Mengubah munkar dengan tangan secara langsung adalah jauh lebih baik dan harus dengan cara yang tepat untuk menolak munkar. Pada saat yang memungkinkan dan seseorang yang meninggalkannya (mengubah munkar) adalah dalam kondisi sangat beresiko hal itu sama dengan orang-orang yang melakukan munkar terhadap dirinya sendiri dan dia tidak mempunyai jaminan untuk selamat dari murka Allah SWT., terhadap kemunkaran tersebut.
Ummu Salamah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., bersada,
“Siapa saja yang melihat kemunkaran diantara mereka pada saat dia mempunyai kekuatan yang lebih atau memiliki jumlah yang lebih banyak daripada yang melakukan munkar dan dia tidak mengubah dengan tangannya – dia berdosa… jika kerusakan menjadi dominan dalam ummatku Allah akan mengirimkan kepada mereka murkaNya,” Aku bertanya “Apakah tidak ada yang baik diantara mereka?” Beliau Saw. menjawab: “Ya diantara mereka ada sebagian orang-orang yang baik,” Aku bertanya “Bagaimana Allah menghukum mereka?” Beliau Saw. bersabda, “Allah akan memberikan mereka hukuman yang sama, dan pada hari pengadilan, Dia akan memaafkan mereka jika Dia menghendaki.”
Maka jika kita dalam jumlah yang sedikit kita mempunyai izin (rukhsah[1]) untuk menolaknya dengan lidah, tetapi jika kita mempunyai jumlah yang besar dan kekuatan yang memungkinkan, maka kita tidak mempunyai keringanan untuk tidak mengubah kemungkaran tersebut. Jika kita mengabaikan hal ini, maka itu semua kembali kepada Allah SWT untuk memaafkan atau menghukum kita.
An Nahi ‘Anil Munkar
Selanjutnya harus difahami bahwa jika kita berada dalam jumlah yang sedikit dan kita tidak bisa mengubah munkar, maka hal tersebut tidak berarti kita mutlak bebas dari dosa. Bahkan kita harus tetap ambil bagian untuk mencegah munkar dengan lidah kita, menolak, menyeru dan mengekspos kemungkaran tersebut jika kita ingin selamat dari murka Allah SWT.
Sungguh itu adalah ancaman dan kutukan yang telah menimpa Yahudi sebelum kita atas kelalaian mereka dari kewajiban besar ini, Allah SWT., berfirman:
“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.”[2]
Demikian juga ancaman yang sama bahwa Rasulullah SAW., telah mengulangnya untuk kita, dengan begitu jika kita ingin jatuh ke dalam lubang yang sama sebagaimana Yahudi dengan konsekuensi kita akan menghadapi laknat yang sama, beliau SAW., bersabda:
“Demi jiwaku yang ada ditanganNya, telah jelas kamu harus menyeru yang ma’ruf dan kamu harus mencegar munkar atau Allah akan menimpakan kepadamu laknat, dan jika kamu berdoa Allah tidak akan mengabulkannya untukmu.” (Hadits berlanjut dan beliau SAW., membacakan ayat di atas)
Sungguh bila mengabaikan kewajiban besar yaitu menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dengan jelas tetah ditetapkan sebagai bagian dari sejarah Yahudi bagi mereka yang telah mengambil sebuah pelajaran untuk peringatan bangsa yang akan datang tidak untuk menyerah pda kewajiban penting ini, Rasulullah SAW., bersabda:
“Peninggalan pertama yang terjadi diantara Bani Israil adalah bahwa kita harus berhati-hati bahwa akan ada orang-orang yang diantara mereka yang ambil bagian untuk berbuat munkar, dan yang lain berkata kepada mereka “Takutlah Pada Allah” tetapi pada hari kemudian dia tidak berhenti untuk duduk dengan mereka, makan dengan mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Sungguh, demi Allah, kita harus menyeru yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, serta kita harus menjauh dari orang-orang yang zalim. Kemudian mengekspos mereka (dari semua arah) dan memaksa mereka untuk mengikuti kebenaran.”[3]
Al Baro minal Munkar
Selanjutnya kita harus ingat bahwa Allah SWT., tidak hanya menghukum orang-orang yang zalim dan berbuat dosa, pada saat Dia membinasakan sebuah bangsa, tetapi Dia membinasakan semua dari mereka secara bersamaan termasuk orang yang berbuat dosa dan orang-orang yang setuju kepada mereka walaupun jika mereka tidak melakukannya. Kecuali kita mencegah yang lain dari perbuatan dosa atau setidaknya meninggalkan mereka pada saat menolak perbuatan dosa mereka, itu bisa menjadi sebuah penyebab kehancuran bagi diri kita sendiri, Allah SWT., berfirman:
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”[4]
Sungguh jika kita menyetujui orng-orang yang berbuat dosa di sekitar kita, kita tidak aman dari laknat Allah, walaupun kita menahan diri dari berbuat dosa. Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas dengan jelas dalam masalah ini, dia berkata,
“Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak menyetujui munkar diantara mereka, atau laknat Allah akan menimpa mereka.”
Mengapa demikian? Itu karena Allah memerintah kita untuk melindungi kesuciannya; itu adalah, perintahNya dan laranganNya.
Imam Qurtubi berkata:
“Allah SWT., berfirman: “tidak akan ada yang akan diperhitungkan karena dosa yang lain[5]“, pada saat munkar berkuasa diantara orang-orang, telah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang melihatnya untuk merubahnya; jika semua diantara mereka diam, (maka) semuanya berdosa; satu karena dia telah melakukannya, yang satu karena dia menyetujuinya, dan yang satu diam, mereka semua sama.”
Ayat di atas bisa diterapkan di saat masyarakat saat ini yang tetap diam melawan Thaghut[6] . Telah diriwayatkan bahwa Khalid bin Walid pada saat dia memergoki dan perang melawan Musailamah Al Kazzab[7]; dia menangkap pemimpin dari kota itu kemudian ditangkap dan dibunuh semuanya, dimulai dengan seseorang yang bernama Majaa’a yang telah dikenal sebagai seorang Muslim. Dia memohon pada Khalid,
“Yaa Khalid, aku adalah seorang Muslim; aku tidak pernah beriman pada Musailamah, dia hanya seseorang dari kabilahku.” (Dia menginginkan Khalid membebaskannya, menyatakan ketidakbersalahannya) Khalid menjawab: “antara membebaskan dan membunuh ada sebuah jalan tengah; aku akan memenjarakanmu sampai Allah SWT., menunjukkan padaku sebuah jalan.[8]” Majaa’a berfikir bahwa dia menahannya dengan harapan dapat mengetahui informasi tentang Musailamah, dia memanggilnya dan berkata: “Yaa Khalid, kamu telah mengetahui bahwa aku adalah salah satu diantara orang-orang yang memberikan Bai’at kepad Muhammad SAW., Apakah kesalahanku? Hal itu kulakukan hanya semata dia berasal dari kabilahku dan Allah SWT., berfirman:
“Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”[9]
Khalid menjawab,
“Kesalahanmu adalah kamu tidak pernah mencegah kejahatan. Kamu adalah orang yang terbaik pada saat itu (sebagaimana dia telah mengetahui dengan baik dalam kabilah) dan kamu berdiam diri; Apakah kamu berbicara untuk melawannya seperti orang-orang yang telah melakukannya? Berbicara (begini dan begini). Jika kamu tidak bermaksud untuk berbuat demikian, apakah kamu sudah mengirimkan surat untukku? Apakah kamu sudah meminta bantuanku? Apakah kamu sudah berhijrah[10]?”
Sungguh kita tidak bisa mendekati, duduk, makan, bermain dengan orang-orang yang berbuat dosa. Kalau itu kita lakukan, maka api neraka akan menyambar kita apabila kita masih bersama mereka. Kita tidak bisa duduk dengan tenang diantara orang-orang yang melakukan dosa dan untuk alasan orang-orang diantara mereka yang menyerukan kufur dan syirik atau kita akan jatuh ke dalam ancaman ayat dan hadits di atas kemudian Allah SWT., juga berfirman:
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”[11]
Ini adalah pertanyaan besar: bagaimana dengan orang-orang yang pada hari ini duduk-duduk dengan tenang diantara mereka dan menyetujui pemerintahan kufur yang menerapkan hukum dengan selain daripada apa yang telah Allah SWT turunkan?
Atau lebih buruk adalah orang-orang yang berpartisipasi dengan mereka di dalam parlemen? Dengan jelas mereka tidak mengubah tidak juga mencegah tidak juga menolak bahkan dengan hati mereka, tetapi mereka mempertahankan kekufuran dan thaghut serta membantu, mendukung mereka. Dengan jelas inilah apa yang Rasulullah SAW., telah memperingati kita untuk melawannya.
Wallahu’alam bis Showab!
Source : almuhajirun.net
[1] Rukhsah adalah kebolehan Syar’i dari Legislator (Pembuat Hukum, yakni Allah SWT) untuk meninggalkan perintah (Al-Azimah) atau peraturan pada waktu dan kondisi tertentu, seperti dibawah paksaan disana mungkin dibolehkan untuk melakukan sesuatu yang pada dasarnya Haram atau bahkan Kufur sepanjang hati kita penuh dengan keimanan; di luar paksaan, kita tidak bisa mengambil rukhsah ini walaupun banyak godaan atau kemauan (untuk melakukan) dan tanpa memperhatikan apakah hati kita masih dalam keadaan penuh Imaan – dan Iman adalah apa yang dalam hati, ucapan dan perbuatan secara bersamaan. Contoh lain pada saat Azimah adalah Shalat empat Raka’at pada waktu Dzuhur kemudian dibolehkan (rukhsah) untuk shalat hanya dua raka’at jika kita sedang dalam perjalanan panjang (musafir).
[2] (QS Al Ma’idah, 5: 78-79)
[3] Hadits Shahih, Abu Daud dan Imam Ahmad
[4] (QS Al Anfal, 18: 25)
[5] QS Al An’aam, 6: 164
[6] Lihat catatan kaki no. 5
[7] Musailamah Kazzab adalah seburuk-buruk Tawaghit pada masa Muhammad SAW., dia mengklaim sebagai Nabi dan orang-orang mengikuti serta menaatinya.
[8] Catatan: tidak diperbolehkan untuk menahan Muslim sebagai tahanan, Khalid menemukan Maja’a sebagai seorang yang murtad sebagaimana akan dikonfirmasi selanjutnya dan dalam riwayat dimana Majaa’a telah dieksekusi.
[9] (QS Al An’aam, 6:164)
[10] Hijrah adalah emigrasi, ini adalah sebuah kewajiban dalam Islam untuk beremigrasi dari tempat dimana kita tidak mampu untuk memenuhi kewajiban kita kepada Allah ke tempat dimana kita bisa melakukannya.
[11] (QS Hud 11: 113)