JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengemukakan, intelijen tidak selalu memiliki kewenangan untuk menangkap atau melakukan penyadapan. “Intelijen itu ibaratnya ‘mata’ dan ‘telinga’….yang memberikan informasinya kepada pihak tertentu untuk ditindaklanjuti. Intelijen itu tidak harus menangkap, ada pihak tertentu yang memiliki kewenangan itu,” katanya di Jakarta, Senin (27/6/2011).
RUU Keamanan Nasional yang telah diserahkan pada parlemen pada pekan lalu memuat perihal kewenangan penangkapan dan penyadapan oleh unsur keamanan nasional dalam penjelasan pasal 54 huruf e. Menhan menuturkan, kegiatan intelijen tidak semata dilakukan oleh unsur militer dan keamanan, instansi lain pun memiliki aparat intelijen yang merupakan mata dan telinga untuk menghimpun segala informasi dan sesuatu yang dibutuhkan.
“Kegiatan intelijen sangat dibutuhkan, terutama menyangkut pertahanan dan keamanan namun tidak harus disertai dengan kewenangan untuk menangkap, ada aparat yang berwenang untuk itu,” ujarnya menegaskan. Tak hanya itu, kewenangan menangkap dan menyadap intelijen juga disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi negara apakah darurat militer atau darurat sipil yang membutuhkan perhatian dan penanganan khusus yang cepat dan tepat, kata Purnomo.
“Dan status darurat militer atau darurat sipil pun ditetapkan atas beberapa kriteria. Tidak sembarangan,” katanya menambahkan. Purnomo mengemukakan, keputusan pemerintah untuk memasukkan kewenangan menangkap dan melakukan penyadapan oleh unsur keamanan nasional dimasukkan dalam RUU Keamanan Nasional didasari perkembangan ancaman yang terjadi.
“Ancaman terhadap keamanan dan pertahanan itu beragam, seperti bencana gempa bumi, tsunami, terorisme, separatisme, pandemi,” katanya. Karena itu, lanjut Menhan, perlu kegiatan intelijen untuk mengantisipasi dan mendeteksi lebih dini. “Jadi kegiatan intelijen itu harus disikapi secara hati-hati, dan tidak harus menangkap,” kata Purnomo menegaskan. (ant/arrahmah.com)