ISLAMABAD (Arrahmah.com) – Hari Senin tanggal 27 November, Menteri Kehakiman/Hukum Pakistan diumumkan mengundurkan diri dari jabatannya. Demikian laporan televisi resmi pemerintah yang juga menyatakan pengunduran diri tersebut mengakhiri 3 pekan aksi demonstrasi yang mengepung ibukota Islamabad. Ini termasuk salah satu perkembangan yang ditunggu oleh banyak pihak terkait enam poin kesepakatan dalam proses negosiasi antara pemerintah dengan para pemimpin demonstran.
Menteri Hukum, Zahid Hamid, mendapat sorotan dan tekanan luas menyusul langkah partai-partai politik Islam yang menuntut Hamid bertanggung jawab atas munculnya salah satu klausul dalam undang-undang pemilu yang menyinggung status Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Isu ini kembali mengemuka sejak awal November lalu di tengah gelombang protes rakyat Pakistan di berbagai wilayah negeri itu.
“Dengan sukarela saya mengundurkan diri supaya negara kita segera keluar dari krisis,” tulis media lokal yang mengutip pernyataan Hamid. Perdana Menteri Shahih Khaqan Abbasi telah menerima pengunduran diri Zahid Hamid sebagai tuntutan utama para demonstran.
Dalam siarannya, stasiun Geo TV menayangkan para demonstran sebagian telah berkemas dan bersiap meninggalkan lokasi unjuk rasa setelah 3 pekan mereka bertahan mengepung ibukota. Namun demikian, para pemimpin aksi direncanakan secara resmi akan segera mengumumkan berakhirnya aksi mereka dalam sebuah konpers.
Menurut poin-poin kesepakatan, pemerintah akan membuat laporan kepada sebuah komite di Senat dalam waktu satu bulan untuk mengungkap fakta dan mengambil tindakan hukum terhadap amandemen yang dianggap kontroversial tersebut. Demikian juga, sebuah komite investigasi akan dibentuk untuk menyelidiki situasi yang memicu kekerasan, termasuk jatuhnya korban nyawa dan material lainnya.
Selanjutnya, ratusan pengunjuk rasa yang telah ditahan baik yang berasal dari Islamabad maupun kota-kota lainnya akan dibebaskan. Para pemimpin aksi unjuk rasa, menurut kesepakatan, tidak akan mengeluarkan fatwa apapun dalam menyikapi Menteri Hukum.
Bulan lalu, ada “kesalahan” dalam Rancangan Undang-Undang yang mengubah atau memodifikasi klausul pemilih. Dalam klausul baru tersebut, para pemilih yang mendaftarkan diri dalam pemilu harus berikrar bahwa mereka meyakini (Nabi) Muhammad adalah nabi terakhir. Jika ikrar tidak dilakukan, nama pemilih akan didaftarkan secara terpisah sebagai (penganut) Ahmadiyah/Qodianiyah yang sudah dinyatakan oleh parlemen sebagai non-Muslim sejak tahun 1974.
Tetapi, para demonstran yang sudah sedemikian kecewa telah menduduki jalan utama menuju Islamabad sejak awal November ini. Mereka menolak klarifikasi pemerintah, dan juga menolak menghentikan aksi hingga Menteri Hukum dipecat. Bahkan, menyusul tindakan keras aparat kepolisian pada hari Sabtu lalu yang menewaskan 7 orang dan melukai ratusan lainnya, pemimpin demonstran Khadim Hussein Rizvi menuntut seluruh anggota kabinet (menteri) mengundurkan diri.
Perkembangan baru kemudian muncul setelah pemerintah Pakistan mengerahkan unit paramiliter untuk “menangani” para pengunjuk rasa. Langkah pemerintah tersebut dilakukan setelah Panglima Militer negera itu menyarankan pemerintah untuk tidak mengerahkan tentara dalam rangka menekan demonstran. Demikian menurut sumber dari Kementerian Dalam Negeri.
Kemendagri menindaklanjuti dengan menunjuk Mayor Jenderal Azhar Naveed Hayat, komandan unit rangers di provinsi Punjab untuk memimpin operasi menangani dan menghentikan aksi unjuk rasa yang dianggap telah memutus jalur dan akses ke ibukota sejak awal November.
Mengutip pernyataan sejumlah pejabat secara anonim, stasiun televise lokal Dunya TV melaporkan, komandan unit paramiliter “Rangers” itu ditugaskan untuk bernegosiasi dengan para pengunjuk rasa, sekaligus menghentikan aksi pengepungan mereka yang diorganisir oleh ormas “Tehrik Labbaik Ya Rasoolallah”. Tehrik Labbaik Ya Rasoolallah merupakan sebuah ormas baru yang terkait dengan kelompok kajian Sunni-Barelvi.
Sumber: Kiblatnet/ WB
(samirmusa/arrahmah.com)