(Arrahmah.com) – Tantangan debat yang dilontarkan Prof. Mahfud MD, soal sistem baku menegakkan Khilafah, telah mengguncang atmosfir pemikiran Islam di Indonesia. Tidak terkecuali, mereka yang tadinya pejuang khilafah mulai ragu. Simak tantangan Mahfud:
“Saya nantang siapa saja, dimana saja, di dalam forum terbuka. Yang bisa menunjukkan kepada saya, tentang adanya khalifah atau khilafah sebagai sistem pemerintahan di dalam Al Qur’an dan Hadits. Saya katakan khilafah banyak, tapi bukan dari Al Qur’an dan Hadits. Itu ciptaan para ulama berdasar kebutuhan, waktu dan tempat masing-masing,” kata Mahfud usai jadi pembicara seminar di IAIN Salatiga, Kamis 7/12/2017.
Sebenarnya, ada banyak pihak yang sudah menjawab kerisauan Mahfud tentang ada atau tidaknya perintah menegakkan khilafah dalam Qur’an dan Hadits. Namun, ibarat dunia persilatan, Mahfud menjadi jawara tanpa lawan tanding. Pendekar yang siap melawannya dianggap tidak level, tidak memahami maksudnya. Walau begutu, pasti bukan tidak ada lawan tarungnya. Bukan mustahil ada jawara dari kalangan persilatan yang berfikir dan coba mengukur calon tanding: “Debat tentang sistem pemerintahan Islam dengan orang yang tidak paham bahasa Arab, bukan ahli tafsir dan tidak mengerti hadits,” tentu tidak akan mencerdaskan.
Dalam kaitan ini, bagusnya Prof. Mahfud sportif. “Kalau mereka bisa menunjukkan sistem baku khilafah dari Qur’an dan Hadits, maka saya akan langsung memperjuangkan khilafah bersama mereka,” tweetnya di akun @mahfudmd.
Apakah ada sistem baku khilafah dalam Qur’an dan Hadits? Pertanyaan ini sama persis dengan soalan kaum pesimis: “Adakah sistem baku suksesi kepemimpinan dalam Islam?”
Sebagian orang Islam mengatakan, tidak ada sistem baku suksesi. Buktinya, kata mereka, sistem pengangkatan khalifah rasyidah tidak sama. Abu Bakar diangkat secara aklamasi melalui musyawarah. Umar ditunjuk dengan wasiat khalifah sebelumnya, dan disepakati umat Islam. Selanjutnya, sistem formatur, memilih 6 kandidat khalifah untuk dipilih salah seorang dari mereka. Utsman terpilih melalui pemilihan langsung. Sedangkan Ali bin Thalib dibai’at langsung oleh kaum muslimin. Perbedaan cara ini dimaknai, bebas pilih pemimpin bahkan boleh pilih orang kafir jadi pemimpin.
Beda dengan umat Islam yang berfikir Islami. Pembaharuan mandat dari satu khalifah ke khalifah lain dengan cara berbeda, bukan berarti Islam tidak memiliki sistem baku suksesi. Perbedaan cara itu, justru menunjukkan fleksibilitas Islam, sejauh tidak bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah Nabi.
Akan halnya khilafah. Jika tidak ditemukan sistem baku khilafah di Qur’an dan hadits bukan berarti sistem khilafah tidak ada dan tidak perlu ditegakkan. Khilafah merupakan sistem pemerintahan negara warisan Nabi Saw.
Pasca wafatnya Rasulullah Saw sistem khilafah tegak, dipimpin oleh 4 orang khalifah. Sistem pemerintahan pada periode ini, jelas bukan rekayasa ulama, melainkan sistem warisan Nabi Saw. Pahami sabda Rasulullah di bawah ini.
“Periode kenabian akan berlangsung dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah ala minhajin nubuwah, selama beberapa masa hingga Allah Ta’ala mengangkatnya. Kemudian datang periode mulkan aadhdhan, selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan jabbariyan dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah Ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ala minhajin nubuwah. Kemudian Nabi Saw diam.” (Hr. Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas, sistem khilafah jelas bukan karya ulama yang terikat dengan situasi dan kondisi zamannya.
Adapun khilafah dalam Qur’an, ada dan tidaknya tergantung, apakah sistem baku khilafah yang dimaksud, menurut Qur’an ataukah menurut yang diinginkan manusia?
Dalam Qur’an termaktub: ” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi…..” (Qs. Albaqarah, 2:30).
Mengomentari ayat ini, kata Quraisy Shihab dalam tafsirnya: “Ayat ini menginformasikan unsur-unsur kekhalifahan sekaligus kewajiban bagi khalifah. Unsur unsur tersebut adalah pertama, bumi atau wilayah. Kedua, khalifah (yang diberi kekuasaan atau mandataris). Ketiga, hubungan antar pemilik kekuasaan dengan wilayah, dan hubungannya dengan pemberi kekuasaan Allah”.
Ayat lain berbunyi: “Wahai Dawud, Sungguh Kami telah menjadikan kamu khalifah di muka bumi….(Qs. Shad, 38:26).
Kesimpulannya, seperti dikatakan Kyai Mashudi, Mojokerto. Ia merasa prihatin atas fenomena kriminalisasi ajaran Islam, yaitu khilafah.
Kata Kyai Mashudi: “Khilafah tak bisa dipisahkan dengan umat Islam. Ia ibarat madu dan manisnya madu. Sebagai cucu murid KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU, beliau merasa prihatin terhadap oknum NU yang ikut-ikutan menentang ide khilafah. Beliau tegaskan, NU itu ada yang garis lurus dan ada yang garis “fulus”. Dan yang garis lurus tidak menolak ide khilafah.”
Jogjakarta, 11/12/2017
Irfan S. Awwas