JAKARTA (Arrahmah.com) – Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro berbicara “blak-blakan” dengan sejumlah pimpian media massa nasional soal keterkaitan perang dengan perebutan sumber daya alam, termasuk soal pemilihan dirinya untuk menduduki jabatan menteri pertahanan yang sebelumnya menjabat sebagai menteri energi dan sumber daya mineral.
“Bicara soal perang dan perebutan dalam pengelolaan sumber daya alam memang terkait. Presiden dalam salah satu acara bahkan menekankan ancaman keamanan masa depan adalah perang non-konvensioanl,” katanya dalam tatap muka dengan pimpinan media massa di Jakarta, Jumat (5/2).
Ia lantas menyebutkan ancaman non-perang seperti, perang yang terkait dengan energi, terorisme, perdagangan manusia, perubahan iklim dan pembalakan liar.
Purnomo kemudian menceritakan pengalamannya semasa menjabat menteri energi dan sumber daya mineral, tatkala salah satu perusahaan minyak multinasional hendak mengekspolrasi di perairan Ambalat melalui perusahaan minyak Malaysia.
“Pola yang dipakai sama persis seperti yang digunakan terhadap Brunei yaitu memunculkan kawasan yang disengketakan namun menawarkan kerjasama untuk melakukan kegiatan eksplorasi bersama,” katanya.
Indonesia, katanya, tidak mau dan tetap bersikukuh untuk menyelesaikan dulu persoalan perbatasannya baru kemudian berbicara soal kerjasama. Kalau mengikuti keinginan tersebut, maka selamanya akan tetap menjadi kawasan sengketa sementara kekayaan alamnya sudah tergali lebih dulu.
Pada pertemuan itu, pemimpin redaksi media massa menyingung berbagai persoalan mulai dari polemik rumah dinas TNI yang ditempati purnawirawan dan rakyat umum lainnya, hingga daerah perbatasan yang memerlukan pengawalan patroli secara rutin.
“Untuk perumahan dinas TNI, kalau berdasarkan peraturan yang ada maka hal itu merupakan aset negara yang memprioritaskan kepada prajurit aktif. Namun kita juga memiliki toleransi. Toleransi inilah yang perlu disosialisasikan,” katanya.
Mengenai konsep keamanan Indonesia yang ideal, ia mengatakan bahwa untuk saat ini yang terbaik adalah berupaya mewujudkan sistem kekuatan minimum yang “multi-purpose”, yakni memiliki kemampuan berperang (strike force function) sekaligus non-perang (non strike function) secara memadai.
Menhan mengemukakan hal itu juga terkait dengan program seratus hari Kementrian Pertahanan.
“Kita memang tidak muluk-muluk membangun kekuatan pertahanan besar dengan kondisi saat ini. Namun kita tetap menyadari bahwa jika ingin ada perdamaian kita juga memerlukan kesiapan untuk berperang,” katanya.
Kementrian pertahanan, katanya, memahami bahwa perlu ongkos yang sangat besar untuk memenuhi tuntutan ideal akan kebutuhan pertahanan yang bisa menjaga kedaulatan Negara kesatuan Indonesia secara maksimal.
Mantan Wakil Gubernur lemhannas itu kemuadian memberikan perbandingan mengenai anggaran pertahanan di negara-negara Asia Tenggara yang rata-rata mencapai satu-dua persen dari Gross Domestic Product (GDP). Sedangkan TNI baru bisa memenuhi 0,6 persen dari GDP-nya.
“Untuk itulah kementrian pertahanan mewujudkan konsep sistem keamanan yang pro kesejahteraan bagi prajuritnya lebih dulu,” katanya. (ant/arrahmah.com)