(Arrahmah.com)– Dalam dua artikel sebelumnya (bagian 1, bagian 2), kita telah menguraikan alasan yang melatar belakangi berbagai lembaga Islam internasional dan ulama Islam dari berbagai negara menjatuhkan vonis kafir murtad terhadap taghut Libia, Moammar Qaddafi. Sampai akhir hayatnya, Qaddafi tidak pernah menarik kembali berbagai ucapan, perbuatan, dan kebijakan kufurnya. Seruan, ajakan, dialog, dan utusan para ulama Islam yang mengajaknya bertaubat tak pernah ia gubris. Dalam artikel ketiga ini, kita akan mengangkat ‘kegilaan-kegilaan’ Qaddafi yang lain, semoga menjadi renungan dan pelajaran bagi setiap muslim.
6. Qaddafi mengaku dirinya adalah seorang nabi
Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ ulama menegaskan bahwa nabi Muhammad SAW adalah penutup seluruh nabi dan rasul. Sepeninggal beliau, tidak ada lagi seorang nabi atau rasul yang diutus ke muka bumi. Barangsiapa mengklaim dirinya sebagai nabi sepeninggal beliau atau membenarkan orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi, maka orang tersebut telah kafir murtad menurut ijma’ ulama karena mendustakan Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ ulama di atas.
Allah SWT berfirman,
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab (33): 40)
Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda,
“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, maka ia digantikan oleh nabi lainnya. Sesungguhnya tiada seorang nabi pun sepeninggalku, namun yang ada adalah para khaifah dan jumlah mereka banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwasanya Rasulullah SAW berangkat ke medan perang Tabuk dan mengangkat Ali sebagai penggantinya (untuk sementara waktu mengurus kota Madinah), Maka Ali berkata, “Apakah Anda akan meninggalkan aku bersama anak-anak dan kaum wanita?” Maka Nabi SAW bersabda, “Apakah engkau tidak rela jika kedudukanmu dariku seperti kedudukan nabi Harun dari nabi Musa (saat nabi Musa menerima wahyu di bukit Thursina, nabi Harun menggantikan posisinya memimpin Bani Israel, pent)? Hanyasaja tiada seorang nabi pun sepeninggalku.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Tsauban RA bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya di tengah umatku akan muncul tiga puluh orang Kadzab (pembohong besar), masing-masing di antara mereka mengklaim dirinya adalah nabi. Padahal aku adalah penuup seluruh nabi, tiada seorang nabi pun sepeninggalku.” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, al-Baihaqi, dan al-Baghawi)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah Tabaraka wa Ta’ala telah memberitahukan dalam kitab-Nya dan Rasul-Nya SAW telah memberitahukan dalam sunnah mutawatir bahwasanya tiada seorang nabi pun sepeninggal beliau. Hal itu agar mereka mengetahui bahwa setiap orang yang mengklaim kedudukan kenabian sepeninggal beliau adalah seorang pembohong besar, pendusta, orang yang sesat lagi menyesatkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/502)
Qaddafi mengklaim dirinya adalah seorang Nabi. Hal itu diungkapkannya dalam wawancara dengan wartawati Italia yang menulis biografinya, Mirella Bianco. Wartawati itu bertanya kepadanya, “Wahai utusan Allah (Rasulullah), apakah Anda dahulu seorang penggembala kambing?” Qaddafi menjawab, “Ya, tiada seorang nabi pun yang tidak melakukan hal itu.” (Qaddafi Rasul ash-Shahra’, hlm. 241, karya Mirella Bianco)
Berkaitan dengan kelancangan Qaddafi mengklaim dirinya adalah nabi ini, beberapa lembaga Islam internasional telah mengadakan pertemuan khusus untuk membahasnya di kantor pusat Rabithah Alam Islami di Jedah, pada hari Selasa-Kamis tanggal 11-14 Dzulhijah 1400 H (20-23 Oktober 1980 M). Rabithah Alam Islami, Dewan Masjid Interasional, dan 39 ulama Islam dari berbagai negara yang ikut serta dalam pertemuan tersebut mengeluarkan pernyataan sikap bersama.
Di antara isinya adalah vonis kafir-murtad untuk Qaddafi, dan ajakan kepadanya untuk bertaubat, mencabut seluruh kekafirannya, dan kembali masuk Islam. Rabithah Alam Islami mendokumentasikan hasil pertemuan berbagai lembaga Islam Internasional dan para ulama Islam dari berbagai negara tersebut dalam sebuah buku yang diterbitkan tahun 1406 H, berjudul Ar-Raddu asy-Syaafi ‘ala Muftarayat Qaddafi (Bantahan tuntas atas kebohongan-kebohongan Qaddafi).
Qaddafi bahkan mengklaim dirinya tidak bisa dimintai pertanggung jawaban oleh siapa pun atas apapun yang ia kerjakan, sebagaimana Allah SWT tidak dimintai pertanggung jawaban atas apa pun yang Dia kehendaki dan Dia lakukan. Qaddafi membandingkan dirinya dengan Allah SWT, seakan-akan Qaddafi-lah pencipta bumi Libya dan seluruh penduduknya. Dalam pidato pembukaan Konferensi Kebangsaan di ibukota Tripoli pada tanggal 27 Januari 1990 M, Qaddafi mengatakan:
“Saya tidak dimintai pertanggung jawaban di hadapan siapa pun. Orang yang melakukan revolusi (maksudnya adalah Qaddafi sendiri, edt) bukanlah orang yang ditunjuk. Engkau tidak memberinya tugas untuk melakukan revolusi. Dia sendiri yang melakukan revolusi, berkorban sendiri, mengemban tanggung jawabnya sendiri. Dia hanya bertanggung jawab kepada hati nuraninya sendiri. Ia tidak dimintai pertanggung jawaban di hadapan satu orang lain pun.
Allah adalah Sang pencipta, pencipta langit dan bumi. Siapa yang akan melakukan hisab (perhitungan amal dan pengadilan atas semua perbuatan, edt) terhadap-Nya? Dia mendatangkan kepada kita angin ribut, badai topan, dan cuaca. Dia mendatangkan hari kiamat. Dia menghancurkan seluruh dunia. Siapa yang akan menanyai-Nya (meminta pertanggung jawaban-Nya, edt)? Sekarang, tidak ada. Tidak ada seorang pun yang menunjuk-Nya dengan mengatakan, “Engkau menjadi tuhan, lalu apa yang akan Kau lakukan?” Ini tidak benar karena Dia SWT adalah Sang Pencipta Yang mengadakan (langit dan bumi, edt). Dia mengatakan kepada segala sesuatu ‘Jadilah!, niscaya ia akan terwujud. Dia melakukan apa pun yang Dia kehendaki. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Pencipta langit dan bumi. Oleh karena itu, kami yang melaksanakan revolusi hanya bertanggung jawab di hadapan hati nurani kami.”
Sungguh benar pernyataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harrani, “Tiada seorang pun yang mengklaim dirinya adalah nabi, melainkan pada dirinya akan nampak jelas kebodohan, kedustaan, kebejatan, dan penguasaan (tipuan) setan atas dirinya, yang akan diketahui dengan jelas oleh siapa pun yang memiliki akal.” (Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal ‘Amaliyah, hlm. 185, karya Dr. Abdul Aziz bin Muhammad al-Abdul Lathif)
7. Qaddafi menerapkan hukum positif (hukum jahiliyah) dan tidak menerapkan hukum Allah
Qaddafi menegakkan pemerintahannya di atas dasar sekulerisme, yaitu demokrasi ala Qaddafi dan sosialisme. Qaddafi mencampakkan hukum Allah dari kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan militer Libya. Ia melakukan tahrif atas Al-Qur’an, mengingkari As-sunnah, dan menyingkirkan syariat Allah dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai gantinya ia menerapkan sistem jahiliyah modern, yaitu al-kitab al-akhdar. Itulah kitab suci Qaddafi yang diwahyukan kepadanya oleh setan jin dan setan (tuan zionis, salibis, sosialis-komunis, dan paganis internasional). Qaddafi memerangi semua muslim, organisasi Islam, dan gerakan Islam di Libya yang menuntut —apalagi memperjuangkan dengan jihad fi sabilillah — penegakan syariat Allah di bumi Libya.
Seperti para taghut dan gembong kekafiran lainnya di negeri-negeri kaum muslimin, Qaddafi juga melakukan kamuflase untuk menutup-nutupi kekafiran dan semua usahanya dalam memerangi syariat Islam. Di antaranya, Qaddafi mengangkat semboyan ‘Al-Qur’an adalah syariat (undang-undang) masyarakat’. Qaddafi juga membuat beberapa yayasan Islam dan organisasi Islam. Seperti Jam’iyah ad-Da’wah al-Islamiyah al-‘Alamiyah (Organisasi Dakwah Islam Internasional) yang bekerja keras untuk menampilkan sosok Qaddafi sebagai satu-satunya pemimpin sejati kaum muslimin sedunia. Organisasi ini menjadi kepanjangan tangan Qaddafi dalam memuluskan tujuan-tujuannya di dalam negeri maupun luar negeri.
Meski banyak kamuflase ‘keagamaan’ telah ditempuh oleh Qaddafi, jutaan kaum muslimin di Libya dan lebih dari satu miliar kaum muslimin di luar Libya telah menjadi saksi hidup bahwa seama 42 tahun pemerintahannya, syariat Islam tidak diterapkan oleh Qaddafi di Libya. Bukan syariat Allah yang berdaulat di Libya, bukan pula undang-undang sekuler era monarchi Libya, melainkan syariat (baca: undang-undang dan pedoman hidup) Qaddafi.
Undang-undang positif (undang-undang jahiliyah hasil ketetapan manusia yang tidak berdasar syariat Allah, bahkan menyelisihi syariat Allah, edt) yang berlaku pada masa monarchi Libya telah dinyatakan tidak berlaku oleh Qaddafi pada tahun 1973 M. Sejak saat itu, semua perundang-undangan, hukum, dan peraturan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Libya adalah hasil ketetapan dan keinginan (baca: hawa nafsu) Qaddafi belaka. Dialah diktator yang memiliki kedaulatan mutlak untuk menentukan semua hukum dan peraturan.
Qaddafi menjalankan semua keinginan dan kediktatorannya tersebut dengan program nasional yang dinamakan ‘Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah’ (Kedaulatan Revolusi). Bila kita bandingkan program Qaddafi tersebut dengan keadaan di negeri ini, kurang lebih seperti penerapan Asas Tunggal Pancasila dengan penataran nasional P-4 dan GBHN-nya pada masa orde baru.
Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah mulai diluncurkan para bulan Maret 1990 M, dibidani oleh sebuah lembaga Negara yang dibentuk dan diarahkan oleh Qaddafi, bernama Mu’tamar Asy-Sya’b Al-‘Am (Konferensi Umum Bangsa). Dalam butir-butir Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah ditegaskan antara lain:
- Semua arahan pemimpin revolusi, kolonel Moammar Qaddafi, wajib dilaksanakan.
- Asy-Syar’iyah ats-Tsauriyah secara otomatis memiliki kekuatan hukum berdasar Undang-undang Revolusi, sehingga tidak menerima amandemen dan pembatalan.
Dalam pidato pembukaan Konferensi Umum Bangsa di ibukota Tripoli tanggal 27 Januari 1990 tersebut, Qaddafi mengatakan di depan seluruh peserta konferensi:
“Saya tidak memerlukan penyerahan kekuasaan dari kalian, karena aku sendiri telah memiliki seluruh bentuk kekuasaan berdasar Kedaulatan Revolusi yang saya rebut dengan kekuatan dari tangan para gubernur, mentri, dan raja pada masa yang telah lewat. Kami-lah yang kini menduduki kursi-kursi mereka, sehingga kami pula yang berhak menetapkan seluruh keputusan. Sejak saat itu, kekuasaan telah beralih ke tangan para pelaku revolusi. Kini saya berada dalam posisi yang telah saya raih dengan kekuatan. Tiada seorang pun yang dapat merebutnya dari saya, kecuali dengan kekuatan. Saya memerintah berdasar Kedaulatan Revolusi, maka saya tidak bertanggung jawab kepada pihak (lembaga Negara, edt) manapun. Karena tidak ada satu pihak pun yang menyerahkan kekuasaan kepada saya, maka tidak ada satu pihak pun yang bisa memerika (meminta pertanggung jawaban pemerintahan, edt) saya. Saya memiliki Kedaulatan Revolusi, Kedaulatan Revolusi tidak bertanggung jawab kepada siapa pun, kecuali di hadapan hati nuraninya sendiri.”
Jika seorang Qaddafi lancang menyejajarkan dirinya dengan Allah SWT, berani melakukan tahrif terhadap Al-Qur’an, berani melecehkan Rasul-Nya SAW dan mengingkari sunahnya…anda bisa membayangkan hati nurani sesuci apakah yang dimiliki oleh seorang Qaddafi??? Tentu saja hati nurani yang telah mati. Minimal hati nurani yang telah sakit parah, oleh penyakit kekufuran, kezindikan, kesombongan, dan kebencian terhadap Islam.
Qaddafi telah memerangi setiap orang yang menuntut penerapan syariat Islam di bumi Libya. Qaddafi membantai dan memenjarakan banyak ulama, santri, aktivis Islam, dan pemuda Islam yang menginginkan hidup berbangsa dan bernegara di bawah naungan Al-Qur’an dan As-sunnah. Qaddafi memberangus semua muslim dan organisasi Islam di Libya yang mengajaknya untuk mengakui ‘kedaulatan dan hak menetapkan undang-undang sepenuhnya milik Allah SWT, bukan milik Qaddafi atau manusia, siapa pun dirinya’.
Qaddafi memaksa para wanita muslimah untuk mengikuti akademi militer sehingga kehormatan mereka dinodai, kecantikan dan aurat mereka dipamerkan di hadapan kaum pria, ikhtilat (campur-baur wanita dan laki-laki yang bukan mahram) menjadi budaya, dan perbuatan keji menyebar luas di kalangan rakyat dan pejabat.
Qaddafi merampas harta kekayaan rakyat muslim Libya secara zalim, atas nama ‘aparat Revolusi menggerebek tempat-tempat produksi‘. Qaddafi memberi kekuasaan penuh kepada para gelandangan, pengangguran, dan buruh untuk menguasai rumah-rumah warga muslim Libya, atas nama ‘rumah untuk penghuninya‘. Bukankah ini adalah penerapan ajaran komunisme-sosialisme di Libya, seperti halnya PKI di zaman orde lama yang menggerakkan BTI dan SOBSI untuk merampas lahan pertanian dan perkebunan miliki perusahaan dan warga muslim non-PKI?
Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak mutlak Allah SWT. Rasulullah SAW ‘hanya’ menghalalkan dan mengharamkan sesuatu berdasar wahyu Allah SWT kepadanya. Siapa pun yang ‘menyaingi’ Allah dalam hak menghalalkan dan mengharamkan ini, dengan menghalalkan hal yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya atau mengharamkan hal yang telah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya, niscaya ia telah kafir murtad berdasar nash Al-Qur’an, as-sunnah, dan ijma’ ulama.
Allah SWT berfirman (yang artinya):
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl (16): 116)
Allah SWT menerangkan bahwa para pemimpin agama Yahudi dan Nasrani yang mengharamkan hal yang dihalalkan Allah, dan menghalalkan hal yang telah diharamkan Allah adalah ‘tuhan-tuhan tandingan’ dan kaum musyrik. Allah berfirman (yang artinya):
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah (9): 31)
Makna ayat ini dijelaskan dalam hadits Adi bin Hatim RA, seorang kepala suku Thai penganut agama Kristen. Ia datang kepada Rasulullah SAW untuk masuk Islam. Ia menemui Rasulullah SAW di Madinah dengan mengenakan kalung berbandulkan salib. Maka Rasulullah SAW membacakan ayat tersebut. Adi bin Hatim menjawab, “Wahai Rasulullah, kami (pemeluk Kristen) tidak menyembah para pendeta kami.”
Rasulullah SAW bertanya, “Bukankah ketika para pendeta kalian menghalalkan hal yang diharamkan Allah, maka kalian mengikuti ajaran mereka? Begitu pula ketika para pendeta kalian mengharamkan hal yang dihalalkan Allah, maka kalian mengikuti ajaran mereka?’
Adi bin Hatim menjawab, “Memang begitulah keadaannya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Itulah yang dimaksud dari menjadikan para pendeta sebagai tuhan selain Allah.” (HR. adalah HR. Ibnu Sa’ad, Abd bin Humaid, at-Tirmidzi, Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir ath-Thabari, Abu Syaikh al-Asbahani, Ibnu Marduwaih, dan al-Baihaqi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harrani menulis, “Manusia, kapan saja ia menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya, atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya, atau mengganti syariat (hukum Islam) yang telah disepakati, maka ia telah kafir murtad menurut kesepakatan ulama.” (Majmu’ Fatawa, 3/267)
Qaddafi mewajibkan pengajaran, pemahaman, dan penerapan al-Kitab al-Akhdhar di Libya. Ia adalah sebuah buku karangan Qaddafi yang dijadikan pedoman dan undang-undang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Libya. Qaddafi mensifati buku karyanya tersebut sebagai ‘Injil Abad Modern” yang memiliki kedudukan seperti kabar gembira nabi Isa dan lembaran-lembaran wahyu nabi Musa ‘alaihimas salam.
Tentang proses penulisan, urgensi, kedudukan, manfaat, dan ‘mu’jizat’ al-Kitab al-Akhdhar, Qaddafi mengatakan, “Saya persembahkan kepada kalian, padahal saya adalah manusia Badui yang sederhana. Dahulu saya menunggang keledai, menggembala kambing, berjalan tanpa alas kaki, dan saya menjalani usiaku di antara orang-orang yang sderhana. Saya persembahkan kepada kalian karyaku, al-Kitab al-Akhdar dengan ketiga pasal (bagian pembahasan, edt)nya, yang menyerupai kabar gembira nabi Isa dan lembaran-lembaran wahyu nabi Musa, atau khutbah seorang penunggang unta yang pendek, yang saya tulis dari dalam kemah saya yang telah diketahui oleh dunia, setelah diserang dan dibombardir oleh 170 pesawat pembom dengan tujuan membakar al-Kitab al-Akhdhar karya saya, yang saya tulis dengan tangan saya sendiri. Saya telah mengumpulkan peribahasa-peribahasa, kata-kata mutiara, berbagai fenomena, dan membaca sejarah. Maka saya mendapati umat manusia telah mengarang al-Kitab al-Akhdhar, yang merupakan bukti final kemerdekaan dari kekerasan dan penindasan, menyampaikan kepada kebebasan dan merealisasikan kebahagiaan. Saya mendapati tujuan final manusia adalah kebahagiaan, dan sesungguhnya surga yang dijanjikan atau surga yang hilang adalah kebahagiaan.” (As-Sijil a-Qaumi, hlm. 21)
Al-Kitab al-Akhdhar dengan ketiga pasalnya (politik, ekonomi, dan sosial) dikarang oleh Qaddafi mengikuti trend para taghut dunia yang saat itu menulis pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Al-Kitab al-Akhdhar karya Qaddafi mengikuti jejak penulisan Buku Merah karya Mao Zedong (Mao Tse-tung), pendiri Partai Komunis Cina dan kepala negara pertama Republik Rakyat Cina.
((( Seperti ditulis dalam artikel ‘Little Red Book’ oleh saudara Haris Priyatna dan dimuat di kolom Selisik, Republika, 1 Oktober 2006, pada bulan April 1964, Partai Komunis Cina menerbitkan buku Mao Zhuxi Yulu atau Quotations of Chairman Mao (Kumpulan Kutipan Ketua Mao). Karena ukurannya yang kecil dan sampulnya yang berwarna merah, buku ini lebih dikenal dengan nama The Little Red Book—Buku Merah Kecil. Semua orang Cina pada masa Revolusi Kebudayaan diwajibkan memiliki dan membaca buku ini.
Seperti yang tersirat dari judulnya, buku ini berisi kumpulan kutipan yang diambil dari pidato-pidato dan tulisan-tulisan Mao sepanjang 1927-1964. Dicetak dalam ukuran saku agar mudah dibawa ke mana-mana. Memang, buku ini menjadi fenomenal karena setiap warganegara Cina wajib memiliki, membaca, dan membawanya setiap saat selama pemerintahan Mao Tse-tung. Apabila pada saat razia seseorang didapati tidak membawa buku ini, ia bisa dipukuli di tempat oleh Pengawal Merah atau dihukum penjara kerja paksa selama bertahun-tahun.
Selama Revolusi Kebudayaan, mengkaji buku ini tidak hanya diwajibkan di sekolah-sekolah, tetapi juga menjadi praktik standar di tempat kerja. Semua sektor, baik industri, perdagangan, pertanian, pelayanan sipil, maupun militer membentuk kelompok-kelompok untuk mempelajari buku ini pada jam kerja. Kutipan-kutipan tertentu dari Mao Tse-tung dicetak tebal atau di-highlight merah, dan hampir semua tulisan, termasuk esai ilmiah, harus mengutip kata-kata Ketua Mao)))
Dalam al-Kitab al-Akhdhar, Qaddafi mengungkapkan sejumlah ‘fakta ilmiah’ yang baru pertama kali ditemukan oleh Qaddafi! Dalam pasal ketiga, di bawah judul ‘perempuan’, Qaddafi menulis: “Perempuan dan laki-laki adalah manusia…Perempuan itu makan dan minum sebagaimana laki-laki makan dan minum…Perempuan itu senang dan benci sebagaimana laki-laki senang dan benci…Perempuan itu wanita dan laki-laki itu pria…Perempuan berdasar hal, dokter penyakit-penyakit perempuan mengatakan perempuan itu mengalami haidh dan sakit setiap bulan. Adapun laki-laki tidak mengalami haidh karena ia adalah pria.”
Dalam acara pembukaan Konferensi Internasional Gerakan Politik untuk para pemuda Eropa dan Arab, tanggal 14 Juni 1973 M, Qaddafi menjelaskan tentang ‘teori internasional ketiga’nya dengan mengatakan kepada para peserta, “Teori ini akan membuat agama untuk kita, akan membuat akhlak untuk kita, dan akan membuat hubungan-hubungan baru sebagai panduan dalam menjalin hubungan.”
Di lain waktu, Qaddafi mengungkapkan bahwa al-Kitab al-akhdar bukan buku agama atau buku akhlak. Sebagai seorang sekuleris-sosialis, tentu saja agama versi Qaddafi adalah sebatas ritual ibadah yang mengatur hubungan vertical antara Allah dan makhluk. Adapun hubungan horisontal antara sesama makhluk seperti urusan ekonomi, politik, social, budaya, militer, dan lainnya menurut anggapan Qaddafi bukanlah bagian dari agama, dan agama tidak memiliki aturan pada bidang-bidang tersebut. Qaddafi sendiri mengakui, al-Kitab al-Akhdhar sama sekali tidak berlandaskan kepada Al-Qur’an!
Dalam dialog dengan para ulama dan santri penghafal Al-Qur’an di ibukota Tripoli, Qaddafi mengatakan, “Ketika engkau mengatakan buku ini adalah buku agama, maka dalam kondisi ini engkau berhak berhenti dan membandingkan antara al-Kitab al-Akhdhar dengan agama, sehingga engkau bisa mengatakan buku ini tidak sah menjadi buku agama, karena isinya menyelisihi Al-Qur’an. Namun ketika saya datang dan saya mengatakan kepadamu; ‘Buku ini bukanlah buku agama, melainkan buku ekonomi”, maka saya memiliki buku ‘pendapat-pendapat baru tentang pasar, mobilisasi, prinsip-prinsip perang”. Buku ini tidak mungkin dibandingkan dengan Al-Qur’an, karena sama sekali tidak ada keterkaitan antara buku ini dengan Al-Qur’an. Saya sudah mengatakan bahwa al-Kitab al-Akhdhar menyelesaikan problematika politik dan problematika ekonomi. Namun saya tidak mengatakan ia adalah buku agama, sehingga kita membandingkan antara ia dengan Al-Qur’an, karena jika kita menyelesaikan perbandingan tersebut niscaya kita akan membahayakan Al-Qur’an.”
Anda tentu sudah mampu memahami, kapan Qaddafi membahayakan Al-Qur’an? Qaddafi menyatakan buku karyanya mampu memberikan solusi tuntas atas problem ekonomi dan politik. Sementara ia meyakini Al-Qur’an tidak memberikan pedoman hidup di bidang ekonomi dan politik. Jadi, secara tidak langsung Qaddafi mengakui buku karyanya tersebut lebih tinggi, lebih mulia, lebih bermanfaat, dan lebih sempurna dari Al-Qur’an. Itulah sebabnya Qaddafi menerapkan al-Kitab al-Akhdar buah karya tangannya sendiri sebagai pedoman berbangsa dan bernegara Libya, sementara pada saat yang sama ia mencampakkan Al-Qur’an wahyu Allah SWT dari kehidupan public berbangsa dan bernegara Libya. Aduhai, lancang betul si ‘tuhan sosialis’ dan ‘Musailamah al-Kadzab’ Libya ini.
Allah SWT berfirman (yang artinya),
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”(QS. Al-Maidah (5): 50)
Dalam dialog dengan para ulama dan santri penghafal Al-Qur’an di masjid Maulaya Muhammad, ibukota Tripoli tanggal 3 Juli 1987 tersebut, Qaddafi mengancam orang-orang yang mengatakan al-Kitab al-Akhdar bertentangan dengan ajaran Islam. Kepada mereka, Qaddafi akan melakukan kekejaman seperti tangan besi Kamal Ataturk terhadap ulama dan umat Islam Turki yang menolak sekulerisme. Qaddafi juga berjanji akan menerapkan Marxisme-komunisme.
Dalam kesempatan tersebut, Qaddafi mengatakan: “Sekarang, seseorang datang kepada saya dan mengatakan: ‘Al-Kitab al-Akhdhar bertentangan dengan agama (Islam). Saya akan bertindak sebagaimana (Kamal, edt) Ataturk bertindak, saya marah, dan saya katakan kepadamu: ‘Ambil, robek-robek, dan bakarlah al-Kitab al-Akhdhar dalam api! Saya akan datangkan Kitab Merah sehingga saya terapkan seluruh ajaran Marxisme dalam buku itu.”
Untuk menjalankan seluruh kebijakan sekulerisme-sosialisme di Libya dan membungkam semua ulama dan aktivis Islam yang menentangnya, Qaddafi membentuk Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah (Gerakan Pengawal Revolusi). Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah dengan kekuatan senjata menindas umat Islam Libya yang menginginkan hidup di bawah naungan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Begitu vitalnya peran Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah dalam menjalankan, mengontrol, dan mengawal sistem hidup jahiliyah taghut Libya ini, sehingga Qaddafi sendiri mengakuinya sebagai NABI ABAD MODERN, era pemerintahan rakyat pasca era monarchi.
Dalam pidatonya di auditorium al-Umm kota Benghazi pada tanggal 7 Juni 1990, Qaddafi mengatakan: “Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah adalah nabi masa kini, masa republik. Ia benar-benar adalah nabi. Nabi masa republik adalah Harakah al-Lijan ats-Tsauriyah, namun mereka sulit membenarkannya.”
Maha Benar Allah Yang telah berfirman,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah atau orang yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya“, padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” (QS. Al-An’am (6): 93)
Bersambung, insya Allah…
(muhib al-majdi/arrahmah.com)