan lebih mudah terealisir dengan adanya sarana berupa harta yang cukup. Dalam batas minimal, ia tidak menjadi beban bagi saudaranya dan mampu menunaikan kewajibannya tanpa menghinakan diri dengan menghiba kepada manusia. Sebaliknya seorang hamba yang terbatas –ilmu dan hartanya-, maka akan terbatas pula aksesnya untuk mendapatkan pahala dari semua amalan di atas. Namun, dengan karunia-Nya, hamba yang kedua bisa memperoleh pahala kebaikan yang sama dengan hamba yang pertama manakala ia memiliki kejujuran niat dan keikhlasan hati. Ia memiliki tekad yang kuat dan niat yang jujur sekiranya Allah memberikan kepadanya sebagaimana yang dimiliki hamba yang pertama, maka ia akan melakukan sebagaimana yang ia lakukan. Maka keduanya memiliki pahala kebaikan yang sama.
Pentingnya harta yang dipandu dengan ilmu
Akhir zaman adalah masa yang penuh dengan ujian dan fitnah, tak terkecuali fitnah harta. Fitnah ini bisa membuat seorang hamba menjual agamanya dengan harta yang murah, atau bisa membuatnya menjual ayat ayat Allah dengan membuat fatwa yang sesuai dengan pesanan. Fitnah harta juga mendorong seseorang untuk tidak peduli halal haram, sekaligus serampangan dan tidak terkendali dalam membelanjakan. Pada saat yang sama, fitnah harta membuat seseorang terhalang dari banyak kebaikan dan amalan-amalan utama, sekaligus menjadi beban orang lain yang bisa melahirkan kehinaan. Karenanya, sangat ideal gambaran nabi di atas, bahwa muslim yang terbaik dan paling mulia kedudukannya adalah Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu kemudian ia bertakwa kepada Rabb-nya, menyambung silaturrahim dan mengetahui hak-hak Allah. Wallahu a’lam bish shawab.
(samirmusa/arrahmah.com)