JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mayoritas penduduknya Muslim ini, sungguh ironis, umumnya media massanya justru tak berpihak pada Islam dan kaum Muslimin.
Parade kezaliman atas pemberitaan umat mayoritas ini kian menyudutkan Islam. Sejumlah peristiwa, seperti kasus Ahmadiyah, Syiah Sampang, Gereja HKBP di Bekasi, Yasmin di Bogor, Irshad Manji, “terorisme”, dan sebagainya, jadi bulan-bulanan media massa mainstream yang tak berpihak pada Islam dan kaum Muslimin.
Belum lagi peristiwa-peristiwa dunia semisal berita perang Irak, senjata pemusnah massal, kasus 11 September 2001 di Amerika, perang terhadap “terorisme”, dan seterusnya, yang kesemuanya itu menghantam Islam dan kaum Muslimin. Ketidakadilan alias kezaliman, itulah yang terjadi hari ini, untuk menggambarkan penyudutan pemberitaan terhadap umat Islam.
Demikian diungkap Mohamad Fadhilah Zein pada bagian awal acara Bedah Buku ‘Kezaliman Media Massa terhadap Umat Islam’, Ahad (21 Juli 2013) di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Penulis buku ini, Mohamad Fadhilah Zein, mantan produser/wartawan TVOne, memaparkan secara singkat, bahwa pemberitaan sejumlah kasus keumatan yang tidak berpihak pada Islam itu, antara lain disebabkan kaum Muslimin tidak menguasai media.
“Karenanya, tujuan menghadirkan buku ini, di antaranya karena umat Islam lemah dalam hal media,” ujar Fadhilah Zein. “Maka, buku ini hadir sebagai refleksi bahwa pentingnya media bagi umat Islam,” lanjutnya. Dan, bukankah sejarah pergerakan Islam selalu disertai dengan media?
Artinya, begitu pentingnya media sebagai alat untuk mendukung dan memperjuangkan kepentingan si pemiliknya. Maka, kata Fadhilah Zein, apa yang dihadirkan di televisi tak terlepas dari kepentingan pemiliknya. Tak aneh kalau kemudian partai-partai politik membangun media massa, karena media massa efektif untuk menghagemoni massa/publik.
Menyinggung kezaliman pemberitaan terorisme, Fadhilah mengungkap TVOne pernah memberitakan seorang pengusaha dikaitkan dengan “terorisme”, padahal orang tersebut bukan “teroris”. Itu terjadi pada tayangan September 2012.
Begitu pula MetroTV, ujarnya, saat menayangkan ‘Rohis Sarang Teroris’, padahal faktanya tidak demikian. Lalu, ayah dua putra ini menyebut aksi penggerebekan “terorisme” di Temanggung beberapa tahun lalu sekaligus sebagai salah satu upaya untuk menaikkan rating stasiun televisi tertentu.
“Demikian hebohnya aksi penggerebekan ‘terorisme’ di Temanggung pada 2009, lalu disiarkan secara live oleh stasiun televisi, ini tak lebih dari realityshow dalam rangka menaikkan rating,” ungkapnya.
Kezaliman media massa lainnya, menurut Fadhilah Zein, ketika Syafi’i Ma’arif mengakui pernah diminta Polri untuk turut membantu, menyudutkan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus “Terorisme”, namun tokoh Muhammadiyah itu menolaknya. “Tapi pernahkah media massa nasional mengangkat tema ini secara kritis, mengkritisi dan memblowupnya, itu tidak pernah,” sesalnya.
Begitu pula waktu demo menentang Irshad Manji, sebuah media berita online terbesar cuma menulis 150 orang yang demo, padahal ribuan, ini kezaliman terhadap umat Islam.
“Kasus Irshad Manji, Gereja HKBP, kasus Ciketing, terorisme, dan sebagainya, semuanya bermuara pada kesimpulan untuk menegaskan: umat Islam itu intoleran, inilah wajah umat Islam Indonesia,” kata Fadhilah Zein.
Secara tak sadar kita diatur media. Kita hidup dimana teknologi informasi bergerak sangat cepat. Dan, lewat sejumlah media mainstream itu, umat Islam disudutkan. “Tetapi ada perlawanan dari media-media Islam seperti Arrahmah.com, Islampos, Salam-Online, Voa-Islam, dan lainnya. Tak mustahil perlawanan media-media Islam ini, akan mengubah semua itu,” harapnya.
Pembicara berikutnya, Mustofa B Nahrawardaya, seorang aktivis muda Muhammadiyah yang sedang ‘naik daun’, membenarkan apa yang diungkap Fadhilah Zein. Aktivis yang pernah menjadi wartawan ini mengatakan, bahwa ia juga merasakan dan mengalami apa yang telah diungkap oleh Fadhilah Zein.
Menurut Mustofa, media mainstream akan memberitakan jika peristiwa itu merugikan umat Islam. “Tetapi tidak memberitakan jika kasus itu menguntungkan umat Islam,” terangnya.
Selanjutnya, kata Mustofa, fakta-fakta itu bisa dibuat. Ia menggambarkan, bagaimana, misalnya, fakta “terorisme” itu dibuat. Gara-gara mengungkap hal ini, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai murka kepadanya.
“Waktu itu, dalam dialog (Indonesia Lawyers Club, red) di TVOne saya ungkapkan bagaimana fakta-fakta terorisme itu bisa dibuat, Kepala BNPT Ansyaad Mbai murka pada saya, dan sampai 3 bulan saya tidak bisa tampil di TVOne,” kata Mustofa.
Di bagian terakhir Ustadz Fahmi Salim, MA, menegaskan bahwa media massa menjadi tonggak penting untuk tegaknya risalah Islam.
Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) ini juga mengingatkan, bahwa umat Islam sekarang sedang dikepung musuh dari berbagai penjuru, tapi kemudian ada kuda-kuda berlari kencang dan memercikkan bunga api dengan pukulan kuku kakinya, menyerang kumpulan musuh sebagaimana digambarkan dalam surat ke-101 (QS Al-‘Adiyat).
Karena itulah, kata Ustadz Fahmi Salim, umat Islam harus menyiapkan semua sarana, termasuk media, seperti tadi disampaikan oleh penulis buku ini.
Pentingnya kita menguasai media agar, “Jangan terus-terusan kita dibodohi media massa mainstream yang menggambarkan kehebatan musuh,” pintanya.
“Dan, jangan lupa, yang mendorong untuk melawan stigmatisasi (kehebatan musuh, red) juga adalah media sosial. Jadi media sosial juga penting untuk mengimbangi media mainstream,” imbuhnya.
Bagaimanapun, menurut Ustadz Fahmi, kita harus melawan ketika media mainstream menutup-nutupi kasus yang tidak menguntungkan mereka. “Kasus Ahmadiyah atau Syiah, luar biasa, dijadikan alat untuk menampar, lewat kasus-kasus ini umat Islam dizalimi oleh tirani media. Ulama kredibilitasnya dihancurkan, ini harus kita lawan,” tandasnya.
Ustadz Fahmi juga mengingatkan, bahwa jahatnya media mainstream bisa membalikkan persepsi umat yang benar. “Bahwa orang-orang kafir itu lebih baik daripada orang-orang beriman. Orang Islam tak becus mengurus negara, dan sebagainya, macam-macam stigma yang mereka lekatkan,” kata Ustadz Fahmi.
“Mereka menginginkan agar orang-orang kafir saja yang memimpin negara ini… orang-orang kafir lebih santun, lebih profesional, bahkan lebih ‘Islam’ dibanding orang Islam. Dan, mereka mencontohkan Jepang, Amerika, tapi mereka tutup mata, mestinya lihat juga dong negara-negara kafir seperti Filipina, Myanmar, dan lainnya, yang tak becus mengurus negaranya,” papar Ustadz Fahmi seraya mengutip surat An-Nisaa’ ayat 61. (salam-online/arrahmah.com)