Oleh : Puguh Saneko (Lajnah Maslahiyah/Kebijakan Publik HTI Jawa Timur)
(Arrahmah.com) – Sejak awal Januari 2014 yang lalu Pemerintah secara resmi telah memberlakukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada tahun ini SJSN masih dilaksanakan dalam bentuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan nantinya secara bertahap akan diberlakukan pula jenis program jaminan sosial yang lain seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Saat ini, pro-kontra tentang JKN semakin ramai di masyarakat. Dari persolan teknis hingga persoalan yang sistematis. Sebetulnya hal ini bukanlah yang pertama kali, sejak UU ini digodok di DPR hingga disahkan sudah menuai pro dan kontra. Sehingga tidaklah mengherankan meskipun sudah disahkan sepuluh tahun yang lalu akan tetapi UU tentang SJSN ini baru sekarang bisa direalisasikan. Bak benang kusut, SJSN dan JKN menjadikan persoalan dalam bidang pelayanan kesehatan di negeri ini menjadi semakin rumit untuk diselesaikan.
Definisi SJSN dan JKN
Dalam UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara jaminan sosial. Dan yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah salah satu perlindungan sosial untuk menjamin seuruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Sedangkan JKN adalah perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. (PP No 101 Tahun 2012). Kata “jaminan” menurut kamus besar bahasa Indonesia sejatinya memiliki arti menanggung. Jika mengacu pada arti kata jaminan tersebut, seharusnya pemerintahlah yang menanggung kebutuhan masyarakat. Namun yang terjadi dalam SJSN justru masyarakat sendirilah yang menanggung biaya pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya dengan membayar iuran kepada BPJS. Sehingga SJSN dan JKN sejatinya hanyalah asuransi sosial nasional yang diberi label jaminan sosial nasional oleh pemerintah.
Anehnya meskipun mengetahui bahwa SJSN sejatinya asuransi nasional yang justru akan membebani rakyat, pemerintah justru memberlakukannya ditengah carut marut kondisi ekonomi masyarakat. Bahkan pada tahun 2019 nanti, pemerintah berencana mewajibkan seluruh rakyat untuk menjadi peserta SJSN dan memberikan sanksi bagi setiap orang di negeri ini yang tidak mau menjadi peserta SJSN. Sehingga mengesankan kebijakan ini dipaksakan oleh pemerintah. Meskipun memunculkan banyak persoalan di sana sini dan banyak yang menentang kebijakan ini, alih-alih membatalkannya pemerintah justru selalu berkelit dibalik amanat UU. UU di negeri yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia dianggap sebagai perwujudan dari aspirasi masyarakat. Selama ada UU yang menjadi landasan kebijakannya, pemerintah akan terus melaksanakan kebijakannya walaupun menyengsarakan rakyatnya.
Konspirasi asing dibalik SJSN dan JKN
Meskipun UU ini telah disetujui dan disahkan oleh DPR, namun sejatinya UU ini tidak menggambarkan aspirasi rakyat Indonesia bahkan sarat dengan kepentingan asing. Dalam tulisannya yang berjudul ‘Washington Consensus or Washington Confusion?’ yang dimuat dalam Foreign Policy, No. 18 tahun 2000, hal. 86 -103, Moises Naim mengulas tentang peran Konsensus Wasington pada pengambilan kebijakan ekonomi di negara-negara berkembang. Lebih lanjut Naim menjelaskan bahwa munculnya konsensus ini diawali dari kegagalan pemerintah AS dalam menjalankan kegiatan ekonominya, yang memicu sebuah organisasi Bretton Woods dan Badan Ekonomi Amerika Serikat untuk merekomendasikan suatu upaya stabilisasi ekonomi melalui kebijakan penyesuaian struktural. Rekomendasi tersebut lebih menitiktekankan pada pemberlakuan kebijakan makro ekonomi dan keuangan yang lebih hati-hati, nilai tukar mata uang yang lebih kompetitif, liberalisasi keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Secara eksplisit, Konsensus Washington hendak menghilangkan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi, misalnya lewat kebijakan deregulasi dan privatisasi. Sejak saat itulah Bank Dunia dan IMF menggulirkan Reformasi Generasi Kedua (Second-Generation Reforms) untuk menambal kegagalan proyek ekonomi yang pertama.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terpengaruh Konsensus Washington. Hal tersebut terlihat sangat nyata pada delapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI) oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002 yang telah menghasilkan sejumlah undang-undang yang makin membuat rakyat menderita. Ragam UU tersebut juga makin mengokohkan penjajahan sosial dan ekonomi di Indonesia melalui liberalisasi dan swastanisasi pengelolaan sumberdaya alam serta komersialisasi layanan publik. Di bidang ekonomi ada UU PMA , UU Migas, UU Minerba dan UU SDA yang semuanya merugikan rakyat dan mengokohkan penjarahan kekayaaan milik rakyat oleh para kapitalis baik lokal maupun asing. Di bidang Pendidikan muncul UU Sisdiknas dan UU BHP yang melahirkan swastanisasi dan komersialisasi layanan pendidikan. Di bidang kesehatan lahir UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan swastanisasi layanan publik di bidang kesehatan.
Pembuatan UU SJSN merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan, “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa ADB terjun langsung dalam bentuk bantuan teknis. “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).” ADB menggandeng LSM asing di antaranya adalah GTZ (Gesselschaft fuer Technische Zusammenarbeit) dan FES (Friedrich-Ebert-Stiftung). GTZ ikut aktif dalam penyusunan draft UU BPJS dan FES terlibat melakukan kampanye terhadap organisasi serikat buruh untuk pembentukan BPJS melalui seminar dan aksi-aksinya. Dalam Draft white paper SJSN bahwa dokumen tersebut terwujud melalui bantuan Bank Pembangunan Asia/Asian Development Bank (ADB) dan Mr. Mitchell Wiener, seorang Spesialis Sektor Keuangan Barat yang bekerjasama dengan ADB. Maka bisa disimpulkan bahwa sejatinya setiap kebijakan yang digulirkan di negeri ini tidak pernah terlepas dari intervensi dan prakarsa asing.
Meminjam suatu istilah dalam ilmu statistika bahwa jika dua kelompok atau lebih dalam keadaan homogen (memiliki kemiripan yang signifikan) maka bisa dikatakan bahwa dua hal tersebut berasal dari populasi yang sama. Demikian halnya dengan pemberlakuan deregulasi, swastanisasi termasuk didalamnya swastanisasi sektor kesehatan baik yang terjadi di AS maupun Indonesia bisa dikatakan pula bahwa dua kejadian tersebut berasal dari sumber yang sama. Ya dari sumber yang sama, Liberalisme dan Kapitalisme yang dianut dan dijadikan pijakan dalam setiap kebijakan di negeri ini telah membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Kehancuran sektor ekonomi di negeri ini sebagaimana kegagalan pemerintahan AS pada proyek ekonominya yang pertama, telah memaksa pemerintah menerapkan kebijakan deregulasi dan swastanisasi di segala bidang (baca: Konsensus Wasington). Disisi lain adanya intervensi asing dalam penentuan kebijakan yang liberalistik tersebut semakin menguatkan (baca: memaksa) pemerintah dalam setiap kebijakannya. Alih-alih menyembuhkan (sebagai solusi) permasalahan ekonomi di negeri ini, kebijakan deregulasi dan swastanisasi justru akan semakin memperparah penyakit kronis negeri ini karena keduanya berasal dari sumber penyakit yang sama yaitu Sekulerisme, Liberalisme dan Kapitalisme.
SJSN hanya menguntungkan para kapitalis
Dalam pasal 47 UU SJSN dan pasal 11.b UU BPJS dinyatakan bahwa BPJS mempunyai wewenang untuk menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang. Senada dengan hal tersebut, Siti Fadhilah menyatakan, meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan sosial; tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Dana yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan.
Dalam pasal 4 UU SJSN bahwa BPJS adalah lembaga keuangan Negara yang bersifat nirlaba. Ya betul, bahwa BPJS bersifat nirlaba, karena sifatnya yang nirlaba maka ketika BPJS menginvestasikan dana SJSN ke perusahan-perusahan swasta baik dalam negeri maupun luar negeri tanpa disertai orientasi keuntungan. Ini artinya para capital akan dengan sangat leluasa menggunakan dana SJSN (atas nama investasi) tanpa harus terbebani harus memberikan keuntungan dalam jumlah tertentu pada BPJS. Dana SJSN ini bisa menjadi sumber modal ketiga pagi para pengusaha setelah perbankan dan pasar saham. Bukannya rakyat sendiri yang diuntungkan tapi justru pengusaha yang diuntungkan. Ini namanya pengusaha untung, rakyat bunting.
Pandangan Islam tentang kesehatan dan pelayanan kesehatan
1. Kesehatan dalam pandangan Islam
Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).
Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).
Dalam Islam, kesehatan juga dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun kafir. Karena itu, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Pandangan Islam yang tinggi terhadap kesehatan itu sesungguhnya bagian integral dari totalitas sistem kehidupan Islam. Sistem ini didesain Allah Subhanahu wa Ta’ala secara unik untuk diterapkan pada institusi politik yang Dia desain secara unik pula, yakni Khilafah. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam. telah membangun fondasi yang kokoh bagi terwujudnya upaya preventif-promotif dan kuratif. Ini terjadi saat syariah Islam turun secara sempurna dan diterapkan secara sempurna pula. Upaya preventif seperti mewujudkan pola emosi yang sehat, pola makan yang sehat, pola aktivitas yang sehat, kebersihan, lingkungan yang sehat, perilaku seks yang sehat serta epidemi yang terkarantina dan tercegah dengan baik tak lain adalah buah manis yang niscaya dapat dinikmati saat syariah Islam diterapkan secara kaffah. Keberhasilan Rasulullah saw. melakukan upaya preventif-promotif direfleksikan oleh sebuah peristiwa yang terukir indah dalam catatan sejarah, yaitu saat dokter yang dikirim Kaisar Romawi selama setahun berpraktik di Madinah kesulitan menemukan orang yang sakit.
2. Jaminan Kesehatan di dalam Islam
Pelayanan kesehatan Khilafah dibangun di atas paradigma, bahwa kesehatan merupakan kebutuhan pokok publik, siapapun dia, miskin-kaya, rakyat-penguasa, muslim-kafir, dan demikianlah faktanya. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya“(HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Artinya, dengan alasan apapun, negara tidak berwenang merampas (mengkomersilkan) hak publik tersebut, sekalipun ia orang yang mampu membayar pelayanan kesehatan. Hal ini karena Negara hanya diberi kewenangan dan tanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan semua warga negara. Rasulullah saw bersabda:
اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).
Pelayanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya dan semunya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan sumber pembiayaan dari Baitul Mal. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukan Rasulullah saw. kepada delapan orang dari Urainah yang menderita gangguan limpa. Saat itu mereka datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Mereka dirawat di kawasan pengembalaan ternak kepunyaan Baitul Mal, di Dzil Jildr arah Quba’. Selama dirawat mereka diberi susu dari peternakan milik Baitul Mal. Demikian pula yang terlihat dari tindakan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau mengalokasikan anggaran dari Baitul Mal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam.
Banyak institusi pelayanan kesehatan yang didirikan selama masa Kekhilafan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gratis terpenuhi. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4000 pasien. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama pasien; tampa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan.
Negara tidak luput melaksanakan tanggung jawabnya kepada orang-orang yang mempunyai kondisi sosial khusus, seperti yang tinggal di tempat-tempat yang belum mempunyai rumah sakit, para tahanan, orang cacat dan para musafir. Untuk itu negara mendirikan rumah sakit keliling tanpa mengurangi kualitas pelayanan. Ini seperti pada masa Sultan Mahmud (511-525 H). Rumah sakit keliling ini dilengkapi dengan alat-alat terapi kedokteran, dengan sejumlah dokter. Rumah sakit ini menelusuri pelosok-pelosok negara.
Tenaga kesehatan pemberi pelayananpun juga tenaga kesehatan yang berkualitas dan pilihan. Tenaga medis yang diterima bertugas di rumah sakit, misalnya, hanyalah yang lulus pendidikan kedokteran dan mampu bekerja penuh untuk dua fungsi rumah sakit: menyehatkan pasien berdasarkan tindakan kedokteran yang terbaharui (teruji); memberikan pendidikan kedokteran bagi calon dokter untuk menjadi para dokter yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pengobatan pasien. Hal ini terlihat dari tes yang dilakukan Adhud ad-Dawla terhadap seratus orang dokter calon tenaga medis di Al-‘Adhudi Bimaristan (rumah sakit). Yang lulus akhirnya 24 dokter saja.
Kepada tenaga kesehatan tersebut juga diberikan gaji yang cukup, dan diberikan pemahaman yang baik. Selama menjalani pendidikan tenaga kesehatan pemberi pelayanan diberikan pendidikan yang tidak hanya berorientasi materi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar Muhammad bin Zakaria al-Razi, atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat, merupakan salah seorang pakar sains yang hidup antara tahun 251-313 H/865-925 M, beliau adalah seorang dokter. Sebagai ilmuan sekaligus dokter, ar-Razi memberikan panduan kepada murid-muridnya, bahwa tujuan utama para dokter adalah menyembuhkan orang sakit lebih besar ketimbang niat untuk mendapatkan upah atau imbalan materi lainnya. Mereka diminta memberikan perhatian kepada orang fakir, sebagaimana orang kaya maupun pejabat negara. Mereka juga harus mampu memberikan motivasi kesembuhan kepada pasiennya, meski mereka sendiri tidak yakin. Karena kondisi fisik pasien banyak dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya (‘Abdul Mun’im Shafi, Ta’lim at-Thibb ‘Inda al-Arab, hal. 279).
Kepada tenaga pemberi pelayanan kesehatan juga diberikan gaji yang cukup. Seorang dokter ophthalmology (spesialis mata) bernama Qolawun menyampaikan bahwa beliau mendapatkan gaji sebesar 2000 dirham dan diberi bonus tahunan sebesar 20.000 dirham. Jika kita hitung standar rupiah maka rata-rata perbulan seorang dokter spesialis bisa mendapatkan gaji sekitar 46 juta rupiah.
3. Pembiayaan Kesehatan di dalam Islam
Jika dalam SJSN dan JKN pembiayaan kesehatan bersumber dari iuran peserta dan bagi yang miskis dan tidak mampu iurannya dibayar oleh pemerintah melalui APBN yang sumber utamanya dari pajak, maka lain halnya dengan pembiayaan kesehatan dalam Islam. Islam menetapkan kebutuhan pokok berupa pelayanan yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ketiganya harus dijamin oleh negara. Pemenuhan atas ketiga pelayanan itu (pendidikan, kesehatan dan keamanan) bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali langsung menjadi kewajiban negara. Memberikan jaminan atas semua itu dan juga semua pelayanan kepada rakyat, tentu membutuhkan dana yang besar. Untuk itu syariah telah mengatur pengelolaan keuangan negara (APBN) secara rinci.
Abdul Qadim Zallum (1983) dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah), secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pemasukan negara (Baitul Mal). Pertama: hasil pengelolaan harta milik umum dengan ketiga jenisnya. Potensi pemasukan dari jenis pertama ini sangat besar di Dunia Islam, tentu jika dikelola dengan benar sesuai syariah. Kedua, hasil pengelolaan fai, kharaj, ghanimah, jizyah, ‘usyur dan harta milik negara lainnya dan BUMN selain yang mengelola harta milik umum. Ketiga, harta zakat. Hanya saja zakat bisa dikatakan bukan mekanisme ekonomi. Zakat adalah ibadah yang ketentuannya bersifat tawqifi baik pengambilan maupun distribusinya. Keempat, sumber pemasukan temporal. Ini sifatnya non-budgeter. Di antaranya: infak, wakaf, sedekah dan hadiah; harta ghulul(haram) penguasa; harta orang murtad; harta warisan yang tidak ada ahli warisnya; dharibah (pajak); dll.
Kesimpulan
SJSN adalah produk kebijakan yang bersumber dari sistem kapitalis sekuler. SJSN hanya akan menzhalimi rakyat dan menguntungkan para pemodal dan asing. SJSN bertentangan dengan Islam sehingga sudah sepatutnyalah untuk kita tolak. Solusi permasalahan pelayanan kesehatan adalah Islam yaitu dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Hanya dengan penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai khilafahlah maka pelayanan kesehatan gratis dan berkualitas akan bisa dirasakan oleh masyarakat. WaLlohu a’lam bi ash-shawab. (azm/arrahmah.com)