Oleh : Fajar Shadiq
Pada awal bulan September lalu, terbit sebuah novel-komik yang ditulis oleh Nasir Abbas, sosok kontroversial yang mengaku mantan anggota Jemaah Islamiyah dan sering diangkat menjadi narasumber terkait dengan kejadian kasus-kasus ‘terorisme’.
Buku yang berisikan 137 halaman full color ini, secara garis besar menceritakan sisi perjalanan hidup Nasir Abbas ketika bersentuhan dengan dunia jihad, keterlibatannya dengan kasus ‘terorisme’ dan hingga kisah “pertaubatannya”. Selain itu dalam buku ini penerbit juga menyelipkan cerita dari perspektif korban bom kedutaan Australia di Kuningan yang menuturkan kisahnya ketika terjadinya ledakan bom tersebut.
LATAR BELAKANG
Yayasan Lazuardi Birru sebagai penerbit dalam pengantar buku ini menjelaskan :
Serangan teror tersebut menimbulkan fitnah bagi agama Islam, melukai ummat islam yang cinta damai. Penderitaan dan trauma para korban menjadi inspirasi bagi timbulnya gerakan menentang kekerasan atas nama agama. Sebagai salah satu media dakwah adalah novel grafis “Kutemukan Makna Jihad”.
Dalam kalimat pengantarnya diatas dapat kita pahami bahwa latar belakang terbitnya buku ini adalah sebagai alat media untuk kampanye melawan kekerasan atas nama agama, atau istilah yang populer saat ini ialah kampanye melawan ‘terorisme’. Buku yang juga didukung oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI dan ASKOBI (Asosiasi Korban Bom ‘terorisme’ di Indonesia) ini telah tersedia di gerai toko-toko buku terkemuka, disebarkan secara gratis ke perpustakaan dan institusi pendidikan di 33 propinsi dan versi E-book dapat diunduh di www.lazuardibirru.org.
Apabila kita cermati ternyata kampanye melawan ‘‘terorisme” yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di negeri ini dilakukan secara terstruktur dan rapih. Terstrukur karena dilakukan secara berjamaah menggandeng institusi agama paling resmi di republik ini Kementerian Agama, dan organisasi kemasyarakatan (LSM/NGO) yang didanai asing. Melihat gelagat ini wajar apabila proyek deradikalisasi yang belakangan digembar-gemborkan sebagai cara untuk menghadang ideologi jihad yang dianggap sebagai ‘terorisme’ juga digawangi institusi dan lembaga yang ‘kredibel’.
Adalah institusi POLRI dengan tim BNPT yang menjadi think-tank dan Densus 88/AT sebagai eksekutornya. Institusi ini memiliki anggaran dari APBN sebesar 40,6 milyar rupiah di tahun 2011 untuk percepatan pengadaan alat intel pencegahan terorisme dan 11,5 milyar rupiah di tahun yang sama untuk penindakan pidana terorisme.1 Belum lagi dana hibah (yang tidak bisa diaudit DPR termasuk untuk pembangunan gedung untuk Densus 88 di Mabes Polri dan pusat pelatihannya di Megamendung Bogor) dari Amerika dan Australia. Selain itu juga aliran dana hibah mengucur deras ke kantong-kantong lembaga agama seperti ormas-ormas Islam yang dapat diajak untuk bekerjasama. Lembaga dan ormas yang yang bisa diajak untuk memberantas ‘‘terorisme” ini memiliki latar belakang tradisionalis, moderat dan liberal dalam pemahaman agamanya. Disinilah letak kelicikan Amerika dan sekutunya dalam rangka memecah belah ummat Islam sebagaimana yang tertera dalam laporan RAND Corp, yang berjudul “Building Moderate Moslem Network”.2 Dalam laporan setebal 183 halaman itu, RAND Corp, lembaga analisa kebijakan pemerintah yang dulunya bekas pabrik senjata ini sudah mengklasifikasikan elemen ummat islam. Kelompok mana yang bisa digalang, mana yang netral dan mana yang menentang. Untuk menghemat tenaga dan biaya, Amerika harus memanfaatkan potensi lokal yang dapat diajak kerjasama untuk digunakan melawan isu-isu ‘‘terorisme”. Terbukti hal ini lebih efektif dan efisen dalam memecah belah kesatuan ummat.
SOSOK NASIR ABBAS
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati pada diri Nasir Abbas sebelum membicarakan isi bukunya,
-
Berdasarkan pengakuannya, ia menjadi bagian dari pimpinan organisasi Jemaah Islamiyah yang sifatnya Tandzim Sirri atau klandestin. Organisasi yang bergerak di bawah tanah dan struktur pengurusnya dan programnya bersifat rahasia. Disinilah keuntungan Nasir Abbas. Hal ini memungkinkan Nasir Abbas mengatakan apa saja yang dia mau atau apa saja sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, karena tentu saja tidak ada yang bisa membenarkan dan menyalahkan perkataan Nasir Abbas secara terang-terangan, mengingat orang-orang yang terlibat dalam organisasi tersebut juga bukan orang yang suka muncul di permukaan.
Kita bisa membandingkannya dengan buku-buku atau dokumentasi lain terhadap gerakan Islam yang ditulis oleh Sidney Jones dalam laporan- laporannya di ICG atau yang terbaru bukunya Sholahuddin “NII sampai JI : Salafi Jihadisme di Indonesia”. Kedua penulis tersebut lebih banyak mengkonfimasikan tulisannya bersumber dari wawancara anonim atau dari BAP (Berita Acara Persidangan) para saksi dan terdakwa kasus ‘‘terorisme”. Sedangkan, Nasir Abbas menceritakan pengalamannya dalam buku ini sepenuhnya mengandalkan ingatan dan memori terhadap pengalamannya. Seiring perjalanan waktu, besar kemungkinan terdapat kekeliruan dan kealpaan dalam merekonstruksi ingatannya menjadi suatu cerita yang utuh. Bahkan bisa saja kisah yang terjadi sebenarnya dalam perspektif Nasir Abbas berbeda dengan perspektif tokoh yang lain. Namun, ia yakin tidak akan ada pihak yang akan melakukan cover both sides dalam penuturan kisahnya mengingat karakter “mantan kawan-kawannya” yang selalu merahasiakan aktivitasnya dan tentu saja akan mengamputasi mereka sendiri kalau melakukan klarifikasi terhadap penuturan kisah versi Nasir Abbas.
-
Selanjutnya, sosok Nasir Abbas sendiri adalah sosok yang menyeberang, dari awalnya mendukung bahkan aktif dalam kegiatan jihadis berbalik menyerang jihad dan para pendukungnya. Dalam beberapa kasus persidangan terdakwa ‘‘terorisme”, Nasir Abbas sering menjadi saksi kunci dalam persidangan. Selain itu apabila ada aksi ‘terorisme’, seringkali Nasir Abbas dimintai pendapatnya oleh media-media sebagai narasumber berdasarkan kesaksiannya yang mantan anggota organisasi yang dikaitkan dengan ‘terorisme’. Pertanyaan mendasarnya, kenapa dia bisa berbalik menyerang organisasi yang dulu dia terlibat didalamnya? Sejak kapan dia mulai berpindah pemikirannya, sehingga yang mana dulu ia yakin bahwa jihad adalah sebagai suatu amalan dalam islam, sementara kini ia meyakini bahwa jihad dan i’dad adalah salah satu ancaman bagi umat islam dan bagi keutuhan NKRI, suatu negara yang mana ia sendiri bukan salah satu bagian dari warganya.
Apabila secara sadar ia meyakini apa yang dilakukannya saat ini ialah demi maslahat ummat Islam, lebih mendekati sunnah dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Maka, kita lihatlah perilaku Nasir Abbas sekarang. Kemana jenggot yang dulu ia pelihara? Jika ia merasa apa yang ia yakini saat ini adalah kebenaran, lebih mendekati kepada sunnah, kenapa justru malah identitas sunnahnya ia cukur habis? Jika saja dulu saat ia masih berada di dalam organisasi klandestin kemudian ia mencukur jenggotnya dalam rangka cover supaya gerak-geriknya tidak dicurigai, mungkin sebagian orang bisa memakluminya. Namun apabila ia mencukur jenggotnya saat ia merubah prinsipnya menjadi lebih ‘islami’, justru membuat orang menjadi bertanya-tanya?
Kemunculan Nasir Abbas di berbagai media dalam rangka meng’counter’ isu terorisme menjadikannya sosok yang terkenal di kalangan dunia internasional. Ia menjadi sosok selebritis di atas panggung tubuh saudaranya yang ia zalimi. Namun, apakah karena kepopulerannya menjadikan ia untuk membolehkan dirinya berfoto berdua dengan lawan jenis. Bukankah hal ini semakin menjatuhkan argumentasi yang ia bangun bahwa apa yang ia lakukan selama ini justru karena ingin mengamalkan sunnah Nabi yang ditinggalkan organisasi dan teman-temannya dulu.
-
Nasir Abbas hanya dikenai hukuman 10 bulan penjara akibat perbuatannya melanggar imigrasi. Bandingkan dengan Abu Bakar Ba’asyir yang ditahan selama 4 tahun karena kasus yang sama.3 Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab. Warga negara manakah sebenarnya Nasir Abbas? Kenapa kesaksiannya selalu dipercaya polisi Indonesia, bahkan kadang ia yang menjadi jubir polisi?4 Ia dicari di negerinya sendiri di Malaysia tapi dilindungi di Indonesia, bahkan anehnya ucapannya dijadikan senjata untuk menohok umat islam dan ideologi jihad, dibukukan dan dijadikan sebagai alat propaganda untuk proyek deradikalisasi ummat islam. Apakah ada deal-deal tertentu antara Nasir Abbas dengan pihak kepolisian sehingga ia mendapatkan fasilitas pengawalan, bisa bebas keluar masuk Malaysia-Indonesia, dengan sikapnya yang begitu gencar memusuhi jihad?
INKONSISTENSI DAN KEJANGGALAN BERPIKIR NASIR ABBAS DALAM BUKUNYA
Dari awal perjalanan kisahnya kita sudah menemukan kejanggalan logika dalam gaya berpikir Nasir Abbas. Di halaman 18-19, Nasir yang saat itu masih berusia belasan sudah berpendapat bahwa orang-orang Indonesia yang berada di Malaysia melakukan gelagat aneh. Dari istilah-istilah yang dia gunakan “kenapa harus dirahasiakan? Sebenarnya siapa mereka? kelompok apa ini?”,”ternyata mulai saat ini saya harus belajar berbohong pada teman-teman saya di ma’had”, dan banyak kalimat – kalimat lain yang berbau tendensius menunjukkan kepada kita sebuah pertanyaan lagi, apakah pertanyaan ini memang muncul di pikiran Nasir Abbas pada saat itu, atau setelah dia ditahan dan mau menjadi partner dengan polisi.
Jika memang pernyataan itu lahir sebelum ditangkap oleh polisi harusnya dia berpikir kritis dan cerdas. Kenapa dia bisa sampai jadi instruktur di Afghan dan Moro, padahal dia menemukan banyak pertentangan didalamnya, kenapa juga dia mau dilantik menjadi ketua Mantiqi III. Sebuah jabatan yang memiliki tanggung jawab besar hingga ia menjadi buronan interpol dan masuk daftar buruan PBB.
Titik tekannya adalah kalau memang dia secerdas yang dia utarakan, (dalam berbagai forum dan tulisan yang ia buat ia mendeskripsikan dirinya demikian) Kenapa dia bertaubat serta merevisi pemikirannya bahkan ikut membantu menangkapi kawan-kawan gerakannya setelah ditangkap, kenapa tidak melakukannya jauh-jauh hari sebelum ditangkap, dia kan menganggap dirinya pintar bahkan dalam dialog dan pertemuan dalam seminar-seminar yang dikonfrontasikan dengan mantan kawan-kawannya itu ia selalu menganggap dirinya senior atau instruktur dari kawan-kawannya itu. Inilah pertanyaan besarnya yang harus kita tanya langsung kepada Nasir Abbas.
Ada catatan yang menarik dalam buku Nasir Abas ini yaitu pada halaman 100-102. Yaitu ketika dirinya mengisahkan saat dipindahkan dari Rutan Kelapa Dua ke sel Provost Mabes Polri, disitu dia menceritakan dia bertemu dengan Berti Loupatty dan Hans, keduanya adalah nasrani gembong kerusuhan Ambon. Di buku tersebut dan di tempat lain, Abas mengaku bahwa ketika di dalam sel Mabes Polri inilah ia menemukan ‘keramahan’ dari teman-temannya yang berlainan agama, bahkan mereka menunjukkan arah kiblat dan menjadi jaminan kepada polisi untuk melepas borgol Nasir Abbas dalam penjara. Hal ini menjadi perhatian buat kita semua. Kapan titik balik (point of return) itu terjadi pada diri Nasir Abbas sehingga ia merubah pemikirannya terhadap jihad.
Kita semua yakin ada hal yang tidak semuanya diungkap disini, tentu sebagai alat media propaganda deradikalisasi yang dijalankan BNPT dan lembaga-lembaga mitranya tidak akan mengangkat semua fakta yang terjadi di lapangan. Termasuk soal penyiksaan, kekerasan, tekanan terhadap keluarga dan berbagai perlakuan yang sangat melanggar HAM yang dialami para aktivis jihadis. Sebagai organisasi klandestin sebagaimana yang diungkap Nasir Abbas sendiri, tidak mungkin para anggota organisasinya membeberkan dengan mudah informasi terhadap segala hal yang berkaitan dengan aktivitasnya. Namun, akibat tekanan dan siksaan yang sangat tidak manusiawi ditambah godaaan duniawi yang tak bisa ditampik rupanya membuat sebagian aktivis yang lemah imannya menjadi tergoda. Sehingga ia menggadaikan keimanannya terhadap perjuangan islam dan kepercayaan rekan-rekan perjuangannya yang sama-sama berpeluh darah di bawah siksaan.
Kembali ke cerita Nasir Abbas saat di sel provost Mabes Polri saat ia merasa tersentuh dengan kebaikan 2 teman selnya yang beragama nasrani dan terlibat kerusuhan di Maluku. Disini ada kontroversi lagi tentang inkonsistensi Nasir Abbas dalam bertutur, di dalam novel komik “Kutemukan Makna Jihad”, cetakan pertama terbitan Lazuardi Birru ini sosok Berty Loupatti dan Hans adalah biang kerusuhan Ambon, namun saat diwawancara di Republika saat peluncuran bukunya ini dia mengatakan bahwa Bertino Pati (di dalam komiknya Abbas menyebut Berty Loupatty, entah ini kesalahan wartawan republika dalam mengeja tulisan atau memang kesalahan sebut dari nara sumber yaitu Nasir Abbas sendiri) dan Hans adalah tokoh kristen dikerusuhan Palu?? Jadi sebenarnya mana yang benar.5
“Nasir mengatakan, persepsinya tentang pemerintah baik polisi maupun tentara dan umat Kristen keliru sejak di dalam penjara. Nasir mendapati kenyataan yang berbeda dari dua peristiwa. Peristiwa pertama adalah perkenalannya dengan Bertino Pati dan Hans, tokoh Kristen di kerusuhan Palu.
“Mereka berdua ternyata sangat baik pada saya. Saya diberi pakaian, ditunjukkan tempat sholat, dan arah kiblat. Sejak itu saya menyadari bahwa mereka bukan musuh saya,” ungkap Nasir. (republika.co.id-09/09/2011)
Selain itu ada penemuan menarik ternyata tokoh Berty Loupatti dan Hans yang disebut-sebut Nasir Abbas ini adalah tokoh kontroversial Maluku yang berperan dalam pengeboman 2002-2003 dan kerusuhan di Saparua dan Desa Soya ini adalah tokoh binaan Kopassus dan mengaku banyak mengenal intel aparat militer maupun kepolisian.6
Kisah ini mengingatkan kita pada banyaknya penangkapan pada aktivis gerakan HAMAS pada fase awal terbentuknya HAMAS di Palestina. Ada suatu kisah yang menarik yang mirip-mirip dengan kisah Nasir Abbas, ketika ada satu tokoh penting HAMAS yang diduga mengetahui informasi tentang gerakan ini ditangkap, dia disiksa begitu hebatnya untuk memberikan informasi tersebut kepada polisi Israel. Namun, sampai beberapa lamanya ia masih bertahan untuk memegang informasi tersebut meskipun mengalami penderitaan yang begitu hebat. Namun Israel tidak kehilangan akal, tidak berapa lama masuklah seorang yang kelihatan alim, bersorban, dan berlumuran darah terlihat seperti habis disiksa ke dalam sel yang terdapat aktivis HAMAS itu. Selama di dalam sel mereka tidak bertegur sapa karena mereka memang tidak saling mengenal, namun aktivis tersebut merasa takjub dengan sang alim tersebut, karena meskipun ia juga disiksa namun ‘sang alim’ tersebut menampakkan kezuhudannya yang sangat tinggi, mulutnya senantiasa basah dengan dzikir, shalat tahajjudnya tidak pernah berhenti dan bacaannya selalu panjang, bahkan dia juga rajin membaca alqur’an. Setelah 2 minggu akhirnya sang aktivis tadi semakin yakin dan percaya kepada ‘sang alim’ tersebut, dan sang aktivis pun bercerita dan curhat soal keluarganya dan kegiatannya bahkan informasi penting soal gerakannya karena sudah terpesona terhadap ‘sang alim’ tersebut. Akibatnya, bisa diperkirakan selanjutnya setelah sang aktivis membeberkan informasi-informasi penting tersebut tak berapa lama ‘sang alim’ dikeluarkan dari penjara tersebut dan mulailah selnya dipenuhi dengan kawan-kawan perjuangannya akibat informasi yang tidak sadari telah dibocorkan dirinya sendiri kepada polisi Israel.
Metode seperti ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam dunia interogasi yang basis ilmunya adalah ilmu psikologi. Ketika seseorang diinterogasi mereka selalu mendapat tekanan dan siksaan yang keras dan tidak tertahankan. Apabila sang informan ini tidak kuat menahan penderitaan dan akhirnya mengaku. Maka, proses dihentikan cukup sampai disini. Namun, apabila sang informan ini masih kuat bertahan maka dicoba metode kedua melalui metode personal approach, tawarannya bermacam-macam dari mulai jaminan dipermudah dalam proses persidangan, jaminan kebebasan, sampai pada tahap pemberian fasilitas yang lux serba mewambeh apabila sang informan mau diajak bekerja sama.7 Logikanya adalah ketika seseorang mendapatkan tekanan yang begitu hebat pada dirinya, fisik dan mentalnya dilukai secara mendalam, kemudian setelah itu dihadirkan sosok yang begitu baik dan mencerahkan, maka biasanya dalam kondisi ini emosi seseorang akan mudah tergugah. Dalam buku Indonesian Top Secret, Membongkar Konflik Poso, halaman 161, Kadensus 88 Tito M. Karnavian mengungkapkan :
“..Dalam setiap tim terdapat 2 hingga 3 penyidik lain yang membantu interogasi dan melaksanakan tugas sesuai dengan arahan ketua tim masing-masing. Seperti biasa pemilihan anggota tim interogator didasaarkn pada prinsip saling melengkapi yang artinya didalam satu tim ada yang berkarakter keras dan agaak kaku dan ada yang lunak dan memiliki kemampuan approach, dan ada pula yang memiliki ketahanan berkomunikasi berjam-jam. Kemampuan saling melengkapi ini amat diperlukan agar orang yang diinterogasi secara psikologis berada dalam kendali interogator, dan bukan sebaliknya ia yang mengendalikan interogator.”
Bukti-bukti diatas memberikan fakta kepada kita seperti apakah sebenarnya figur Nasir Abbas ini. Bisa saja ia adalah prajurit yang kalah ketika dibawah tekanan, sehingga ia tergolong tipikal mujahid yang rapuh, atau bisa saja ia adalah orang yang kuat dibawah tekanan namun lemah menghadapi tipu daya musuh secara psikologis. Jika ia tergolong tipe yang kedua, berarti ini menggambarkan bahwa dirinya adalah orang yang cengeng dan oportunis. Karena ia mencari hidup dengan cara menzalimi saudaranya sendiri.
SIKAP TARAJJU’ NASIR ABBAS TERHADAP KONSEP PEMIKIRANNYA
Sikap tarajju’nya Nasir Abbas terhadap konsep pemikirannya sendiri merupakan salah satu fenomena khusus yang sering terjadi di kalangan para mujahidin. Nasir Abbas berpendapat bahwa pemikiran barunya lebih baik daripada pemikiran lamanya. Padahal tidak selalu pemikiran ‘madzhab’ yang belakangan lebih kuat dan baik daripada ‘madzhab’ lamanya. Sebagaimana yang terjadi pada Imam Syafi’i ternyata malah justru qaul qadimnya lebih kuat daripada qaul jadidnya. Secara makna bahasa, tarajju’ berarti merevisi. Merevisi disini bisa berarti dalam konotasi yang positif maupun negatif. Contoh sikap tarajju’ para ulama zaman dahulu adalah sebagaimana yang terjadi pada Imam Al-Hakim yang kemudian dikoreksi oleh Adz-Dzahabi, kemudian pemikiran tasawuf Imam Al-Ghazali yg juga direvisi oleh Ibn Rusd dalam kitab Tahafut al-Tahafut. Namun, tarajju’ disitu berkonotasi positif artinya pemikiran awalnya yang salah dikoreksi sehingga menjadi lurus sesuai manhaj sunnah. Sedangkan tarajju’ yang terjadi kepada para aktivis mujahidin adalah sebaliknya. Yang pada awalnya berprinsip bahwa jihad adalah satu-satunya jalan bagi kemuliaan Islam, kemudian setelah mendapatkan tekanan, mereka berubah fikiran dan merevisi pemikirannya. Hal ini banyak terjadi di kancah perjuangan gerakan jihad dimana para ulama-ulama dan pejuang jihad setelah mendapatkan tekanan dan siksaan yang begitu dahsyat ditambah iming-iming kesenangan dunia yang tidak sedikit membuat keyakinan para pejuang ini goyah.
Sebagai contoh yang paling terkenal adalah tokoh jihadis terkenal Abdul Qadir Abdul Aziz, ia menulis buku konsep jihad yang berjudul Al Umdah Fi Iddadil ‘Uddah, namun ketika dia ditangkap, dipenjara dan mendapatkan tekanan yang begitu rupa dia merevisi tulisannya dan menarik semua ucapannya dalam situs pribadinya (www.tawhed.ws).
Sebelumnya kita harus berhusnudzon kepada mereka semua yang mengalami tekanan dan siksaan. Sebab, belum tentu apabila kita yang berada diposisi mereka dan mendapat cobaan yang begitu dahsyat seperti itu kita akan kuat menahannya. Namun, ketika melihat mereka berbalik menyerang jihad dan ikut menggemboskan perjuangan kaum muslimin kita harus bereaksi. Kita harus membela islam dan ajarannya secara utuh dan konsisten menggenggamnya hingga nyawa meregang.
Secara pribadi saya tidak berada dalam satu barisan dengan para mujahid yang melakukan ijtihad pengeboman. Namun, ideologi jihadnya adalah suatu kebenaran mutlak wahyu ilahi yang harus dijaga demi kemuliaan Islam. Dalam kasus Nasir Abbas ini, seandainya saja ia hanya sebatas memberikan informasi palsu dan ucapan dusta terhadap tokoh-tokoh jihad kita masih bersabar, sebab hubungannya hanya antar manusia kepada manusia. Namun, jika yang diserang dan digembosi adalah ideologi jihadnya, maka dampaknya bisa meluas kepada ummat. Oleh karena itu, harus ada sekelompok orang yang konsisten menyerukan bahwa jihad adalah dzirwatu sanamil Islam (Puncak tertingginya Islam)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Mush’ab As-Suri dalam bukunya Da’wah Al-Muqawwamah Al-islamiyyah, Bab : Hashad Ash-Shahwah Al-Islamiyyah wa At-Tayar Al-jihadi (1930-2002) bahwa salah satu syarat kemenangan mujahidin adalah konsistensi. Konsisten memegang prinsip bahwa jihad adalah jalan terakhir, solusi final bagi semua problematika masalah ummat Islam hingga akhir zaman. Namun sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW konsistensi di zaman ini bagaikan memegang bara api. Sungguh berat cobaan bagi mujahidin dan kita senantiasa meminta kepada Allah agar kita diberikan kekuatan untuk senantiasa istiqamah dalam melanjutkan perjuangan.
___________________________
- Rencana Tindak Pembangunan Kementerian/Lembaga Tahun 2011. Bappenas.
- Building Moderate Moslem Network & Civil Democratic Islam : Partners, Resources and Strategies. Rand Corporation. 2007.
- http://muftiaziz.wordpress.com/2010/08/13/seputar-penahanan-ustad-abu-bakar-baasyir-abb/
- http://www.intelijen.co.id/wawancara/1345-nasir-abas-di-antara-dusta-dan-fakta
- http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/09/09/lr973n-nasir-abas-saya-temukan-makna-baru-tentang-jihad-islam
- http://www.oocities.org/kariu67/tempo200502.htm dan http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzIwOTk=
- Cerita dari salah satu aktivis jihadis yang pernah ditangkap, setelah disiksa habis-habisan ia ditawari dipertemukan dengan keluarganya di salah satu hotel mewah di jakarta, bahkan ditawari uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk ongkos keluarganya selama dirinya ditahan dalam penjara.
- Buku Indonesian Top Secret : Membongkar Konflik Poso. Tito M. Karnavian http://books.google.co.id/books?id=s–vLp7CGTYC&pg=PA161&lpg=PA161&dq=interogasi+keras+lunak&source=bl&ots=L3Rt_gTLlJ&sig=XImeQC4sKII5wXLfZeHFxYbdvCs&hl=id&ei=qh3GTpOjI4OQiQe4nqT3Dw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CBkQ6AEwAA#v=onepage&q=interogasi%20keras%20lunak&f=false
Oleh : Fajar Shadiq
Pada awal bulan September lalu, terbit sebuah novel-komik yang ditulis oleh Nasir Abbas, sosok kontroversial yang mengaku mantan anggota Jemaah Islamiyah dan sering diangkat menjadi narasumber terkait dengan kejadian kasus-kasus ‘terorisme’.
Buku yang berisikan 137 halaman full color ini, secara garis besar menceritakan sisi perjalanan hidup Nasir Abbas ketika bersentuhan dengan dunia jihad, keterlibatannya dengan kasus ‘terorisme’ dan hingga kisah “pertaubatannya”. Selain itu dalam buku ini penerbit juga menyelipkan cerita dari perspektif korban bom kedutaan Australia di Kuningan yang menuturkan kisahnya ketika terjadinya ledakan bom tersebut.
LATAR BELAKANG
Yayasan Lazuardi Birru sebagai penerbit dalam pengantar buku ini menjelaskan :
Serangan teror tersebut menimbulkan fitnah bagi agama Islam, melukai ummat islam yang cinta damai. Penderitaan dan trauma para korban menjadi inspirasi bagi timbulnya gerakan menentang kekerasan atas nama agama. Sebagai salah satu media dakwah adalah novel grafis “Kutemukan Makna Jihad”.
Dalam kalimat pengantarnya diatas dapat kita pahami bahwa latar belakang terbitnya buku ini adalah sebagai alat media untuk kampanye melawan kekerasan atas nama agama, atau istilah yang populer saat ini ialah kampanye melawan ‘terorisme’. Buku yang juga didukung oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI dan ASKOBI (Asosiasi Korban Bom ‘terorisme’ di Indonesia) ini telah tersedia di gerai toko-toko buku terkemuka, disebarkan secara gratis ke perpustakaan dan institusi pendidikan di 33 propinsi dan versi E-book dapat diunduh di www.lazuardibirru.org.
Apabila kita cermati ternyata kampanye melawan ‘‘terorisme” yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di negeri ini dilakukan secara terstruktur dan rapih. Terstrukur karena dilakukan secara berjamaah menggandeng institusi agama paling resmi di republik ini Kementerian Agama, dan organisasi kemasyarakatan (LSM/NGO) yang didanai asing. Melihat gelagat ini wajar apabila proyek deradikalisasi yang belakangan digembar-gemborkan sebagai cara untuk menghadang ideologi jihad yang dianggap sebagai ‘terorisme’ juga digawangi institusi dan lembaga yang ‘kredibel’.
Adalah institusi POLRI dengan tim BNPT yang menjadi think-tank dan Densus 88/AT sebagai eksekutornya. Institusi ini memiliki anggaran dari APBN sebesar 40,6 milyar rupiah di tahun 2011 untuk percepatan pengadaan alat intel pencegahan terorisme dan 11,5 milyar rupiah di tahun yang sama untuk penindakan pidana terorisme.1 Belum lagi dana hibah (yang tidak bisa diaudit DPR termasuk untuk pembangunan gedung untuk Densus 88 di Mabes Polri dan pusat pelatihannya di Megamendung Bogor) dari Amerika dan Australia. Selain itu juga aliran dana hibah mengucur deras ke kantong-kantong lembaga agama seperti ormas-ormas Islam yang dapat diajak untuk bekerjasama. Lembaga dan ormas yang yang bisa diajak untuk memberantas ‘‘terorisme” ini memiliki latar belakang tradisionalis, moderat dan liberal dalam pemahaman agamanya. Disinilah letak kelicikan Amerika dan sekutunya dalam rangka memecah belah ummat Islam sebagaimana yang tertera dalam laporan RAND Corp, yang berjudul “Building Moderate Moslem Network”.2 Dalam laporan setebal 183 halaman itu, RAND Corp, lembaga analisa kebijakan pemerintah yang dulunya bekas pabrik senjata ini sudah mengklasifikasikan elemen ummat islam. Kelompok mana yang bisa digalang, mana yang netral dan mana yang menentang. Untuk menghemat tenaga dan biaya, Amerika harus memanfaatkan potensi lokal yang dapat diajak kerjasama untuk digunakan melawan isu-isu ‘‘terorisme”. Terbukti hal ini lebih efektif dan efisen dalam memecah belah kesatuan ummat.
SOSOK NASIR ABBAS
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati pada diri Nasir Abbas sebelum membicarakan isi bukunya,
-
Berdasarkan pengakuannya, ia menjadi bagian dari pimpinan organisasi Jemaah Islamiyah yang sifatnya Tandzim Sirri atau klandestin. Organisasi yang bergerak di bawah tanah dan struktur pengurusnya dan programnya bersifat rahasia. Disinilah keuntungan Nasir Abbas. Hal ini memungkinkan Nasir Abbas mengatakan apa saja yang dia mau atau apa saja sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, karena tentu saja tidak ada yang bisa membenarkan dan menyalahkan perkataan Nasir Abbas secara terang-terangan, mengingat orang-orang yang terlibat dalam organisasi tersebut juga bukan orang yang suka muncul di permukaan.
Kita bisa membandingkannya dengan buku-buku atau dokumentasi lain terhadap gerakan Islam yang ditulis oleh Sidney Jones dalam laporan- laporannya di ICG atau yang terbaru bukunya Sholahuddin “NII sampai JI : Salafi Jihadisme di Indonesia”. Kedua penulis tersebut lebih banyak mengkonfimasikan tulisannya bersumber dari wawancara anonim atau dari BAP (Berita Acara Persidangan) para saksi dan terdakwa kasus ‘‘terorisme”. Sedangkan, Nasir Abbas menceritakan pengalamannya dalam buku ini sepenuhnya mengandalkan ingatan dan memori terhadap pengalamannya. Seiring perjalanan waktu, besar kemungkinan terdapat kekeliruan dan kealpaan dalam merekonstruksi ingatannya menjadi suatu cerita yang utuh. Bahkan bisa saja kisah yang terjadi sebenarnya dalam perspektif Nasir Abbas berbeda dengan perspektif tokoh yang lain. Namun, ia yakin tidak akan ada pihak yang akan melakukan cover both sides dalam penuturan kisahnya mengingat karakter “mantan kawan-kawannya” yang selalu merahasiakan aktivitasnya dan tentu saja akan mengamputasi mereka sendiri kalau melakukan klarifikasi terhadap penuturan kisah versi Nasir Abbas.
-
Selanjutnya, sosok Nasir Abbas sendiri adalah sosok yang menyeberang, dari awalnya mendukung bahkan aktif dalam kegiatan jihadis berbalik menyerang jihad dan para pendukungnya. Dalam beberapa kasus persidangan terdakwa ‘‘terorisme”, Nasir Abbas sering menjadi saksi kunci dalam persidangan. Selain itu apabila ada aksi ‘terorisme’, seringkali Nasir Abbas dimintai pendapatnya oleh media-media sebagai narasumber berdasarkan kesaksiannya yang mantan anggota organisasi yang dikaitkan dengan ‘terorisme’. Pertanyaan mendasarnya, kenapa dia bisa berbalik menyerang organisasi yang dulu dia terlibat didalamnya? Sejak kapan dia mulai berpindah pemikirannya, sehingga yang mana dulu ia yakin bahwa jihad adalah sebagai suatu amalan dalam islam, sementara kini ia meyakini bahwa jihad dan i’dad adalah salah satu ancaman bagi umat islam dan bagi keutuhan NKRI, suatu negara yang mana ia sendiri bukan salah satu bagian dari warganya.
Apabila secara sadar ia meyakini apa yang dilakukannya saat ini ialah demi maslahat ummat Islam, lebih mendekati sunnah dan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad SAW. Maka, kita lihatlah perilaku Nasir Abbas sekarang. Kemana jenggot yang dulu ia pelihara? Jika ia merasa apa yang ia yakini saat ini adalah kebenaran, lebih mendekati kepada sunnah, kenapa justru malah identitas sunnahnya ia cukur habis? Jika saja dulu saat ia masih berada di dalam organisasi klandestin kemudian ia mencukur jenggotnya dalam rangka cover supaya gerak-geriknya tidak dicurigai, mungkin sebagian orang bisa memakluminya. Namun apabila ia mencukur jenggotnya saat ia merubah prinsipnya menjadi lebih ‘islami’, justru membuat orang menjadi bertanya-tanya?
Kemunculan Nasir Abbas di berbagai media dalam rangka meng’counter’ isu terorisme menjadikannya sosok yang terkenal di kalangan dunia internasional. Ia menjadi sosok selebritis di atas panggung tubuh saudaranya yang ia zalimi. Namun, apakah karena kepopulerannya menjadikan ia untuk membolehkan dirinya berfoto berdua dengan lawan jenis. Bukankah hal ini semakin menjatuhkan argumentasi yang ia bangun bahwa apa yang ia lakukan selama ini justru karena ingin mengamalkan sunnah Nabi yang ditinggalkan organisasi dan teman-temannya dulu.
-
Nasir Abbas hanya dikenai hukuman 10 bulan penjara akibat perbuatannya melanggar imigrasi. Bandingkan dengan Abu Bakar Ba’asyir yang ditahan selama 4 tahun karena kasus yang sama.3 Hal ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang tak terjawab. Warga negara manakah sebenarnya Nasir Abbas? Kenapa kesaksiannya selalu dipercaya polisi Indonesia, bahkan kadang ia yang menjadi jubir polisi?4 Ia dicari di negerinya sendiri di Malaysia tapi dilindungi di Indonesia, bahkan anehnya ucapannya dijadikan senjata untuk menohok umat islam dan ideologi jihad, dibukukan dan dijadikan sebagai alat propaganda untuk proyek deradikalisasi ummat islam. Apakah ada deal-deal tertentu antara Nasir Abbas dengan pihak kepolisian sehingga ia mendapatkan fasilitas pengawalan, bisa bebas keluar masuk Malaysia-Indonesia, dengan sikapnya yang begitu gencar memusuhi jihad?
INKONSISTENSI DAN KEJANGGALAN BERPIKIR NASIR ABBAS DALAM BUKUNYA
Dari awal perjalanan kisahnya kita sudah menemukan kejanggalan logika dalam gaya berpikir Nasir Abbas. Di halaman 18-19, Nasir yang saat itu masih berusia belasan sudah berpendapat bahwa orang-orang Indonesia yang berada di Malaysia melakukan gelagat aneh. Dari istilah-istilah yang dia gunakan “kenapa harus dirahasiakan? Sebenarnya siapa mereka? kelompok apa ini?”,”ternyata mulai saat ini saya harus belajar berbohong pada teman-teman saya di ma’had”, dan banyak kalimat – kalimat lain yang berbau tendensius menunjukkan kepada kita sebuah pertanyaan lagi, apakah pertanyaan ini memang muncul di pikiran Nasir Abbas pada saat itu, atau setelah dia ditahan dan mau menjadi partner dengan polisi.
Jika memang pernyataan itu lahir sebelum ditangkap oleh polisi harusnya dia berpikir kritis dan cerdas. Kenapa dia bisa sampai jadi instruktur di Afghan dan Moro, padahal dia menemukan banyak pertentangan didalamnya, kenapa juga dia mau dilantik menjadi ketua Mantiqi III. Sebuah jabatan yang memiliki tanggung jawab besar hingga ia menjadi buronan interpol dan masuk daftar buruan PBB.
Titik tekannya adalah kalau memang dia secerdas yang dia utarakan, (dalam berbagai forum dan tulisan yang ia buat ia mendeskripsikan dirinya demikian) Kenapa dia bertaubat serta merevisi pemikirannya bahkan ikut membantu menangkapi kawan-kawan gerakannya setelah ditangkap, kenapa tidak melakukannya jauh-jauh hari sebelum ditangkap, dia kan menganggap dirinya pintar bahkan dalam dialog dan pertemuan dalam seminar-seminar yang dikonfrontasikan dengan mantan kawan-kawannya itu ia selalu menganggap dirinya senior atau instruktur dari kawan-kawannya itu. Inilah pertanyaan besarnya yang harus kita tanya langsung kepada Nasir Abbas.
Ada catatan yang menarik dalam buku Nasir Abas ini yaitu pada halaman 100-102. Yaitu ketika dirinya mengisahkan saat dipindahkan dari Rutan Kelapa Dua ke sel Provost Mabes Polri, disitu dia menceritakan dia bertemu dengan Berti Loupatty dan Hans, keduanya adalah nasrani gembong kerusuhan Ambon. Di buku tersebut dan di tempat lain, Abas mengaku bahwa ketika di dalam sel Mabes Polri inilah ia menemukan ‘keramahan’ dari teman-temannya yang berlainan agama, bahkan mereka menunjukkan arah kiblat dan menjadi jaminan kepada polisi untuk melepas borgol Nasir Abbas dalam penjara. Hal ini menjadi perhatian buat kita semua. Kapan titik balik (point of return) itu terjadi pada diri Nasir Abbas sehingga ia merubah pemikirannya terhadap jihad.
Kita semua yakin ada hal yang tidak semuanya diungkap disini, tentu sebagai alat media propaganda deradikalisasi yang dijalankan BNPT dan lembaga-lembaga mitranya tidak akan mengangkat semua fakta yang terjadi di lapangan. Termasuk soal penyiksaan, kekerasan, tekanan terhadap keluarga dan berbagai perlakuan yang sangat melanggar HAM yang dialami para aktivis jihadis. Sebagai organisasi klandestin sebagaimana yang diungkap Nasir Abbas sendiri, tidak mungkin para anggota organisasinya membeberkan dengan mudah informasi terhadap segala hal yang berkaitan dengan aktivitasnya. Namun, akibat tekanan dan siksaan yang sangat tidak manusiawi ditambah godaaan duniawi yang tak bisa ditampik rupanya membuat sebagian aktivis yang lemah imannya menjadi tergoda. Sehingga ia menggadaikan keimanannya terhadap perjuangan islam dan kepercayaan rekan-rekan perjuangannya yang sama-sama berpeluh darah di bawah siksaan.
Kembali ke cerita Nasir Abbas saat di sel provost Mabes Polri saat ia merasa tersentuh dengan kebaikan 2 teman selnya yang beragama nasrani dan terlibat kerusuhan di Maluku. Disini ada kontroversi lagi tentang inkonsistensi Nasir Abbas dalam bertutur, di dalam novel komik “Kutemukan Makna Jihad”, cetakan pertama terbitan Lazuardi Birru ini sosok Berty Loupatti dan Hans adalah biang kerusuhan Ambon, namun saat diwawancara di Republika saat peluncuran bukunya ini dia mengatakan bahwa Bertino Pati (di dalam komiknya Abbas menyebut Berty Loupatty, entah ini kesalahan wartawan republika dalam mengeja tulisan atau memang kesalahan sebut dari nara sumber yaitu Nasir Abbas sendiri) dan Hans adalah tokoh kristen dikerusuhan Palu?? Jadi sebenarnya mana yang benar.5
“Nasir mengatakan, persepsinya tentang pemerintah baik polisi maupun tentara dan umat Kristen keliru sejak di dalam penjara. Nasir mendapati kenyataan yang berbeda dari dua peristiwa. Peristiwa pertama adalah perkenalannya dengan Bertino Pati dan Hans, tokoh Kristen di kerusuhan Palu.
“Mereka berdua ternyata sangat baik pada saya. Saya diberi pakaian, ditunjukkan tempat sholat, dan arah kiblat. Sejak itu saya menyadari bahwa mereka bukan musuh saya,” ungkap Nasir. (republika.co.id-09/09/2011)
Selain itu ada penemuan menarik ternyata tokoh Berty Loupatti dan Hans yang disebut-sebut Nasir Abbas ini adalah tokoh kontroversial Maluku yang berperan dalam pengeboman 2002-2003 dan kerusuhan di Saparua dan Desa Soya ini adalah tokoh binaan Kopassus dan mengaku banyak mengenal intel aparat militer maupun kepolisian.6
Kisah ini mengingatkan kita pada banyaknya penangkapan pada aktivis gerakan HAMAS pada fase awal terbentuknya HAMAS di Palestina. Ada suatu kisah yang menarik yang mirip-mirip dengan kisah Nasir Abbas, ketika ada satu tokoh penting HAMAS yang diduga mengetahui informasi tentang gerakan ini ditangkap, dia disiksa begitu hebatnya untuk memberikan informasi tersebut kepada polisi Israel. Namun, sampai beberapa lamanya ia masih bertahan untuk memegang informasi tersebut meskipun mengalami penderitaan yang begitu hebat. Namun Israel tidak kehilangan akal, tidak berapa lama masuklah seorang yang kelihatan alim, bersorban, dan berlumuran darah terlihat seperti habis disiksa ke dalam sel yang terdapat aktivis HAMAS itu. Selama di dalam sel mereka tidak bertegur sapa karena mereka memang tidak saling mengenal, namun aktivis tersebut merasa takjub dengan sang alim tersebut, karena meskipun ia juga disiksa namun ‘sang alim’ tersebut menampakkan kezuhudannya yang sangat tinggi, mulutnya senantiasa basah dengan dzikir, shalat tahajjudnya tidak pernah berhenti dan bacaannya selalu panjang, bahkan dia juga rajin membaca alqur’an. Setelah 2 minggu akhirnya sang aktivis tadi semakin yakin dan percaya kepada ‘sang alim’ tersebut, dan sang aktivis pun bercerita dan curhat soal keluarganya dan kegiatannya bahkan informasi penting soal gerakannya karena sudah terpesona terhadap ‘sang alim’ tersebut. Akibatnya, bisa diperkirakan selanjutnya setelah sang aktivis membeberkan informasi-informasi penting tersebut tak berapa lama ‘sang alim’ dikeluarkan dari penjara tersebut dan mulailah selnya dipenuhi dengan kawan-kawan perjuangannya akibat informasi yang tidak sadari telah dibocorkan dirinya sendiri kepada polisi Israel.
Metode seperti ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam dunia interogasi yang basis ilmunya adalah ilmu psikologi. Ketika seseorang diinterogasi mereka selalu mendapat tekanan dan siksaan yang keras dan tidak tertahankan. Apabila sang informan ini tidak kuat menahan penderitaan dan akhirnya mengaku. Maka, proses dihentikan cukup sampai disini. Namun, apabila sang informan ini masih kuat bertahan maka dicoba metode kedua melalui metode personal approach, tawarannya bermacam-macam dari mulai jaminan dipermudah dalam proses persidangan, jaminan kebebasan, sampai pada tahap pemberian fasilitas yang lux serba mewambeh apabila sang informan mau diajak bekerja sama.7 Logikanya adalah ketika seseorang mendapatkan tekanan yang begitu hebat pada dirinya, fisik dan mentalnya dilukai secara mendalam, kemudian setelah itu dihadirkan sosok yang begitu baik dan mencerahkan, maka biasanya dalam kondisi ini emosi seseorang akan mudah tergugah. Dalam buku Indonesian Top Secret, Membongkar Konflik Poso, halaman 161, Kadensus 88 Tito M. Karnavian mengungkapkan :
“..Dalam setiap tim terdapat 2 hingga 3 penyidik lain yang membantu interogasi dan melaksanakan tugas sesuai dengan arahan ketua tim masing-masing. Seperti biasa pemilihan anggota tim interogator didasaarkn pada prinsip saling melengkapi yang artinya didalam satu tim ada yang berkarakter keras dan agaak kaku dan ada yang lunak dan memiliki kemampuan approach, dan ada pula yang memiliki ketahanan berkomunikasi berjam-jam. Kemampuan saling melengkapi ini amat diperlukan agar orang yang diinterogasi secara psikologis berada dalam kendali interogator, dan bukan sebaliknya ia yang mengendalikan interogator.”
Bukti-bukti diatas memberikan fakta kepada kita seperti apakah sebenarnya figur Nasir Abbas ini. Bisa saja ia adalah prajurit yang kalah ketika dibawah tekanan, sehingga ia tergolong tipikal mujahid yang rapuh, atau bisa saja ia adalah orang yang kuat dibawah tekanan namun lemah menghadapi tipu daya musuh secara psikologis. Jika ia tergolong tipe yang kedua, berarti ini menggambarkan bahwa dirinya adalah orang yang cengeng dan oportunis. Karena ia mencari hidup dengan cara menzalimi saudaranya sendiri.
SIKAP TARAJJU’ NASIR ABBAS TERHADAP KONSEP PEMIKIRANNYA
Sikap tarajju’nya Nasir Abbas terhadap konsep pemikirannya sendiri merupakan salah satu fenomena khusus yang sering terjadi di kalangan para mujahidin. Nasir Abbas berpendapat bahwa pemikiran barunya lebih baik daripada pemikiran lamanya. Padahal tidak selalu pemikiran ‘madzhab’ yang belakangan lebih kuat dan baik daripada ‘madzhab’ lamanya. Sebagaimana yang terjadi pada Imam Syafi’i ternyata malah justru qaul qadimnya lebih kuat daripada qaul jadidnya. Secara makna bahasa, tarajju’ berarti merevisi. Merevisi disini bisa berarti dalam konotasi yang positif maupun negatif. Contoh sikap tarajju’ para ulama zaman dahulu adalah sebagaimana yang terjadi pada Imam Al-Hakim yang kemudian dikoreksi oleh Adz-Dzahabi, kemudian pemikiran tasawuf Imam Al-Ghazali yg juga direvisi oleh Ibn Rusd dalam kitab Tahafut al-Tahafut. Namun, tarajju’ disitu berkonotasi positif artinya pemikiran awalnya yang salah dikoreksi sehingga menjadi lurus sesuai manhaj sunnah. Sedangkan tarajju’ yang terjadi kepada para aktivis mujahidin adalah sebaliknya. Yang pada awalnya berprinsip bahwa jihad adalah satu-satunya jalan bagi kemuliaan Islam, kemudian setelah mendapatkan tekanan, mereka berubah fikiran dan merevisi pemikirannya. Hal ini banyak terjadi di kancah perjuangan gerakan jihad dimana para ulama-ulama dan pejuang jihad setelah mendapatkan tekanan dan siksaan yang begitu dahsyat ditambah iming-iming kesenangan dunia yang tidak sedikit membuat keyakinan para pejuang ini goyah.
Sebagai contoh yang paling terkenal adalah tokoh jihadis terkenal Abdul Qadir Abdul Aziz, ia menulis buku konsep jihad yang berjudul Al Umdah Fi Iddadil ‘Uddah, namun ketika dia ditangkap, dipenjara dan mendapatkan tekanan yang begitu rupa dia merevisi tulisannya dan menarik semua ucapannya dalam situs pribadinya (www.tawhed.ws).
Sebelumnya kita harus berhusnudzon kepada mereka semua yang mengalami tekanan dan siksaan. Sebab, belum tentu apabila kita yang berada diposisi mereka dan mendapat cobaan yang begitu dahsyat seperti itu kita akan kuat menahannya. Namun, ketika melihat mereka berbalik menyerang jihad dan ikut menggemboskan perjuangan kaum muslimin kita harus bereaksi. Kita harus membela islam dan ajarannya secara utuh dan konsisten menggenggamnya hingga nyawa meregang.
Secara pribadi saya tidak berada dalam satu barisan dengan para mujahid yang melakukan ijtihad pengeboman. Namun, ideologi jihadnya adalah suatu kebenaran mutlak wahyu ilahi yang harus dijaga demi kemuliaan Islam. Dalam kasus Nasir Abbas ini, seandainya saja ia hanya sebatas memberikan informasi palsu dan ucapan dusta terhadap tokoh-tokoh jihad kita masih bersabar, sebab hubungannya hanya antar manusia kepada manusia. Namun, jika yang diserang dan digembosi adalah ideologi jihadnya, maka dampaknya bisa meluas kepada ummat. Oleh karena itu, harus ada sekelompok orang yang konsisten menyerukan bahwa jihad adalah dzirwatu sanamil Islam (Puncak tertingginya Islam)
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Mush’ab As-Suri dalam bukunya Da’wah Al-Muqawwamah Al-islamiyyah, Bab : Hashad Ash-Shahwah Al-Islamiyyah wa At-Tayar Al-jihadi (1930-2002) bahwa salah satu syarat kemenangan mujahidin adalah konsistensi. Konsisten memegang prinsip bahwa jihad adalah jalan terakhir, solusi final bagi semua problematika masalah ummat Islam hingga akhir zaman. Namun sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW konsistensi di zaman ini bagaikan memegang bara api. Sungguh berat cobaan bagi mujahidin dan kita senantiasa meminta kepada Allah agar kita diberikan kekuatan untuk senantiasa istiqamah dalam melanjutkan perjuangan.
___________________________
- Rencana Tindak Pembangunan Kementerian/Lembaga Tahun 2011. Bappenas.
- Building Moderate Moslem Network & Civil Democratic Islam : Partners, Resources and Strategies. Rand Corporation. 2007.
- http://muftiaziz.wordpress.com/2010/08/13/seputar-penahanan-ustad-abu-bakar-baasyir-abb/
- http://www.intelijen.co.id/wawancara/1345-nasir-abas-di-antara-dusta-dan-fakta
- http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/09/09/lr973n-nasir-abas-saya-temukan-makna-baru-tentang-jihad-islam
- http://www.oocities.org/kariu67/tempo200502.htm dan http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=MzIwOTk=
- Cerita dari salah satu aktivis jihadis yang pernah ditangkap, setelah disiksa habis-habisan ia ditawari dipertemukan dengan keluarganya di salah satu hotel mewah di jakarta, bahkan ditawari uang yang tidak sedikit jumlahnya untuk ongkos keluarganya selama dirinya ditahan dalam penjara.
- Buku Indonesian Top Secret : Membongkar Konflik Poso. Tito M. Karnavian http://books.google.co.id/books?id=s–vLp7CGTYC&pg=PA161&lpg=PA161&dq=interogasi+keras+lunak&source=bl&ots=L3Rt_gTLlJ&sig=XImeQC4sKII5wXLfZeHFxYbdvCs&hl=id&ei=qh3GTpOjI4OQiQe4nqT3Dw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=1&ved=0CBkQ6AEwAA#v=onepage&q=interogasi%20keras%20lunak&f=false