Oleh: Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Dosen pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
Pengungsi Rohingya adalah salah satu kelompok etnis minoritas yang paling teraniaya di dunia. Mereka berasal dari negara bagian Rakhine di Myanmar, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, pemerintah Myanmar tidak mengakui mereka sebagai warga negara, melainkan sebagai pendatang ilegal dari Bangladesh. Akibatnya, mereka tidak memiliki hak-hak sipil, politik, sosial, dan ekonomi yang layak. Mereka juga sering menjadi sasaran diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer dan kelompok etnis Buddha lainnya (Zawacki, 2012).
Sejarah genosida Rohingya oleh rezim komunis di Myanmar dimulai sejak tahun 1962, ketika jenderal Ne Win menggulingkan pemerintahan demokratis dan menetapkan ideologi nasionalis Burma. Sejak saat itu, Rohingya mengalami berbagai bentuk penindasan, seperti pembatasan pergerakan, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan perkawinan. Mereka juga harus membayar pajak yang tinggi, menghadapi konfiskasi tanah, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemusnahan massal. Menurut laporan The Lancet pada tahun 2017, lebih dari satu juta Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 1978, dan sekitar 200 ribu orang meninggal akibat kekerasan dan kelaparan (Mahmood et al., 2017).
Salah satu episode paling tragis dalam sejarah Rohingya terjadi pada 2017, ketika militer Myanmar melancarkan operasi bersih-bersih etnis terhadap mereka sebagai balasan atas serangan bersenjata oleh kelompok pemberontak Rohingya. Operasi ini mengakibatkan pembakaran desa-desa Rohingya, pembantaian ribuan orang, pemerkosaan wanita dan anak-anak, dan pengusiran lebih dari 700 ribu orang ke Bangladesh. PBB menyebut operasi ini sebagai contoh textbook genocide atau genosida klasik (Albert dan Maizland, 2020).
Salah satu tokoh yang paling mengecewakan dalam krisis Rohingya adalah Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar yang pernah mendapatkan Nobel Perdamaian pada tahun 1991 karena perjuangannya melawan kediktatoran militer. Namun, setelah ia berkuasa pada 2015 melalui pemilu demokratis pertama dalam lima dekade, ia tidak berbuat apa-apa untuk melindungi hak-hak Rohingya. Bahkan, ia membela tindakan militer Myanmar dan menolak adanya genosida. Ia juga mengabaikan kritik dan desakan dari komunitas internasional untuk menghentikan kekerasan dan memberikan kewarganegaraan kepada Rohingya. Banyak orang yang menganggap sikap Aung San Suu Kyi sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan yang pernah ia junjung tinggi (Lee, 2014; Wiles, 2017; Cagape, 2020; Zahed dan Jenkins, 2022; Connelly, 2017).
Di tengah penderitaan Rohingya yang tak berkesudahan, hanya ada satu bangsa yang berkenan menerima mereka dengan tangan terbuka: bangsa Aceh. Aceh adalah provinsi di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan memiliki sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda dan pemerintah pusat Jakarta. Pada 2004, Aceh dilanda bencana tsunami yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang. Namun, bencana ini juga membawa damai bagi Aceh setelah pemerintah Indonesia dan gerakan separatis GAM menandatangani perjanjian damai pada 2005. Sejak saat itu, Aceh menikmati otonomi khusus yang memberikan hak-hak politik dan budaya kepada rakyatnya.
Aceh menjadi tempat perlindungan bagi ratusan pengungsi Rohingya yang terdampar di perairan Indonesia pada tahun 2015 dan 2020. Masyarakat Aceh menyambut mereka dengan hangat dan memberikan bantuan berupa makanan, pakaian, obat-obatan, dan tempat tinggal. Pemerintah Aceh juga memberikan izin kepada mereka untuk tinggal sementara di Aceh dan mengurus dokumen-dokumen mereka. Beberapa organisasi kemanusiaan, seperti UNHCR, IOM, dan Dompet Dhuafa, juga turut membantu pengungsi Rohingya di Aceh (Ware dan Laoutides, 2018; Kipgen, 2014; Leider, 2018).
Namun, nasib pengungsi Rohingya di Aceh tidak selamanya mulus. Mereka juga menghadapi tantangan dan hambatan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru mereka. Salah satu masalah yang muncul adalah penolakan dari sebagian mahasiswa Aceh yang menganggap pengungsi Rohingya sebagai beban dan ancaman bagi Aceh. Mahasiswa Aceh menuntut agar pemerintah Aceh segera mengusir pengungsi Rohingya dari Aceh dan menyerahkan mereka kepada pemerintah pusat atau negara lain. Mereka juga melakukan aksi protes dan intimidasi terhadap pengungsi Rohingya di beberapa lokasi penampungan. Menurut laporan Robbins (2020), penolakan mahasiswa Aceh terhadap pengungsi Rohingya dipicu oleh provokasi dari oknum intelejen yang ingin menggagalkan proses integrasi dan rekonsiliasi antara Aceh dan Indonesia.
Penolakan mahasiswa Aceh terhadap pengungsi Rohingya adalah ironis dan menyedihkan. Pasalnya, Aceh sendiri pernah mengalami nasib yang sama dengan Rohingya, yaitu menjadi korban kekerasan, diskriminasi, dan penindasan oleh pihak berkuasa. Selain itu, Aceh juga pernah mendapatkan bantuan kemanusiaan dari berbagai negara dan organisasi internasional ketika menghadapi bencana tsunami dan konflik bersenjata. Oleh karena itu, seharusnya Aceh memiliki empati dan solidaritas terhadap pengungsi Rohingya yang merupakan saudara seagama dan sesama manusia. Mengusir pengungsi Rohingya dari Aceh bukanlah solusi yang bijak dan beradab, melainkan tindakan yang zalim dan tidak berperikemanusiaan.*